Penulis: Zakky Zulhazmi*
(Cerpen ini awalnya tidak ditujukan untuk Rubrik Cerpen Ngocol, namun Nida mengedit dan mengubah cerpen ini agar dapat bertahta di rubrik ini, karena materi cerpennya lumayan menghibur, semoga penulisnya tidak kaget melihat cerpennya di-vermak begini, amiin...)
“Rasulullah bersabda... bla bla bla..”
Ah, sumpah, bagian ini nih yang paling bikin gue nggak betah duduk imut dengerin ceramah. Kenapa sih, ustadz-ustadz sering buanget ngulang kata “sabda”? Kenapa nggak “Rasul berkata”, atau “Rasul pernah bilang”, atau “Rasul berucap”, gitu. Gue janji dah, gue bakalan rajin dengerin ceramah kalau satu kata itu nggak pernah dipakai di pengajian-pengajian. Sehari lima kali juga gue jabanin. Dower, eh, suwer!
By the way, sebelum lo kejang-kejang dan ngerengek-rengek minta dibawain balon Upin Ipin, mending gue ceritain, deh, ke-alergi-an gue dengan satu kata ini.
Jadi gue pernah punya satu teman yang namanya Sabda. Gue bingung, kok ada yah orang tua yang ngasih nama itu ke anaknya. Waktu ke-kurang-kerja-an gue kumat, gue pernah menerawang apa makna di balik nama temen gue itu. Kirfikir, bukankah sabda artinya berkata? Kata kerja juga, kan? Terus maknanya apa, donk? Berkali-kali muter otak, nggak kunjung gue temuin makna dari nama doi. Sampe akhirnya gue nyerah juga, gue putuskan untuk berhusnuzhon saja lah. Mungkin orang tuanya mau si Sabda jago sepak-sepik biar udah gedenya jadi pengacara atau diplomat, kali ya?
Ya, cuma itu kemungkinan yang paling memungkinkan kalau ditinjau dari nama panjang doi: Sabdaaaaaaaaa... He, maksud gue Labib Sabda Sitompul. Labib itu dari bahasa Arab yang artinya cerdas. Sabda, gue nggak tahu dari bahasa apa, yang jelas orang sering banget make kata “Rasul bersabda” aka “Rasul mengatakan”. Dan Sitompul itu setahu gue nama belakang dari salah satu pengacara yang juga artis sinetron dan sekarang merambah ke dunia politik. You know lah. Kalau nggak tahu, tanya aja sendiri ke Pak BY!
Ok, balik lagi. Actually, Sabda bukanlah someone special dalam kehidupan gue, cuma teman satu kost-an aja, tepatnya orang ke-enam yang bergabung di kost-an Ijo Lumut. Rumahnya para lajang yang mendeklarasikan diri untuk nggak menjamah wanita sebelum punya harta dan tahta. Makanya kami kasih nama kost-an ini Ijo Lomut alias Ikatan Jomblo Lucu dan Imut! Nggak nyambung, kan? Emang!
Intinya kami adalah para pria yang terlampau lucu bin imut kayak marmut lagi k*ntut, eh salah, lagi ngemut! Sampai-sampai nggak ada satu pun wanita yang mau memacari salah satu dari kami. Bahasa kasarnya, kami adalah para jomblo kere yang nggak laku-laku, getooo. Hiks, kasiman banget kami...
Oiya, fyi, kami para Ijo Lumuters sepakat untuk membenci salah satu band Indonesia, Wali Band. Terutama lagu mereka yang amat sangat mengiris hati kami: Cari Jodoh. Kalau di jalan atau tetangga sebelah lagi muter tuh lagu, apalagi pas di bagian “nggak laku-laku... o o o o o”. Perjanjiannya kami harus menutup kuping dan mata serapat-rapatnya hingga lagu tersebut habis. Paling bête kalau denger lagu ini pas lagi nyebrang. Dengan lapang dada kami harus mendengar bermacam-macam binatang keluar dari mulut para pengendara kendaraan bermotor, karena kami nyebrang tetep sambil nutup kuping dan mata rapet-rapet! Hiks, sungguh lagu yang teramat sadis untuk para pria bernasib nahas seperti kami ini.
