• Vestibulum quis diam velit, vitae euismod ipsum

    Etiam tincidunt lobortis massa et tincidunt. Vivamus commodo feugiat turpis, in pulvinar felis elementum vel. Vivamus mollis tempus odio, ac imperdiet enim adipiscing non. Nunc iaculis sapien at felis posuere at posuere massa pellentesque. Suspendisse a viverra tellus. Nam ut arcu et leo rutrum porttitor. Integer ut nulla eu magna adipiscing ornare. Vestibulum quis diam velit, vitae euismod ipsum? Quisque ...

  • Aliquam vel dolor vitae dui tempor sollicitudin

    Proin ac leo eget nibh interdum egestas? Aliquam vel dolor vitae dui tempor sollicitudin! Integer sollicitudin, justo non posuere condimentum, mauris libero imperdiet urna, a porttitor metus lorem ac arcu. Curabitur sem nulla, rutrum ut elementum at, malesuada quis nisl. Suspendisse potenti. In rhoncus ipsum convallis mauris adipiscing aliquam. Etiam quis dolor sed orci vestibulum venenatis auctor non ligula. Nulla ...

  • Nam ullamcorper iaculis erat eget suscipit.

    Etiam ultrices felis sed ante tincidunt pharetra. Morbi sit amet orci at lorem tincidunt viverra. Donec varius posuere leo et iaculis. Pellentesque ultricies, ante at dignissim rutrum, nisi enim tempor leo, id iaculis sapien risus quis neque. Ut sed mauris sit amet eros tincidunt adipiscing eu vitae lectus. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos ...

Archive for 2011

Penulis: Rifan Nazhif Dalimunthe


    Duduklah di sini, dan dengarlah ceritaku. Kau jangan tertawa kalau ini membuatmu geli. Karena yang tertawa duluan adalah yang menangis belakangan. Maka, duduk-diamlah. Diam lebih baik bagimu, ketimbang bercakap terus, agar ceritaku mengena di hatimu.

Penulis: Imanuddin Rahman

            Tidak mungkin! Ini cuma mimpi kan?
            Pasti mimpi... haha, pasti mimpi!!! Dan seperti biasa, aku akan terbangun karena suara omelan ibu. Sebentar lagi ibu pasti masuk membuka pintu kamarku...
            “Tokk, tok, tok!” suara ketukan itu kembali terdengar, sudah kelima kalinya, dan masih kubiarkan begitu saja. Mataku memerah menahan tumpah ruah air mata...

Penulis: Yanti Sipayung


“Benarkah ini pesta pernikahan Habib?”

Para pemuda berpakaian rapi yang berdiri di dekat gapura berbalut bunga-bungaan itu, sama mengangguk menjawab pertanyaan seorang wanita berambut panjang yang baru saja datang.

Penulis: Shofwan Najmu

Langit Kairo gelap gulita. Cahaya rembulan yang menggantung di petala langit tak mampu menerangi bumi. Redup. Sesekali cahayanya menghilang karena tertutup awan. Gemerlap bintang yang biasanya tampak bagaikan bola kristal di tengah kegelapan, kini tidak seluruhnya tampak. Hanya satu, dua atau tiga bintang yang terlihat. Dan itu pun tak mampu memberikan keindahan di malam ini. Bisa dikatakan, malam ini Kairo tidak begitu indah.

Penulis: W. Lujeng
Hari berlalu bersama dusunku. Dusun tempat aku lahir dan tumbuh besar. Hari ini ialah hari terakhirku di sini. Karena aku harus kembali ke Jakarta mencari nafkah sebagai kuli toko kain di pasar Senen. Tepatnya melayani pembeli atau mengambil barang stok di gudang saat toko sedang ramai. Maka tak kusia-siakan waktu yang sebentar ini. Kugunakan sepuas-puasnya untuk menghirup aroma pedesaan yang nantinya tak kudapatkan di ibu kota.

