Nanggroeku dan sebercak noda

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis:  Bintu said

Menginjak kembali di sebuah Desa paling pedalaman di kota Banda Aceh, setelah 2 tahun meninggalkan desa ini menuju ranah Minang demi seonggok Ilmu. Tak ada yang berubah dari sisi dan sudut rumah ku. Masih seperti dulu, sebuah TV 14 Inci dan 4 buah kursi rotan di ruang tamu yang lebarnya Cuma 3X2 itu, struktur letaknyapun masih sama.


Kumasukkan barang-barang bawaanku ke dalam kamar setelah bersalaman dan pelukan hangat dari Mak, yang begitu telah merinduiku, tak ada penyambutan dari adik-adik dan ayahku. Mereka semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Adikku yang sekarang sedang bersekolah dan Ayah ku sekarang sedang berada di tengah blang      [1] hanya untuk mengais riski dari upah yang beliau ambil dari tetangga. Hmmm, begitu sederhananya kehidupan kami.

Kulirik bagian kamar, terlihat ada lemari baru di sana, sengaja ayah beli karena lemari kami dulu sudah rusak dimakan rayap, begitu kata Mak. Cuma satu lemari itu yang berdiri megah disudut kamarku.ah,  persisnya kamarku dan 4 orang adikku.

“Ayah mantong cok upah blang yahwa makmu, Mak[2]?” tanyaku setelah membersihkan diri.

“Han neuk, sekarang ayahmu sedang mengambil upah di sawahnya yahwa[3] Syah,” sahut mak, yang kulihat wajahnya sudah mulai menua dimakan usia, tapi semangatnya sangat luar biasa, di umurnya yang sudah tidak muda lagi, mak masih sanggup mencari kayu ke bagian belakang rumah kami, bahkan masih sanggup untuk memotong ranting yang kuanggap tidaklah kecil. Mak keluar dari arah dapur, membawa sepiring ubi goreng dan secangkir kopi aceh yang khas baunya.

“Adek-adek gimana sekolahnya Mak?”

“Alhamdulillah lancar neuk[4], kamarin si Abdu dapat juara pertama di kelasnya, si Ahmad jadi Murid teladan di sekolahnya, Amir dan Ali baru bisa memberikan peringkat 5 besar di kelasnya,” tutur amakku.

Aku tersenyum bahagia, aku memiliki adik-adik yang sangat luar biasa.

“Van, masih ingat sama Rini, teman sekelasmu dulu?” tiba-tiba mak menanyakan Rini, aku kaget dibuatnya dan membuat aliran darahku berhenti sejenak.

“Manteung Mak[5]” jawabku gugup dan sekenanya saja

“Dia sudah nikah 2 bulan yang lalu,” tutur amak dan terlihat wajah sinis disana, aku mulai bertanya-tanya, bukankah dulu Mak sangat menyukai Rini, bahkan sempat memintaku untuk melamarnya ketika aku kelak jadi orang yang berhasil, ada apa gerangan dengan Rini?” sosok wanita yang sempat kukagumi ketika masih SMA dulu.

“Dengan siapa Mak?”

“Dia menikah dengan teman sekelasmu juga, Budi.”

Aku benar-benar sangat kaget mendengarnya, Budi teman sekelasku yang sering buat onar di sekolah tiba-tiba dalam umur semuda itu menikahi Rini, aku semakin penasaran.

“Mereka tertangkap basah dalam sebuah mobil di tempat sepi oleh Polisi Syariah Islam, wallahu’alam mak gak tau apa yang mereka perbuat, hingga membuat Rini hamil.”

“Astaghfirullah,,,” aku hanya bisa beristigfar.

Rini yang dulu kukenal wanita yang terjaga kehormatannya, tiba-tiba kudapat kabar telah menikah dalam keadaan hamil diluar nikah..ah, Rini, sudah lupakah kamu pelajaran kita dulu tentang Negeri serambi Mekkah? Kata mak setelah kelulusan kuliah Rini dan Budi pacaran, hubungan terlarang, gerbang menuju zinah.



Sengaja aku berjalan-jalan ke kota Banda Aceh untuk melihat-lihat perkembanganya, karena kata adikku yang paling bungsu, “Bang, sekerang kota banda Aceh sudah seperti Ibu Kota Jakarta, banyak gedungnya dan banyak tempat permainannya,asiklah bang, sudah tak tampak lagi kota korban Tsunami.” Ah adikku, bukankah kita sekeluarga belum pernah ke Jakarta? Aku hanya tersenyum ketika mendengarnya. Sembari juga aku ingin melupakan perihal tentang Rini.