Hadoh, ini kok jadi curhat gini, sih?
Ok, balik lagi deh ke teman gue, Sabda. Dari lubuk hati yang paling ujung, kami para Ijo Lumuters berharap sangat semoga Sabda menjadi orang terakhir yang bergabung di kost-an kami. Itu harapan di tiap doa saat pertama kali doi gabung. Bukan karena doi nggak lucu dan imut, apalagi karena doi udah laku. Bukan itu, sodara-sodara! *faktanya, doi juga bernasib nahas seperti kami para pendahulunya. Nggak laku-laku!
Bukan juga karena kami memilah-milih teman, sumpah dah, bukaaan! Tapi, kost-an kami yang sempitnya alaihim gambreng dengan dapur dan kamar mandi seiprit di petak belakang, bakal berasa sangat sempit kalau harus dihuni tujuh atau delapan orang. Apalagi untuk mahluk seukuran Sabda yang body-nya big size punya. Ber-enam udah kayak ber-delapan setengah rasanya. Makanya kami enggan nerima orang ke-tujuh, apalagi ke-delapan. Yang kami terima cuma bolu ke-tan. He, maksa!
Terus, kenapa Sabda bisa diterima, donk?
Yah, mau gimana lagi... Kedatangan orang ke-enam ini amat sangat susah kami tolak. Perihal kedatangan doi ke kost-an kami pun ada ceritanya tersendiri. Begini ceritanya...
Konon, waktu itu Sabda beserta segenap anggota kost-an lamanya diusir ibu kost lantaran telat bayar uang bulanan. Actually, sampai saat ini kami para Ijo Lumuters masih sangsi dengan alasan tersebut. Menurut kami, terlambat bayar uang bulanan kayaknya masih bisa ditolerir, deh. Apalagi kalau terlambatnya masih dalam hitungan jari tangan... *pengalaman pribadi, nih. Kalau ditambah jari kaki, nggak jamin deh! Cuma ibu kost yang nggak punya rasa dan hati yang tega melakukan pengusiran semacam itu. Lebih kejem dari rocker yang katanya masih punya rasa dan hati. Huh, ter-la-lu!
Eng ing eng... Merebaklah desas-desus bahwa salah satu dari mereka ada yang gemar memasukkan cewek (apa bebek, ya?) ke kamarnya. Orang itu bukan Sabda. Percayalah sodara-sodara, doi nggak bakal berani bawa cewek ke kost-an hingga kiamat menjelang. Kalau ada yang pernah dengar doi bilang akan membawa cewek ke kost-an, yakinilah bahwa itu hanya lipsing belaka, alias di bibir saja! Lah, gimana mau bawa cewek, wong semua cewek di kampus kayak nggak ada yang merasakan kehadiran doi! *Ckckck, jahat banget cewek jaman sekarang. Body doi udah dua setengah gitu, masih juga nggak dirasain kehadirannya? Sungguh teganya teganya teganya!
Then, laporan warga lebih dari cukup untuk membuat ibu kost mereka menyadari, ada yang nggak beres di kost-annya dan punya alasan untuk mengusir pelanggar aturan itu. Bukan cuma seorang, tapi se-isi kamar sekaligus! Hadoooh, kejem sangat nggak, tuh?
Sedihnya lagi, sementara anggota kost-an lain sudah bergegas mencari kost-an pengganti, Sabda masih aja luntang lantung bak lutung nggak pake sarung lagi belajar ngitung. Kesana kemari. Umpama kumbang yang nemplok dari bunga satu ke bunga lain mencari bunga yang mau dihisap nektarnya, Sabda berkelana dari kost-an satu ke kost-an yang lain. *tsaaahhh, gaya banget gue ngambil perumpamaannya kumbang... He, sorry, emang gue doyan lagu dangdut, sih!
Hingga di satu malam melek (gue bingung nyari lawan kata "pagi buta"), doi menelpon salah satu dari kami...
“Bro, kosan lo masih cukup luas, nggak? Kayaknya gue bakal nitip lemari, nih,” dengan gaya bicara bak anak gaol Jakarta, doi nelpon Beno yang terkantuk-kantuk saking malemnya tuh anak nelpon.
