Penulis: Yanti Sipayung
“Benarkah ini pesta pernikahan Habib?”
Para pemuda berpakaian rapi yang berdiri di dekat gapura berbalut bunga-bungaan itu, sama mengangguk menjawab pertanyaan seorang wanita berambut panjang yang baru saja datang.
“Yang wanita dari sana, Mbak,” Purnomo menunjukkan jalan sebelah kiri.
“Di sini yang pria.”
Langkah Mar terhenti.
“Tapi saya bukan mau menghadiri undangan. Saya hanya ingin bertemu dengan Habib, mempelai prianya.”
Empat pemuda yang bertugas menerima para undangan itu saling berpandangan.
“Boleh, kan?”
Mar mengayunkan langkahnya tanpa menunggu jawaban dari para lelaki yang menyambutnya dengan tampang heran.
“Habib….”
Seorang lelaki yang tengah bercakap-cakap dengan teman-temannya, terlonjak kaget melihat Mar telah berdiri tidak jauh dari tempatnya sekarang.
“Habib, ini aku, Mar.”
Habib menghela nafas panjang. Wajah sumringah yang sedari tadi terpampang berubah kecut tak karuan. Mereka yang mendampingi Habib pun tak kalah heran melihat perubahan pada diri sahabat mereka, begitu melihat perempuan berwajah sendu di depan mereka.
Habib memberi isyarat kepada teman-temannya. Mempelai yang baru saja melaksanakan ijab qabul itu mendekati sang gadis berbaju putih.
“Mar, maaf… Aku….”
“Tidak apa-apa kau tidak mengundangku. Aku tak mempermasalahkannya,” Mar menyalip ucapan Habib.
Habib mengembangkan senyum. “Bergabunglah dengan undangan yang lain. Anggap saja kau adalah bagian dari tamu yang kuberi undangan spesial.”
Mar tersenyum getir.
“Aku datang kesini hanya untuk menagih janjimu. Hanya itu.”
Habib memandangi wanita di depannya sangat lekat.
“Lupakah kau dengan janjimu?” sepasang mata sendu Mar berkaca-kaca.
“Mudah-mudahan kau tidak lupa dengan janjimu, Habib.”
Suasana dua hati yang mencekam di dalam ruangan itu tak mempengaruhi riuh meriahnya pesta yang tengah berlangsung. Mereka di luar sana tak paham bahwa salah satu aktor walimahan itu tengah dihinggapi rasa cemas yang tak karuan.
“Itu masa lalu, Mar. Sudah lama.”
“Maksudmu, kau melupakannya?”
“Mmm… aku… maksudku…."
“Maksudmu, kau tak melupakan janjimu? Begitukah, Habib?”
Habib menghenyakkan tubuhnya di kursi. Dijalinnya sepuluh jarinya dengan pandangan menerawang kebingungan.
“Kita pernah saling mencintai, Habib.”
“Semu, Mar. Itu hanya cinta semu.”
“Baik. Tapi apakah janjimu itu juga semu, palsu, penuh kebohongan?”
Habib terdiam tak kuasa menjawab.
“Kau telah berjanji, Habib. Berulang-ulang kau tegaskan, bahwa kau akan kembali kepadaku, menjemputku dan akan menyatukan cinta kita. Kau berjanji akan menikahiku, membimbingku menjadi wanita muslimah untuk kemudian mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah,” bergetar suara Mar. Dua butiran bening jatuh ke pipinya.
“Mar, mengertilah… Maafkan aku. Kita tak mungkin bersama. Lupakan janji itu, Mar,” akhirnya Habib bersuara setelah lama dicekam bisu.
“Aku telah menikah. Baru saja aku mengucapkan ijab qabul. Seandainya kau hadir sebelum ini… ah…,” Habib membuang pandangannya ke arah kursi pelaminan dimana seharusnya saat ini ia duduk tersenyum menerima ucap selamat dari tetamu. Bukannya malah berdebat dan berkutat dalam masalah perasaan masa lalu yang sulit untuk dipecahkan.
“Dari dulu hingga kini, bahkan walau kutahu saat ini kau telah menikahi wanita lain, perasaanku kepadamu tidak pernah berubah,
Habib. Aku tetap mencintaimu dan tetap mendamba bisa menjalin tali cinta suci yang sesungguhnya denganmu dalam ikatan suami istri.”
Bisik-bisik ranum dalam beberapa menit. Dalam ruangan itu kini telah ditambahi seorang wanita yang berbalut busana indah, sangat berbeda solekan wajahnya dengan perempuan lain yang ada dalam perhelatan itu. Mendengar aroma perselisihan yang melibatkan suaminya, ia segera bergabung ingin mengetahui gerangan hal panas apa yang terjadi, hinggamampu mengubah suasana biru menjadi kelabu.