Penulis: Mutia Putri


“Woooiii semua... Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua yang ada disiniiihh... Minul mau nazar, nih, dengerin, ya!"

"Kalau Minul lolos SNMPTN 2011, Minul bakal nyanyi dangdut di pasar ini pake kebaya plus konde, plus make-up tebel. Ini nazar Minul!”

Dan suara gledek serta kilatan cahaya lampu neon menyambut nazar Minul yang berkumandang. Persis kayak film-film horor di teve-teve. Jelegerrr..!

Penulis: Wahyuni Sitoresmi

Aku memanggilnya dengan sebutan Bude Sumi. Usianya hampir mencapai lima puluh tahun kurasa. Berperawakan sedikit gemuk dengan rambut yang selalu digelungnya. Tiap pagi ia selalu mengayuh sepeda ontel tuanya menyusuri jalan desa, sekedar untuk menjual sayur-mayur. Kami searah, bedanya aku naik motor sedangkan Bude Sumi menaiki sepeda ontelnya.

Penulis: Eka Handayani Ginting

Aku bukanlah perempuan materialistis yang ingin menguasai seluruh kesenangan duniawi Bapakmu, bukan pula seorang penyihir jahat yang tersenyum bahagia jika hatimu terluka saat kau tahu bahwa, kedua orang tuamu bercerai karena aku. Aku hanya sedang jatuh cinta pada pria yang ternyata Ayahmu. Maaf...

Penulis: Riwan Laubei Sembitu



Penulis:Farid

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berkunjung ke suatu tempat? Suatu tempat yang paling ingin kita kunjungi? Satu jam? Sehari? Setahun? Atau puluhan tahun? Ah, mungkin aku perlu mengganti pertanyaanku, Daerah mana yang paling ingin kalian kunjungi? Bali? Tokyo? Prancis? Afrika, mungkin?

Oleh: Leona Augustine
Kukayuh sepeda biruku. Itupun bila kau mau sedikit menyenangkan hatiku demi menyebut sebentuk sepeda yang sudah tidak kentara warna cat pabriknya Suaranya berkeriut-keriut serupa irama dendangan cacing-cacing lapar di perutku. Matahari mengganas menjilat bumi dengan lidah api. Tidaklah menjadi soal, kulit tembagaku sudah kebal menghadapinya. Begitu pun debu-debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan raksasa. Sudah delapan kilometer kutempuh. Itu artinya setengah perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit mengurangi kepenatan saat mulai memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon angsana dan trembesi. Angin dari sela-sela batang padi yang hampir menguning mempermainkan seragam putihku yang kebesaran.

Cerpen Oleh : Nur Aisyah Siregar

Sakit itu mulai terasa di hatinya. Selalu sama di awal bulan manapun. Gelap sudah mulai turun ketika Lala tiba di rumahnya. Setelah menegur keluarganya sejenak, ia bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia mengganti pakaiannya, kemudian membaringkan tubuhnya. Ia ingin segera membasuh tubuhnya dengan air, tetapi tubuhnya bagai magnet yang menempel kuat pada ranjangnya. Ia terlalu lelah untuk itu.
Belum 15 menit ia berbaring mengusir rasa lelah yang menggerogoti setiap inci tubuhnya, terdengar ketukan di pintu kamarnya. “Masuk, Bu!” sahutnya ketika suara di depan pintu memanggilnya.

Penulis: Mariana Ulfah

Senja ini Niken sengaja tak buru-buru menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing dalam plastik kumal bekas permen.