Dan sialnya, Beno ini teman kami yang paling nggak bisa untuk bilang "enggak" pada orang lain. Bener-bener mirip Jim Carrey di film Yes Man. Nggak bisa nolak satu permintaan pun. Enaknya punya temen kayak doi, pas duit kiriman ortu nggak kunjung datang. Sedikit tampang melas dibumbui dengan rayuan pulau kelapa, dijamin nggak ada yang namanya tanggal tua dalam hidup lo! Enegnya punya temen kayak doi, ya pas ketemu dengan orang kayak Sabda ini.
“Silakan aja, Sab,” kata Beno baek, “Pintu kost-an gue selalu terbuka kapan pun untuk siapa pun,” tambahnya.
Beuh... Nggak pake nunggu pagi, di sepertiga malam akhir menjelang Subuh, datanglah Sabda ke kost-an kami. Mungkin fikirnya, kalau kami menolak kehadirannya, doi bakal menggunakan senjata pamungkas: dalil bahwa Allah mengabulkan semua permintaan hamba-Nya di waktu tersebut. So, mau nggak mau kami akan menerimanya. Najooong!
First impression kami terhadap doi pun bener-bener buruk. Baru juga datang, doi sudah ngedumel sendiri ngeluhin lokasi kost-an kami yang terlalu jauh dari kampus. Belum lagi jalannya yang bebelok-belok membuat doi semakin bingung dan sulit menghafal jalan, katanya.
Namun begitu, bukan dumelannya yang membuat kami manyun pangkat tiga, tapi justru melihat apa yang doi bawa. Nyatanya, Sabda nggak membawa lemari seperti yang dikatakannya dalam telpon. Doi cuma bawa satu koper ukuran sedang berisi pakaian. Selanjutnya, Sabda menjadi begitu sering terlihat di kost-an kami. Nah kan, siapa yang bisa nolak kedatangan tamu dengan modus kayak gini, coba!
“Bro, gue numpang mandi, ya? ” katanya pada Beno pagi itu juga.
“Silakan aja, Sab,” tukas Beno yang selalu diajari untuk menghormati tamu sejak kecil itu. “Sabun cair, shampo dan odol ada di situ. Pake aja.”
“Bro, gue numpang nyuci baju di sini, ya?” katanya lagi di hari ke-tiga kehadirannya di kost-an kami.
“Santai, anggap aja kost-an sendiri,” ujar Fadil menirukan gaya Beno. “Meski lo nggak ikut bayar tiap bulan!” susulnya tanpa suara. Buat teman gue yang satu ini, doi emang jagonya ngedumel. Lebih baik ngedumel daripada merusak pertemanan, katanya. Oiya, menurut gue, kalau ada olimpiade ngedumel, kayaknya Fadil bakal nyabet penghargaan sebagai juara umum dan favorit, deh. Atau mungkin juga penghargaan life time achievement? Ya, nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini.
Hmmm, balik lagi. Sejujurnya, kehadiran Sabda nggak pernah jadi masalah buat kami. Karena kost-an kami ibarat seekor gajah sirkus. Sudah sangat terlatih menampung tamu-tamu dengan berbagai macam problema. Pernah kost-an kami menampung seorang teman kampus yang kabur dari rumah cuma gegara mau dinikahin sama ortunya. Suwer, cerita doi bikin kami semua melotot sambil nahan ludah berkali-kali. Lah, kita para Ijo Lumuters aja pada mau buru-buru nikah (tapi apa daya tampang dan kantong nggak mendukung cita-cita), eh doi malah kabur mau dikawinin. Kucing!
Sebelumnya pernah ada juga teman yang kabur dari rumah dan seminggu bermukim di kost-an kami. Katanya, Nyokapnya marah berat waktu dengar doi mencela boy band kesayangan beliau, SM*SH. Saking nggak terimanya, Nyokapnya nggak sudi menganggap teman gue sebagai anaknya selama satu minggu. Nggak meaning banget, kan? Tapi, lagi-lagi kami berusaha berhusnuzhon. Mungkin Nyokapnya manajer tuh boy band, atau mungkin juga koreografernya. Mungkin...