“Ini Nadia, Mar. Istriku,” Habib memperkenalkan wanita yang mendekatinya, “Nadia, ini Mar. Dia….”
“Aku calon istrinya.” Mar berkata tegas.
“Mar…,” memerah wajah Habib.
“Aku memang calon istrimu, kan? Kau sendiri yang mengatakannya. Kau yang berjanji, bersumpah setia akan kembali padaku, menjaga cinta kita dan menikahiku. Bukankah itu calon namanya. Kenapa kau menutupinya, Habib?”
“Mar, aku mohon pengertianmu. Aku telah menikah, aku telah berubah. Aku bukan Habib yang dulu.”
“Kau berubah menjadi pemuda alim, aku senang, Habib. Aku turut bersyukur Tuhan menunjukimu. Dengan menjadi seorang yang dekat dengan agama, aku berharap kau akan menjalankan perintah agamamu dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah menunaikan janji. Karena ingkar janji adalah salah satu ciri orang munafik, kan?”
Habib menyeka wajah dengan kedua tangannya. Semakin bingung ia karena kian tak terhitung berapa pasang mata tengah menonton pertikaiannya dengan wanita yang memang pernah ditinggalinya janji manis, di kampungnya dulu.
“Mar… aku mohon, mengertilah…”
“Aku juga memohon, Habib. Mengertilah perasaanku.”
“Kita tidak mungkin bersatu, Mar,” Habib berkata lirih.
“Apa yang tidak memungkinkan? Akidah? Asal kau tahu Habib, sedari kau mengucapkan janjimu, aku terus membuntutimu. Kupantau terus keberadaanmu. Awal kau berangkat dari kampung kita, bulan-bulan pertama kau meninggalkanku untuk bekerja, kau masih sering meneleponku untuk sekedar menanyakan kabar melepas rindu. Namun seiring berjalannya waktu, seolah ada kekuatan yang membelenggumu. Ada sesuatu yang melarangmu keras untuk mendekatiku. Ada sesuatu yang memerintahkanmu agar kau benar-benar menjauhi dan melupakan apa yang pernah ada pada kita dulu. Aku selidiki kenapa. Dan aku menemukannya. Bukannya membencinya, aku malah mencintai aturan itu. Aturan agama yang kini kuanut ternyata tidak melegalkan pacaran ala kita dulu. Aku mempelajarinya dan akhirnya memutuskan untuk berpindah keyakinan karena aku telah kadung jatuh cinta dengan aturan lengkap agama ini.”
“Mar… kau…?”
“Ya, kita telah seakidah. Aku menemukan oase dalam kegersangan yang selama ini kujalani. Cahaya itu merasuk lekat di hatiku. Begitu indahnya ia sehingga walau aku dimusuhi seluruh keluarga dan handai taulanku, aku tetap lebih memilihnya.”
Habib menelan ludah. Hatinya semakin kalut dengan fikiran yang nyaris mengatup. Wanita yang kini menimbulkan prahara hebat di perhelatan istimewanya itu memang pernah menghiasi hari-harinya. Dia tak akan lupa itu. Habib juga tak mungkin lalai dengan janjinya, akan membawa Mar kepada bahtera yang indah bertaburkan cahaya iman.
Pandangan Habib berlabuh di wajah Nadia. Perempuan yang baru saja dinikahinya itu kian muram wajahnya. Teman-teman yang ada di sekelilingnya juga tak mampu bersuara. Hanya pijat-pijatan kecil dan usapan di bahunya yang dapat mereka lakukan demi menguatkan hati sahabat mereka.
Nadia memandangi wajah Mar. Jelas tertera cinta penuh kelembutan di sana, tak ada raut kebohongan atau secuilpun kedustaan. Wajah anggun itu malah menerbitkan rasa iba yang sangat. Bias menanggung perih sekian lama begitu tampak dari mata sendunya yang bersinar.
“Duduklah, Mar. Kalau benar kamu dari kampung, pastinya sangat letih menempuh jalan yang begitu jauh,” Nadia melangkah mendekati Mar.
“Terima kasih,” Mar menerbitkan senyum untuk rivalnya.
“Aku datang kemari bukan untuk berlama-lama menghabiskan waktu percuma untuk hal yang sia-sia. Aku hanya ingin memastikan, aku hadir di sini hanya untuk membuang beban di hatiku, menghabiskan tanya yang sekian lama menghimpit dada, melepaskan penasaran yang terus-menerus mengacau fikiran,” Mar menghapus dua titik air asin yang jatuh di sudut matanya.
“Mampukah Habib menunaikan janjinya, atau malah dia telah mengubur janji yang kuanggap sakral itu.”
“Mar, berhentilah bicara soal masa lalu,” Habib mulai angkat bicara.