Penulis: KIANINARA”KEI”

Ada sesuatu yang tidak biasa ketika Bu Baiti, wali kelas 8.2 SMPN 11 Palembang, masuk ke kelas pagi itu. Dia berhenti di depan kelas. Berdeham sejenak.
“Kalian kedatangan kawan baru,” ujarnya pada siswa-siswanya.
Dengan langkah yang amat pelan, masuklah seorang anak perempuan bertubuh gemuk dan mungil, bermata besar, dengan rambut keriwil dikucir dua tinggi-tinggi di kiri kanan disertai poni, memakai behel dan berbibir tebal alias dower. Sontak hampir seisi kelas tertawa melihat penampilannya, dan beberapa mencibir. Anak perempuan yang “unik” itu hanya tersenyam-senyum. Lugu sekali.

Penulis: Kartika Hidayati
Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.

Penulis: Adenia

 Kami berlima hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang kami sendiri tidak yakin. Sebab air mata penyesalan itu  sepertinya sudah kering di sumur hati kami. Ujian her ini mungkin satu-satunya harapan kami untuk mempersembahkan sedikit senyum pada ayah dan ibu kami setelah kemarin-kemarin kepedihan dan keprihatinan yang kami  beri pada ibu dan ayah kami.

Penulis: Istikumayati

Seharian di kampus mengerjakan research. Asam laktat sudah menumpuk di bahu, mata dan punggungku. Belum lagi diomelin sensei[1] karena data-data research-ku yang masih belum beres juga. Penat sekali. Kubuka laci meja belajarku, kuraih dompet biru kotak-kotak. Nafasku berat, uang lembaran 10ribu-an di dompetku semakin menipis. Bulan ini, aku sudah mentransfer uang 200 ribu yen ke Indonesia, untuk operasi kandungan ibuku. Kanker rahim itu baru diketahui empat bulan lalu. Sedangkan bapakku, yang hanya pesuruh di sebuah SD di kampung, tak kuat menanggung biaya yang dibutuhkan ibu. Beruntung aku mendapat beasiswa S2 di Nagoya University, sehingga aku bisa membantu, dengan mengirimkan separuh beasiswa. Walhasil, aku harus mengikat pinggang erat-erat dan mesti mencari penghasilan tambahan.

Penulis: Zakky Zulhazmi*

(Cerpen ini awalnya tidak ditujukan untuk Rubrik Cerpen Ngocol, namun Nida mengedit dan mengubah cerpen ini agar dapat bertahta di rubrik ini, karena materi cerpennya lumayan menghibur, semoga penulisnya tidak kaget melihat cerpennya di-vermak begini, amiin...)

Oleh: Naufal Rafi Rahmatullah
       “Apa buktinya? Apa!? Selama ini kamu hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang belum pasti bagi kamu. Seharusnya kamu sudah melangit dengan berbagai prestasi yang gemilang, tetapi kamu justru melewatkannya. Kamu terlalu sibuk dengan karya-karyamu yang tidak memberi manfaat sedikitpun!”
            Hampir setahun sudah aku tidak mendapat kabar apapun dari sebuah penerbit. Sudahlah, jangankan penerbit. Bahkan tulisanku belum ada satupun yang nongol di media masa. Yang ada malah kesimpulan bahwa, tulisanku tak layak muat.

Penulis:  Bintu said

Menginjak kembali di sebuah Desa paling pedalaman di kota Banda Aceh, setelah 2 tahun meninggalkan desa ini menuju ranah Minang demi seonggok Ilmu. Tak ada yang berubah dari sisi dan sudut rumah ku. Masih seperti dulu, sebuah TV 14 Inci dan 4 buah kursi rotan di ruang tamu yang lebarnya Cuma 3X2 itu, struktur letaknyapun masih sama.

Oleh:Farinka Nurra

Tok…tok..tok

Pak Hakim mengetuk palu tanda persidangan dimulai, keadaan sedemikian tegang. Bangku pengunjung penuh sesak oleh penonton, baik dari pihak keluarga, kerabat atau yang hanya iseng-iseng ingin mengikuti persidangan. Beberapa orang melonggokkan lehernya panjang-panjang, penasaran dengan sosok bocah cilik yang tertegun di atas kursi pesakitan. Mimiknya ketakutan, namun tak bisa dielakkan. Bocah cilik itu terlihat bahagia, entah mengapa.