***
Sudah hampir sebulan sejak kedatangannya pertama kali, Sabda masih kerap mengunjungi kost-an kami. Hingga pada suatu siang, saat kami sedang nonton teve bareng, doi bertanya pada salah satu teman kami, Baim. Diantara Ijo Lumuters, sebenarnya Baim yang paling lumanyun. Nggak salah orang tuanya ngasih nama Baim, karena benar-benar mirip Baim TDC, bow! Waktu pertama kali kenal dia, gue iri abis dengan pesona wajahnya. Ganteng tralalaaa! Cuma sayang, satu kekurangannya. Baim ini doyan banget makan cabe. Sarapan, makan siang, makan malem, sampe ngemil pun harus ada cabe di dekatnya. Nggak heran kalau tiap omongannya juga pedes des des! Bikin orang yang denger pada berlomba-lomba nyari air dan nyemburin ke muka Baim.
“Bos, kalau di sini bayar kost-an tiap tanggal berapa, ya?”
“Tanggal 15. Telat sehari, denda sepuluh ribu.”
“Hmmm, emang berapa sih bayaran per bulannya?”
“550 ribu. Kalau ada sedot WC tambah 25 ribu. Bayar listrik naik, tambah lima puluh ribu. Biaya telpon bengkak, besoknya diputus!”
“Hmmm....”
Televisi ada di ruang tengah, sebagian dari kami yang berada di teras, bertanya-tanya dalam hati: “Ada apa gerangan sampai Sabda bertanya seperti itu? Apakah doi akhirnya mutusin untuk nge-kost bareng kami? Kalau benar begitu, kenapa salah satu dari kami nggak ada yang diberi tahu secara langsung dan gamblang perihal keiinginannya itu?”
Belum lagi pertanyaan itu terjawab, Sabda melanjutkan lagi omongannya kepada Baim.
“Bos,” masih dengan gayanya yang sok asik, “Nih, gue bayar kost-an buat bulan ini,” Baim yang memang kami tuakan itu hanya mengangguk burung sembari tersenyum datar menerima uang itu. Barulah ketika Sabda sudah berangkat kuliah, doi berujar kepada kami semua.
“Kalian tahu, gue nggak mau kita satu kost-an dianggap nggak peduli teman. Bagaimanapun, Sabda adalah teman satu organisasi dan satu fakultas kita. Lagian, kasih tahu gue cara menolak orang yang membayar kost-an sementara tanggal lima belas masih jauh. Bahkan kalian aja sering membayar uang kost-an jauh meleset dari tanggal 15!” Yo olloooooh, bagai tertusuk tombak, kami hanya mampu menunduk mendengar kata-katanya. Memang perih sih, tapi fakta.
***
Memang benar jika Sabda akan memberi corak lain di kost-an Ijo Lumut. Kalau kami serempak bercorak polkadot rapi, doi polkadot amburadul! Kami bahkan mulai menghapal kebiasaannya yang nggak biasa. Pertama: Pukul tiga atau empat sore, doi akan terbangun setelah tidur seharian dari Subuh. Lantas, doi akan mandi dalam waktu yang cukup lama untuk ukuran laki-laki. Empat puluh lima menit! Nggak lupa doi bawa hape-nya ke kamar mandi untuk memutar lagu-lagu melankolis kegemarannya dengan volume polll *kalau lo suka lagu-lagu Kangen Band, kayaknya lo setipe dengan doi, deh!
Selanjutnya, ritual habis mandi Sabda ialah menyemperotkan minyak wangi dengan bau yang amat menyengat saking berlebihannya. Untuk bau minyak wangi Sabda, Baim membuat perbandingan yang sembrono.
“Surga,” katanya dengan nada menyindir, ”Gue yakin wanginya nggak senorak ini.”
Iseng, gue tambahin perbandingannya. “Dan neraka, gue haqqul yaqin nyaris sama dengan bau parfum doi!” sontak kami tertawa bersama.
