Penulis : DNA
Rindu duduk di sebuah restoran terkenal penyaji makanan junk food di sebuah Mall di kawasan selatan ibukota. Di depannya duduk Cita. Mereka berdua masih memakai seragam sekolah. Selepas pulang sekolah tadi, tanpa mengganti baju, mereka langsung menuju Mall. Tujuan mereka membeli buku. Tepatnya segala jenis buku yang bisa mereka beli, mulai dari buku pelajaran sampai buku cerita.
Buku yang mereka cari telah didapat. Begitu mau pulang, hujan turun dan terpaksa mereka masuk kembali ke dalam Mall. Karena perut mereka membunyikan sinyal tanda lapar, mereka pun masuk ke restoran.
“Ssstt... Cit! Nengok ke belakang, deh!” perintah Rindu.
Cita yang lagi asyik minum sisa soft drink, terpaksa berhenti.
“Ada apa, Rin?” tanya Cita.
“Look and you’ll see!”
Cita menengok ke belakang. Dia melihat seorang lelaki tua berdandan perlente duduk bersama cewek cantik imut berseragam putih-biru.
“Gimana, Cit? Dah liat, kan?”
Cita memutar kepalanya menghadap Rindu.
“Liat apaan? Orang cuma anak SMP sama Om-om gendut!”
“Nah, itu dia maksud gue. Gila, kan, tuh anak SMP! Kecil-kecil udah jadi….”
“Rin, nggak baik nuduh orang tanpa bukti!” serobot Cita.
“But, I think I’m not wrong!” tegas Rindu.
“Bisa aja dia lagi sama Bapaknya atau Om-nya!” terang Cita.
“Tapi kok duduknya mesra bangeeeeeettt?”
“Udahlah, Rin. Nggak usah peduliin urusan orang lain. Lebih baik kita pikirin nasib kita. Hujan belum juga berhenti. Uang di kantong udah habis. Gimana cara kita pulang?”
“Mungkin memang bukan urusan kita. Tapi setidaknya kita harus peduli dong, Cit! Tuh kan anak SMP. Gue nggak tega aja kalo ternyata dia….”
“Jadi mau lo apa? Andaikan bener tebakan lo itu, apa lo sanggup ngebantu ekonomi dia? Sedangkan kita aja masih disokong sama Ortu!”
Rindu mengangkat bahunya. Ya, dia tahu dia nggak bisa berbuat apa-apa. Cita benar, uang buat jajan mereka masih dikasih sama Ortu. Tapi tetap Rindu nggak habis pikir. Kenapa jaman sekarang kesulitan ekonomi membuat orang gelap mata?
Tak lama, anak SMP dan Om yang mereka bicarakan itu bangkit dari duduknya. Mereka melewati meja Rindu dan Cita. Anak SMP tersebut tersenyum kala melihat Rindu. Dengan malas Rindu membalas senyum anak SMP itu.
“Tuh, lo liat dengan jelas. Om itu ngerangkul mesra pundak si anak SMP!”
Cita hanya mengangguk. Entah apakah dia harus percaya dengan prasangka Rindu atau mengabaikannya begitu saja.
***
Jam istirahat, Rindu menghampiri kelas Cita yang bersebelahan dengan kelasnya. Dia melihat Wia yang duduk di sebelah Cita.
“Hai Cit, Wi. Lagi pada ngomongin apaan?” sapa Rindu sekaligus bertanya.
“Hai, Rin,” balas Wia.
“Nggak ngomongin masalah serius, kok. Cuma masalah ulangan Matematika tadi,” jawab Cita.
Rindu mengangguk. Lalu tanpa diminta, dia menyodorkan koran pagi yang tadi dibelinya di depan gerbang sekolah.
“Lo baca , Cit, berita menghebohkan pagi ini!” pinta Rindu.
Cita mengambil koran dari tangan Rindu. Matanya dengan cepat mencari headline menghebohkan itu.
“Kok, politik semua, Rin?” tanya Cita.
“Lo baca yang ini, dong!” tunjuk Rindu ke sebuah kolom kecil di bawah koran.
Mata Cita tertuju ke kolom yang ditunjuk Rindu.
LIMA CEWEK SMP DITANGKAP DI MALL
“Kenapa mereka ditangkap?” tanya Cita mau tahu.
