Penulis: Ade Rahayu
Ruangan berukuran 2x4 meter itu menjadi ruangan favoritnya. Kotor, tanpa ventilasi udara, tumpukan pakaian kotor dalam lemari, selembar karpet lusuh dengan kasur tipis di atasnya, seprey kumal tak berbentuk, sudah menjadi pemandangan yang biasa baginya. Ia tak peduli dengan semua itu. Hari ini ia ingin menjelajah seperti biasa!
"On, tombol kehidupan,” bisiknya pelan dengan senyum yang sulit diartikan.
"Hari ini kuhidupkan lagi tombol “on” ku!” geramnya kemudian.
Sosok itu duduk membelakangi tempat tidurnya. Masih di atas lantai, yang tak ada satu kursi pun di sana. Seperangkat komputer jelek teronggok bagai sampah yang sudah tak bisa didaur ulang lagi, mematung di hadapannya. Persis di sebelah pintu masuk ke ruangan itu, CPU yang berada di sebelahnya sudah tak tampak lagi wujudnya. Kotor, berdebu, dan penuh tempelan stiker yang entah bergambar apa, bahkan sudah beralih fungsi menjadi meja tempat menyimpan kopi.
Diambilnya earphone hitam yang tergeletak di samping CPU. Segera ia pasangkan ke kepalanya, Supermassive Black Hole-nya Muse menghentak-hentak telinganya. Sesekali kepalanya bergerak mengikuti hentakan musik keras itu. Manusia yang entah darimana asalnya itu tampak sangat antusias mengerjakan apa yang menjadi kegemarannya.
Badannya kurus dengan kaos biru longgar ber-sweater biru tua yang kedodoran. Wajahnya tirus. Kantung matanya terlihat menghitam, seperti kurang tidur semalaman. Kacamata minusnya tak mampu lagi menutupi lelah matanya. Ia tampak kelelahan sekali, namun tangannya yang lentik terus saja menari–nari di atas keyboard hitam miliknya. Masih dengan musik kerasnya, ia terus saja mengetikkan sesuatu yang menurutnya sangat menyenangkan. Ia terus menulis, dan...
“YEAAAAAH… BERHASIL!” teriaknya lantang. Ia tak khawatir akan ada orang yang merasa terganggu karena ulahnya. Karena dalam kamar itu, tak ada seorang manusiapun di sana. Keluarganya tak pernah ada di sampingnya. Ayah ibunya selalu saja sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. "Demi kehidupanmu, Nak," kata mereka, yang selalu dibalasnya dalam hati, "Kalau hanya uang, aku pun mampu mencarinya tanpa harus keluar rumah seharian. Uang kalian kalah banyak dengan uang yang kuhasilkan selama ini hanya dengan seharian di kamar!" batinnya kesal.
Ia selalu hanya ditemani komputer bututnya saban hari. Tak ada satu mahluk pun di rumahnya yang mengetahui maupun melarang apa pun yang dikerjakannya. Tak ada aturan yang dapat membelenggu hidupnya. Ia benar-benar merdeka!
“Kena, Kau! Haha….,” teriaknya lagi dengan mata berbinar licik. Sebentar ia mengubah posisi duduknya yang sudah mulai terasa tak nyaman. Matanya kini beralih mencari sesuatu. Ia kehausan, dan hanya segelas kopi yang ada di sana, di atas CPU bututnya. Segera saja ia meraihnya, tak tahan dengan kerongkongannya. Diminumnya kopi hitam itu sampai habis. Hanya ampas kopi berwarna hitam pekat yang tertinggal.
Ia sangat kelelahan, ia pun membiarkan saja kursor-nya itu terus berkedip-kedip di layar monitor komputer bututnya. Ia terlalu lelah sekarang...
***
Menjijikkan! Sosok itu kembali menghampirinya dengan seringai keji-nya. Ia mendekatinya, terus dan terus mendekatinya selangkah demi selangkah. Gadis itu segera meloncat dari tempat tidurnya, dan berlari meninggalkan kamarnya. Buru–buru ia keluar dari rumah hantu itu, berjalan menyusuri jalanan seorang diri. Berjalan mencari tempat aman. Aman dari gangguan iblis yang masih terus mengejarnya.
Tepat di ujung gang, ia masuki warnet sederhana yang menurutnya dapat menyelamatkan dirinya dari kejaran sosok di belakangnya. Seorang penjaga yang sepertinya baik mempersilakannya masuk. Namun tentu saja dengan wajah keheranan menyaksikan sosok di depannya. Seorang gadis kurus berambut sebahu dengan kaca mata minus berdiri di hadapannya. Tak ada senyum mengembang. Tanpa ekspresi. Tak ada basa basi. Gadis itu langsung mencari bilik kosong di warnetnya.
Belum juga Login dan memasukan password, di layar monitornya sudah tampak lagi wajah yang ia takuti itu. Mata merah dengan rambut sebahu yang terus menerornya. Iblis yang selalu mengganggunya akhir-akhir ini. Ia -gadis berkaos biru-itu menggigil ketakutan, tak tahu harus berbuat apa. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Kerongkongannya tercekat dan tak dapat bernapas. Satu detik, ia tersadar.
“Tuhan menciptakan malaikat dan iblis, Ia juga menciptakan malam dan siang, mengukur besar dan kecil, menetapkan suka dan duka. Selalu. Dualisme yang berlawanan namun saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan!” sosok menyeramkan itu berkata penuh kebencian. Matanya seperti keluar beberapa senti dari "rumahnya".
Gadis itu masih ketakutan. Tangannya gemetar. Keringat dingin mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya.
“Ada yin dan yang, ada baik dan buruk. Begitupun kita! Ada aku dan kamu. Kita adalah satu dan tak akan pernah dapat dipisahkan meski aku mau kau pergi, atau kamu mau aku pergi! Kita akan tetap bersatu!” iblis itu masih saja berkata dengan diiringi seringai yang menyeramkan.
Ia benar-benar ketakutan. Kata sandi yang mestinya ia masukkan untuk mulai mengoperasikan internet pun tak jadi ia masukkan. Ia lebih memilih mematikan monitor itu daripada terus menyaksikan iblis itu menerornya lagi dan lagi. Dengan terburu-buru, ditinggalkannya warnet terkutuk itu. Ia berlari tak tahu arah. Ia tak perduli! Ia hanya ingin pergi menjauh dari teror itu!
***
M.I.S.S.H.A.C.K.E.R
Posted by abyan muwaffaq
-
-