SAM

Penulis: Muhammad Saleh

   
Seperti pagi kemarin, sebelum dia pergi ke kelas untuk mengajar, Sam menatap tiga kursi kosong di sampingnya dalam ruang kantor guru. Ia menghembuskan napas pelan dengan raut muka sedih, seperti ada yang bergumul dalam hatinya. Sudah tiga hari yang empu-nya kursi itu belum juga datang, untuk kembali mengajar anak-anak Pegunungan Meratus. Pegunungan yang masih lebat dengan pohon-pohon raksasa, hewan-hewan liar, dan bermacam tumbuhan lainnya, di Propinsi Kalimantan Selatan.

Penulis: Eka Retnosari

"Berdoalah, Nak. Mintalah apa pun. Apa pun!"
"Apa pun?"
"Ya, apa pun."
"Termasuk sepeda?"
"Ya, termasuk sepeda."
Maka anak itu pun menengadahkan tangannya ke langit, ke langit biru, ke awan putih, ke tempat segala pinta berpulang.
"Tuhan, aku hanya ingin sepeda. Tak ingin apa pun lagi. Hanya sepeda," bisiknya. Kemudian sore tiba dan segalanya berakhir sendu.

Penulis : DNA
            Rindu duduk di sebuah restoran terkenal penyaji makanan junk food di sebuah Mall di kawasan selatan ibukota. Di depannya duduk Cita. Mereka berdua masih memakai seragam sekolah. Selepas pulang sekolah tadi, tanpa mengganti baju, mereka langsung menuju Mall. Tujuan mereka membeli buku. Tepatnya segala jenis buku yang bisa mereka beli, mulai dari buku pelajaran sampai buku cerita.

Penulis: Nur Aisyah Siregar
Sobat, memperingati Hari Pendidikan Nasional, cerpen ini kayaknya layak banget untuk kita apresiasi.
Pertama, tema yang diangkat cocok. Kedua, penulisnya pun seorang guru. Klop banget deh! Selamat membaca...
            Matahari sudah condong ke barat. Sedikit tersembunyi oleh semburat jingga yang terpapar di kaki langit. Sekolahku sudah sepi dari satu jam yang lalu. Aku masih menunggu Bu Indah. Asap berjelaga membuat mataku pedih. Pak Zain yang sedang membakar sampah tak jauh dari tempatku duduk tertawa.

Oleh: Khoiriyyah Azzahro
Kupunguti alat tulis yang berserakan di lantai sambil melirik sosok kecil di sudut ruang. Kelopak matanya mengerjap dan bola matanya berputar-putar. Terik mentari yang masuk melalui jendela nako menerpa sebagian wajahnya. Membiaskan warna merah di pipi dan tengkuknya. Warna merah kebiruan seperti lebam.

Penulis : Mayang Ayu Lestari

 “Mah, aku bilang aku ga mau!”

 “Kenapa ga mau, sayang?”

 “Aku bukan anak kecil lagi, Mah. Yang segala sesuatunya harus disamakan!”

Perempuan di sampingku hanya tersenyum mendengar percakapanku dengan mamah. Apa dia menganggap semua ini hal yang lucu? Aku benci terjebak dalam keadaan seperti ini. Ini bukanlah hal yang pertama kalinya mamah lakukan padaku. Sudah 20 tahun aku terus terjebak dalam hal yang sebenarnya jika aku bisa memilih, aku lebih memilih dilahirkan di tempat yang berbeda bahkan di dunia yang berbeda sekali pun.

Hadi jarang sekali pulang kampung, maklum sejumlah kesibukannya sebagai PNS dan pimpinan beberapa organisasi kepemudaan di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari desa kelahirannya harus dilakoninya. Sehingga, bukan saja membuat ia jarang pulang kampung, tetapi pulang ke rumah pun tidak jarang lebih duluan itik ke kandangnya, kerbau ke kalang-nya dan elang ke sarangnya.