“Baca, dong! Nanya mulu!” Rindu mulai kesal.
Cita pun membaca berita tersebut. Dia menghela nafasnya dan menatap Rindu.
“Gimana? Jangan-jangan salah satu cewek yang ditangkap itu anak SMP yang kemarin! Apalagi Mall-nya sama dengan Mall yang kita datangi,” seru Rindu.
“Belom tentu juga, Rin. Bisa jadi orang lain!” ucap Cita.
“Loh, di situ kan diberitain kalo kelima anak SMP itu ditangkap saat lagi berdua sama Om-om senang. Ih, kalo gue ketemu sama tuh orang yang ngejual anak-anak SMP itu, gue omelin tuh orang!” sembur Rindu berapi-api.
“Emang ada apa, sih?” tanya Wia agak basa-basi. Padahal dia belum menderita penyakit tuli.
“Ada berita tentang penangkapan anak SMP yang menjual dirinya di Mall, Wi. Lengkap bersama perantara dan Om-om berhidung belangnya,” ulang Cita dengan suara datar.
“Oh... itu toh. Udah nggak usah dipikirin. Itu kan sudah pilihan hidup mereka!” Wia berkata sambil mengangkat bahunya.
“Kok, lo gitu, Wi? Kan kasihan, mereka masih SMP, masih bocah ingusan. Mereka belom tahu apa-apa. Mereka itu korban!” tegas Rindu.
“Kayaknya mereka udah tahu, deh! Lagian mereka juga mau, kok. Jadi, mereka itu bukan korban! Tapi mereka….”
“Mereka apa?” tanya Rindu keras.
“Ya, mereka mesin pengeruk uang dari kantong tuh Om-om,” kekeh Wia senang.
“Dasar nggak punya hati nurani lo, Wi. Mereka itu cewek, sama kayak kita!” marah Rindu.
“Siapa yang bilang mereka cowok? Nggak ada, kan?” tanya Wia sewot.
“Udah deh debatnya. Wi, tutup mulut lo! Kita keluar aja, Rin!” lerai Cita sambil menarik keluar Rindu dari kelasnya dengan diiringi tawa memuakkan Wia.
***
Sepulang sekolah, Cita mengajak Rindu pergi ke Mall tempat mereka kemarin ketemu sama anak SMP itu. Mereka pergi ke restoran yang sama. Niat Cita mengajak Rindu, selain buat meredam amarahnya yang tadi sempat disulut Wia, sekaligus ingin membuktikan bahwa tebakan Rindu salah terhadap si anak SMP kemarin itu.
“Cit, kenapa kemari?” tanya Rindu heran saat mengantri memesan makanan.
“Nggak apa-apa. Gue cuma mau kesini lagi,” jawab Cita misterius.
Rindu tahu Cita menyembunyikan sesuatu. Tapi dia pun tahu, semakin didesak, semakin rapat mulut Cita mengatup. Apalagi mereka sudah sampai di depan kasir. Rindu berbisik, memberitahukan pesanannya pada Cita.
Mereka berjalan menuju bangku kosong dengan tangan membawa baki berisi makanan yang sebentar lagi bakalan masuk ke dalam perut mereka. Di saat mereka mulai makan, mata Rindu melihat anak SMP yang kemarin, kini masuk bersama Om baru.
“Cit, tuh anak masih ada. Sekarang dia masuk bukan sama si Om yang kemarin itu!” bisik Rindu.
“Oya?” heran Cita.
“Bener. Sekarang lebih muda dan ganteng pula. Wah, tuh anak parah juga gaulnya! Lo nengok deh ke belakang!” perintah Rindu.
Cita menengok ke belakang. Rindu benar, kali ini si anak SMP bersama Om bertubuh tinggi besar, berambut cepak, lebih muda dari yang kemarin dan ganteng dengan kulit putih bersih. Melihat itu, Cita mulai ragu dengan pikirannya. Mungkin kali ini tebakan Rindu benar.
“Gimana menurut lo?” tanya Rindu.
Cita menghela nafas. “Gue sih masih berharap tebakan lo salah. Tapi dengan dua kali ketemu tuh anak bersama cowok yang berbeda, bisa aja tebakan lo bener!”
Rindu tersenyum menang. Tapi gak lama wajahnya berubah sedih.
“Gue nggak habis pikir, Cit. Kok tega ya, ortunya?”