Then, nggak ada yang tahu Sabda bakal pergi kemana setelah berdandan rapi jali. Dua tempat yang pasti akan disambanginya adalah kampus dan warnet. Kampus karena doi adalah mahasiswa non-reguler, anak kelas malam. Warnet sebab semua tahu bahwa doi keranjingan game online sejak lama. Sabda kecanduan game online laksana seorang pemakai shabu-shabu tingkat akut. Dan doi pergi ke warnet layaknya seorang alim yang pergi ke masjid setiap hari. *He, asek dah perumpamaannya...
Pulang dari warnet sekitar jam empat pagi. Sholat sebentar, lalu tidur sampai jam empat sore. Kehidupannya begitu terus tiap hari. Kost-an, warnet, kampus, begitu selalu. Makanya, untuk rutinitasnya ini, kami meledeknya dengan sebutan manusia KWK: Kalong WeweK!
Ke-dua, hal lain yang kami hafal dari Sabda adalah sifat sok tahunya yang nggak ketulungan dan mulut besarnya yang ampun-ampun. Suatu kali kami menyewa play station (PS) untuk berleha-leha setelah seminggu menjalani rutinitas kuliah. Maklum, kami Ijo Lumuters adalah mahasiswa dari fakultas dan universitas kebanggan negeri: FK UI, yang porsi belajarnya gila-gilaan. Anyway, untuk satu ini tolong jangan dianggap serius. Karena FK UI ialah nama keren dari Fakultas (e)Konomi Universitas Indonusa. *Hhiii, boleh donk gaya!
Kami gemar memainkan game sepak bola Winning Eleven. Karena kami tahu Sabda seorang pecandu game online, maka kami selalu mengajaknya main PS bersama, walau nyatanya doi nggak pernah mau. Barangkali doi udah ciut duluan melihat permainan kami yang memang sangat menunjukkan jam terbang super tinggi atas permainan ini. Belum lagi ejekan yang amat provokatif tiap kali bisa membobol gawang lawan. Kalau nggak ingat bahwa yang sedang bermain adalah teman sendiri, sudah pasti satu tonjokan akan melayang membalas ejekan tersebut.
Namun, pernah satu kali hujan lebat membuatnya tertahan di kost-an. Dengan kepercayaan diri super poll, Sabda menantang teman kami, Entoy. Bahkan doi meremehkan permainan Entoy, yang menurutnya paling jelek di antara Ijo Lumuters.
“Lo salah, anak muda... mengalahkan Entoy nggak semudah membuang ingus dan menelan dahak kala pilek melanda!” batin gue.
Akhirnya, big match yang dinanti-nanti seantero Ijo Lumut antara Sabda dan Entoy, berlangsung juga. Sabda menggunakan Real Madrid, tim kesangannya (fyi: doi bahkan dengan norak menulis besar-besar nama Real Madrid dengan pylox di lemari kayunya). Sedang Entoy memakai Manchester City. Dua klub yang nggak cukup berimbang secara materi pemain. Tapi dalam PS, materi pemain is nothing, yang terpenting adalah siapa di belakang stik, man behind the gun, ya? *soknginggris.com!
Pertandingan antara Sabda dan Entoy menjadi tontonan menarik malam itu. Keduanya sepakat, siapa yang kalah akan membersihkan kamar mandi. Dan dimulailah pertandingan itu dengan gol cepat Edin Dzeko ke gawang Casillas. Kami yang menonton bersorak sorai dengan berusaha netral. Meski sudah jelas siapa yang kami dukung.
Menjelang berakhirnya babak pertama, Tevez menambah keunggulan jadi 2-0. Sabda semakin membleh. Praktis doi hanya bertahan sepanjang babak ke-dua. Saat waktu menunjukkan tinggal 2 menit tersisa, terdengar lirih Fadil ngedumel.
“Nasibmu sudah pasti berakhir di kamar mandi, Mulut Besar!”
Nanas. Alex Nimeli melengkapi kemenangan Entoy menjadi 3-0. Pipi mulus Sabda yang memerah semakin membuatnya mirip p****t beybeh. Sedang Entoy menjabat tangannya sambil tersenyum dengan berwibawa, sedikit angkuh.