Penulis: Yanti Sipayung

Angin berhembus membawa hawa dingin memasuki kamar melewati celah-celah saluran udara. Bulu kudukku berdiri karenanya. Kutarik selimut hingga menutupi kepala. Guling ku peluk kuat-kuat demi meredakan dingin yang menyerang.

Penulis: Kusumastuti Rahmawati
            Kalau ada ajang request lagu ni hari, cuma satu lagu yang pengeeeeeen banget gue denger. Yang lirik depannya kayak gini, nih: "Apa salahku, apa salah hidupku? Hatiku dirundung pilu..." Eits, bukan gue nggak laku-laku, ye.. Untuk urusan cinta, sori sori, Jek, gue edah nemuin tambatan hati sejak empat tahun yang lalu! Tepatnya waktu gue baru banget nyelesaiin skripsi. Jadi jangan iri, nih.. Waktu wisuda, gue udah nyabet dua gelar sekaligus! Rico Sumarco, SE, SH. Beuh, keren kan? Rico Sumarco Sarjana Ekonomi, Suaminya Hindun. Hheee.

Teeet…teeet…teeet.
 Istirahat tlah tiba, istirahat tlah tiba, hore, hore, hore (kok jadinya kayak lagunya Tasya?). Anak-anak berebutan untuk keluar kelas (sampe nempel-nempelan). Ada yang mau jajan, sholat dhuha, ngobrol. Seperti biasa, aku dan teman-temanku (Irsyad, Faiz, Syafiq, dan Ahyat) pergi ke pojokan kelas di lantai 2. Disinilah kami biasa bercanda, berbagi cerita, atau hal-hal seru lainnya (lebay). Dan dari sinilah awal mula kita membuat sebuah band.

Oleh: Serenade Sekar
            Rumah milik Pak Sartomo yang selama empat tahun tanpa penghuni, kini telah ditempati sepasang suami-istri yang menurut kabar adalah anggota keluarga Pak Sartomo. Sepintas, memang tak ada yang ganjil dari sepasang suami-istri penghuni rumah tersebut. Para tetangga bahkan menilai mereka sebagai "orang alim", kecuali aku.

Penulis: A. Zakky Zulhazmi

Saya sedang di rumah sendiri ketika pintu tengah rumah saya diketuk seseorang. Ketika itu siang lengang dan di langit mendung membayang. Posisi saya sudah bersiap untuk mandi setelah tadi bersih-bersih rumah dan tak lupa menyiram kembang. Entah kenapa saya bimbang. Saya buka pintu atau tidak di dalam hati jadi sebuah perang. Jam segini biasanya yang ke rumah adalah Pak Anam yang suka mengantar undangan organisasi untuk ibu yang sudah di kantor sekarang. Adatnya undangan diselipkan di bawah pintu lalu ia pulang.

Penulis: Ade Rahayu

Ruangan berukuran 2x4 meter itu menjadi ruangan favoritnya. Kotor, tanpa ventilasi udara, tumpukan pakaian kotor dalam lemari, selembar karpet lusuh dengan kasur tipis di atasnya, seprey kumal tak berbentuk, sudah menjadi pemandangan yang biasa baginya. Ia tak peduli dengan semua itu. Hari ini ia ingin menjelajah seperti biasa!

Penulis : Iwok Abqary


Perkenalkan, nama gue Tonny. Profesi sebagai Tukang Ojek. Yup, ojek motor, bukan ojek payung, apalagi ojek onta. Nggak ada tukang jualan onta sih, jadi gue nggak bisa beli ontanya buat diojekin. Padahal lucu ya kalo beneran ada ojek onta, penumpang yang lagi gue bonceng bisa jalan endut-endutan sambil ngayal lagi naik haji. Pasti ojek onta gue laku.