“Kebanyakan dari para ortu itu nggak tahu apa yang terjadi pada anak-anaknya, Rin. Karena mereka sibuk kerja atau sibuk ngurusin rumah mereka. Hingga lupa buat ngawasin. Tapi…”
“Tapi apa, Cit?”
“Seharusnya setiap anak pun tahu mana batasannya. Nggak semua yang terlihat indah dan mudah didapat itu merupakan kebaikan. Kebanyakan dari mereka ng mau atau nggak bisa nolak ajakan orang lain buat melakuan hal yang buruk.”
“Apalagi sekarang informasi mudah diterima. Bukankah itu bisa membuat setiap remaja mawas diri?”
“Nggak semua informasi itu suatu kebenaran. Terkadang informasi yang didapat malah mengajak remaja untuk ikut serta di dalamnya. Jadi, kadang faktor coba-coba atau rasa penasaran menjadi boomerang buat kita juga.”
“Kalo begitu, apa yang harus kita lakukan, Cit?”
“Hmmm, mengenal agama kita lebih baik lagi dan mempraktekkannya, dekat sama ortu dan berani menolak ajakan yang nggak bener. Mungkin itu bisa membantu kita, Rin.”
“Kok, hanya mungkin, Cit?”
“Karena gue kan bukan ahlinya, Rin.”
Rindu mengganguk. Sebenarnya dia mau berbicara lagi. Tapi begitu melihat Cita mulai asyik dengan junk food pesanannya. Rindu pun membatalkan niatnya dan memakan junk food-nya juga.
Saat mereka berdua sedang berlomba menghabiskan soft drink coke, masuk seorang cowok berpakaian seragam polisi yang langkahnya menuju meja di mana anak SMP duduk bersama Om baru.
Rindu dan Cita terus mengawasi apa yang terjadi di meja si anak SMP. Tak lama anak SMP itu bangkit, lalu berjalan keluar bersama Om baru dan polisi tersebut. Sekali lagi anak SMP tersebut tersenyum pada Rindu.
Rindu dan Cita saling memandang. Cita merasa tebakan Rindu mendekati kebenaran. Dia pun mulai ragu dengan pikirannya.
“Cit…”
***
Ini hari ke-tiga Rindu dan Cita berada di Mall dan restoran junk food yang sama. Mereka berdua berharap bisa ketemu lagi dengan anak SMP yang kemarin.
Mereka menunggu dengan sabar. Tapi sudah lewat setengah jam lebih mereka duduk, anak SMP kemarin belum terlihat. Makanan dan minuman mereka sudah habis dari tadi. Untungnya restoran tak terlalu ramai. Jadi mereka memutuskan menunggu lima belas menit lagi.
Baru lima menit berlalu. Tubuh mungil anak SMP yang mereka tunggu terlihat memasuk restoran, kali ini dia sendirian. Rindu menatap Cita tak mengerti. Cita mengangkat bahunya.
Anak SMP tersebut memesan minuman pada kasir. Lalu dengan langkah santai, dia menuju meja Rindu dan Cita. Begitu sampai di dekat meja Rindu dan Cita, dia berhenti.
“Kakak berdua, boleh nggak aku ikut gabung?” tanyanya lembut.
Cita menggeser pantatnya, memberi ruang kosong di bangku panjang yang dia duduki.
“Boleh, silakan duduk!” jawab Cita.
Anak SMP itu tersenyum manis, lalu duduk di sebelah Cita. Baru kali ini Rindu dan Cita dapat melihat dengan jelas kecantikannya yang dua hari terakhir selalu mereka bicarakan. Dari jarak dekat, anak SMP tersebut mempunyai rambut hitam tebal sebahu, kening rata dengan banyaknya anak rambut. Alis matanya tebal dengan mata bersinar bintang. Hidungnya kecil mungil dengan bibir tipis berwarna merah muda. Belum lagi wangi tubuhnya yang segar. Memang pantas jika setiap cowok yang berdekatan dengannya akan bersikap mesra.
“Kak, namaku Tyas. Nama Kakak berdua siapa?”
“Aku Cita dan ini Rindu,” terang Cita sambil menunjuk Rindu.
“Kak Cita dan Kak Rindu sering makan di sini, ya?”