“Semua telah berlalu, Mar. Kita bukan hidup di dunia mimpi, realitanya, aku sudah beristri, tak mungkin menjalankan janji-janjiku
dulu.”
“Mudah bagimu, Habib. Mudah bagimu untuk mengatakan itu,” bahu Mar berguncang-guncang menahan isak tangis.
Sekian detik kemudian Mar terdiam. Senyum getirnya muncul. “Baiklah, Habib. Berarti bebanku sudah terlepas semua. Aku sudah menemukan jawaban dari semua tanya yang selama ini mengusik kenyamanan hidupku. Bahwa kau sama dengan
orang awam, sama dengan orang yang tak berilmu.”
“Mar…,” kemarahan seolah tak tertahankan lagi di wajah Habib.
“Kau marah kukatakan sama dengan orang yang tak berilmu? Toh kau yang sekarang, dengan wajah yang begitu bercahaya karena wudhu, dengan jenggot yang terpelihara, dengan ucap kata yang berusaha dijaga, tak berusaha sedikitpun menunaikan janji. Benarkan?” tanpa menunggu balasan dari Habib, Mar mengulurkan tangannya kepada Nadia.
“Barakallah. Semoga Allah memberkahi pernikahan kalian. Semoga tak ada diantara kalian yang menyepelekan janji, memandang remeh azab Allah terhadap orang yang munafik.”
“Assalamu ‘alaykum….”
Mar melangkahkan kakinya menuju gapura buatan berhias bunga-bungaan. Berulang-ulang ia hela nafas berat. Bibirnya terkulum, mengulum perih. Namun himpitan yang selama ini menyesakkan, sudah terlepas. Kelegaan telah ia dapatkan kini, walau harus ia bayar dengan kepediahan tiada tara.
“Mas, tidak mengejarnya?” Nadia mematikan keterpakuan Habib.
Habib terperangah, “Dia menuntut aku untuk menikahinya.”
“Dia hanya menagih janji Mas. Dan jika Mas tidak membayarnya, Mas juga aku, akan terus berhutang. Hutang itu akan dipertanyakan di pengadilan Allah nanti.”
“Tapi apa yang bisa kulakukan, Nadia?”
“Nikahi dia sekarang juga, demi lunasnya hutang kita," ucap Nadia tegas.
“Ah, tak mungkin,” Habib menggeleng.
“Seandainya aku yang ada di posisi dia, mungkin aku akan lebih kuat. Aku yakin jodoh hanya Allah Yang Menentukan. Tapi, dia yang masih rawan … aku takut apa yang terjadi sekarang ini meluluhlantakkan semangatnya dalam beribadah, melunturkan cintanya yang menggebut-gebu kepada dien kita.”
“Mar… Tunggu…,” Nadia menyeret pakaian panjangnya, berlari meraih Mar yang terus berjalan tegar.
“Mar, mari kita selesaikan semua ini … dengan … cinta.”
Mar menggeleng lemah. “Walau tanpa dia, aku masih bisa hidup, aku masih kuat. Kau tak perlu merisaukan aku, Nadia. Yakinlah, setelah ini aku akan baik-baik saja,” Mar memasang wajah tegar.
“Aku tau kau wanita paling baik yang memang diperuntukkan untuk Habib.”
“Mar… Mas Habib akan terus berhutang sebelum menikahimu,” Nadia memegang kedua lengan Mar. “Untuk melunasinya, kumohon agar kau bersedia dinikahinya walaupun sebagai isteri kedua.”
Mar terhenyak kaget, “Janjinya bukan hanya menikahiku, dia juga berjanji akan membahagiakanku dalam bahtera rumah tangga yang penuh dengan cinta.”
“Justru itu, bagaimana mungkin dia akan menunaikan janjinya jika dia tidak menikahimu. Aku rela dimadu, Mar, demi itu semua. Aku ikhlas menjadi sainganmu… walau akan sangat perih akhirnya,” akhirnya air mata Nadia menetes tak terbendung lagi.
“Nadia…aku….”
Nadia menarik lengan Mar masuk kembali ke ruangan yang semakin ramai. Sanak keluarga, kerabat dan semua undangan memandangi tiga makhluk yang menjadi aktor dan aktris utama. Ragam fikiran berseliweran di kepala mereka. Ada yang membodohkan Nadia, sebagian menistakan Mar, dan yang lain mengejek lelaki yang bingung tak mengerti, Habib.
“Afwan(1), Akhi(2), ini jadi pelajaran buat kita semua, jangan bermain-main dengan apa yang keluar dari lisan kita, lebih tepatnya,
jangan menyepelekan janji.” bisik Bayhaqi, salah seorang teman Habib yang sedari tadi mendampinginya.
###
Peringatan keras untuk kita yang sering menyepelekan janji...
1. Maaf
2. Saudaraku
AKHIR SEBUAH JANJI
Posted by abyan muwaffaq
-
-