“Ayo tanding lagi,” tantang Sabda, “Kali ini yang kalah harus membersihkan dapur dan mencuci piring seminggu,” nyaris copot jantung kami mendengar tantangan Sabda.
Entoy mengangguk tanda setuju. Kali ini Sabda menggunakan Chelsea untuk meladeni Entoy di pertandingan ke-dua. Babak pertama doi bisa tertawa keras selepas Drogba melesakkan dua gol. Tapi Entoy bukan tipe cowok gampangan (gampang menyerah ya, maksudnya). Lewat Tevez dan Dzeko, ia balas dua gol itu. Perpanjangan waktu. Pinalti untuk Manchaster City. Tevez membuat satu gol dan kedudukan bertahan 3-2 hingga waktu habis.
“Malang benar, si Mulut Besar. Membersihkan dapur dan mencuci piring-piring kotor dan bau pasti lebih menyebalkan dari apapun,” lirih Baim.
Itu baru dua, ada lagi kebiasaan ke-tiga Sabda yang makin membuat kami jengkel setengah hidup, yakni kebiasaannya menonton bola dini hari. Doi nggak bakalan ngelewatin siaran bola yang menayangkan Real Madrid. Satu hal yang paling memuakkan, doi selalu berteriak setiap ada pemain yang nyaris mencetak gol. Bisa bayangin kalau terjadi gol? Sabda bener-bener mirip orang lagi di-ruqyah. Seluruh badannya berguncang hebat kayak Sumo lagi miting lawan. Suaranya mendadak meninggi ngalahin Nike Ardilla dan Mariah Carey.
“Sial,” tukas Baim dengan jengkel, “setahu gue, kucing kawin nggak seribut itu!”
“Konyol banget. Ia terlalu fanatik dengan tim yang nggak ia kenal sepenuhnya. Ia bahkan nggak tahu berapa kali Real Madrid juara Liga Champion,” kata Entoy.
“Sudahlah, nggak usah terlalu membencinya. Kalau lo musuhin dia, kelak dia punya perusaahaan besar, nggak bakal lo dipanggil ke perusahaannya,” kali ini Beno angkat bicara.
“Gue bahkan nggak mau seandainya dikasih jabatan direktur perusahaannya!” Fadil kembali mengeluarkan dumelan khas-nya.
***
Begitulah kebencian berjamaah kami dulu terhadap Sabda. Kini doi telah pergi meninggalkan Ijo Lumut. Kost-an kami terlalu jauh dari kampus dan warnet. Ia malas jalan jauh melulu, katanya.
Asem-nya lagi, bahkan di hari kepindahannya, doi masih juga menyulut kejengkelan kami. Dipinjamnya motor salah satu tamu kami dalam waktu yang lama. Hingga ia mau pulang, Sabda masih nggak keliahatan batang hidungnya. Berkali-kali doi dihubungi, namun nihil! Kabar buruknya, ternyata motor itu telah hilang di warnet. Doi mengaku lupa nggak mengunci stang. Untungnya, doi mau bertanggung jawab penuh.
Beberapa minggu semenjak kepergian Sabda, kami berbincang di teras kost-an. Bersama kami mengenang sikap tengil, individualis, sok tahu, sesumbar, sok ganteng, dan sifat menyebalkan lain dari Sabda. Kami tertawa bersama untuk itu. Ada nada rindu di percakapan kami. Dan nyatanya, kami memang merindukan Sabda. Doi adalah warna atau corak lain di kost-an kami. Meski sekali lagi, coraknya polkadot amburadul.
Hingga tiba-tiba seorang yang sangat kami kenal, datang lagi ke kost-an.
“Kayaknya gue bakalan nge-kost di sini lagi bareng kalian. Teman-teman di kost-an gue yang baru kayak nggak nerima kehadiran gue.” katanya sedih.
Kami cuma nyengir kuda melihat kembalinya. Antara benci dan rindu, kami menerimanya. Baim yang mewakili ke-gengsi-an kami.
"Welcome back, Sab!"
***
Penulis lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik. Kuliah di UIN Jakarta dan BSI Ciputat.
SABDA OH SABDA
Posted by abyan muwaffaq
-
-