“Baru tiga hari terakhir, kok. Gak bisa sering-sering juga, sih. Takut kantong jebol!” jelas Rindu setengah bercanda.
Tyas tertawa kecil.
“Kalo Kakak mau, besok temenin Tyas makan siang di sini, ya! Tyas sering nggak ada teman buat makan,” ucap Tyas sedih. Kepalanya menunduk dan tangannya mengaduk-aduk soft drink-nya di dalam gelas hingga membentuk pusaran air.
“Hmmm, maaf ya, Tyas. Dua hari terakhir kamu kan ditemenin sama Om-om tuh. Kenapa nggak minta ditemani mereka saja?” tanya Rindu. “Aduh!” Rindu menjerit karena Cita menendang kakinya.
Tyas menatap Rindu dengan mata bintangnya. Dia tersenyum.
“Kakak kenapa? Kok teriak kesakitan?” tanya Tyas.
“Oh, itu. Kak Rindu memang kadang suka teriak tanpa sebab. Tahu tuh kena penyakit apa!” terang Cita sambil melirik Rindu yang masih meringis kesakitan.
“Oh... Oya, tadi Kak Rindu menanyakan Papa dan Omnya Tyas, ya?”
“Papa dan Om?” tanya Rindu dan Cita berbarengan. Lalu mata Cita melirik Rindu seakan berkata ‘tebakan lo salah, Rin! Begitu juga tebakan gue kemarin!’.
“Iya. Tyas tahu kok, kalo Kakak berdua memperhatikan Tyas di restoran ini. Hari pertama itu, Papa Tyas yang kantornya nggak jauh dari Mall ini. Hari ke-dua itu, Om Tyas yang anggota polisi yang posnya…”
“Juga nggak jauh dari Mall ini. Betul, kan?” serobot Cita.
Tyas tertawa lepas. Rindu dan Cita pun ikut tertawa.
Hening sejenak. Lalu bibir mungil Tyas bergerak-gerak.
“Kakak berdua mau kan jadi Kakak angkat Tyas? Tyas ingin sekali punya Kakak yang mau menemani Tyas. Habis, Tyas ini kan anak tunggal. Papa sama Mama sibuk kerja. Karena itu, setiap makan siang Tyas di sini, lalu pergi ke kantor Papa menunggu jam pulang kerja. Di rumah nggak ada siapa-siapa. Tyas kesepian.”
Rindu menendang pelan kaki Cita. Meminta Cita yang menjawab keinginan Tyas.
“Hmmm, baiklah Adikku yang cantik. Kakak berdua mau jadi Kakak angkatmu,” jawab Cita.
“Hore... Makasih Kak Cita, Kak Rindu,” gembira Tyas. Dia pun memeluk Cita, lalu bangkit dan gantian memeluk Rindu.
“Besok Kakak harus kemari, ya! Temenin Tyas makan siang. Masalah biaya, biar Papa Tyas yang traktir.”
“Kok, Papa Tyas?” tanya Rindu.
“Karena Tyas kan belom kerja,” jawab Tyas dengan suara lucu.
Mereka bertiga tertawa lepas. Terutama Tyas yang mendapatkan Kakak angkat.
***
Rindu, Cita dan Tyas keluar dari restoran. Wajah mereka tampak gembira. Rencananya Rindu dan Cita mau mengantar Tyas ke kantor Papanya. Walau pun Tyas meminta langsung pulang dengan ditemani Rindu dan Cita. Tapi Tyas mengerti kalau Rindu dan Cita mengemukakan alasan hari sudah terlalu sore dan mereka tak mau kemalaman pulang. Karena arah rumah mereka berlainan arah. Hanya saja, Rindu dan Cita berjanji, sabtu besok akan menginap di rumah Tyas.
Mereka berjalan beriringan. Tyas berada di tengah diapit Rindu yang berada di kanan dan Cita di sebelah kiri.
Tiba-tiba langkah Rindu dan Cita terhenti. Mereka berdua saling menatap, lalu pandangan mereka beralih ke sebuah toko perhiasan berlian. Di dalam toko tersebut, ada seorang cewek yang mereka kenal dengan baik sedang bergandeng mesra bersama cowok tua yang juga mereka kenal.
“Itu kan, Kepala Sekolah dan Wi...,” Rindu dan Cita saling memandang.
Perawan Mall
Posted by abyan muwaffaq
-
-