Kota Banda Aceh tidaklah terlalu jauh dari rumahku, sekitar 1 jam. Sengaja aku berangkat jam 11 siang dari Rumah, agar diwaktu Zuhur aku bisa Shalat di Mesjid Baiturrahman, mesjid termegah dan paling terkenal di seantaro dunia. Mesjid saksi perjuangan para pejuang-pejuang Aceh ketika masa penjajahan dulu.

Hawa sejuk berhembus nikmat ketika kakiku mulai memasuki rungan mesjid, kulihat banyak pengunjung hari ini, ada yang sibuk berzikir dan ada juga yang sibuk dengan bacaan Al-Qurannya. Kutitipkan tas ku kepada Ijal, teman sekampung ku yang sengaja ku telpon untuk menemaniku selama di Banda Aceh.Ijal yang sekarang sedang berkuliah di Unsyiah tepatnya di Fakultas Teknik.

Kulangkahkan kaki menuju tempat Wudhu, sambil aku melihat–lihat sekeliling mesjid. Terlihat berdiri megah menara mesjid. Sebuah menara jika kita menaikinya, maka terlihatlah megah kota Banda Aceh secara keseluruhan. Dan tak lupa pula dengan kolam renang yang sebagian besar masyarakat Aceh menyebutnya Kolam keramat, karena jika ada keluarga yang membawa anak kecil ke mesjid ini, maka wajib memandinya dengan air kolam tersebut. Konon kata mak, dengan memandikan dengan air kolam tersebut, maka penyakit-penyakit akan lari dari badan si anak. Ah, ada-ada saja.

Aku melihat sepasang muda-mudi sedang berfoto ria didepan mesjid, dengan pakaian yang tidak seseuai dengan peraturan memasuki pekarangan mesjid “Area bebas pakaian ketat”. Apakah mereka tidak membaca atau pura-pura tidak tau? Sembari ku perhatikan mereka, tiba-tiba mereka berlari cepat ke arah tempat wudhu wanita, aku dibuat penasaran olehnya.  ternyata di belakangnya berdiri garang penjaga Mesjid dengan Rotan di tangan. Dan aku pun tertawa hebat, hingga beberapa ibu-ibu yang sedang asyik bercengkrama dengan keluarganya geli melihatku. Sejauh ini, mesjid Baiturrahman tidak hanya dijadikan sebagai tempat beribadah, tapi juga sebagai tempat rekreasi baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Setelah melakukan shalat zuhur, aku mengajak Ijal untuk jalan-jalan mengelilingi kota Banda Aceh, dan tentunya aku ingin berkunjung ke sebuah Museum Tsunami. Yang kata Ijal tempatnya sangat menarik.

“Lanjut young, ka bereh nyo[6]”  sergapku dengan semangat sambil nangkring di atas motor Ijal

“Ho neujak dile[7], Van?” Tanya Ijal sambil menghidupkan mesin motornya

“Museum Tsunami, Kiban?[8]”

“Ok.”

Sengaja aku meminta Ijal mengemudi motornya dengan pelan, karena aku ingin melihat-lihat keadaan kota Banda Aceh, benar kata adikku banyak yang telah berubah di sini. Dari Taman Malahati yang sudah banyak permainannya sampai berjejernya warung Kopi Khas Aceh. Sepanjang perjalanan, aku merasa ada yang janggal dan mengusik hati dan fikiran ku, membuat aku sangat malu ketika aku teringat kata-kata seorang sahabat di kota padang “ Aceh tu Syariahnya kuat ya, Van. Andaikan saja kota padang seperti itu”. 

Ah, aku benar-benar malu ketika mengingatnya, saat mata ku melihat jelas banyaknya pasangan muda-mudi berbonceng ria tak senonoh tanpa ada rasa dosa dengan pakaian yang jauh dari Syariah. Tak pernahkah mereka tau tentang Polisi Syariah Islam yang akan tiba-tiba menahan mereka atau polisi syariah Islam sudah pada Pensiun.

“Pada kemana Polisi Syariah, Jal?” tanyaku. 

“Kenapa, van?” Tanya ijal dengan nada penasaran

“Loen kalon ka parah that jino aceh[9]”

“Haha,,sudahlah Van, tak perlu dihiraukan itu, pemerintah kita sudah pada lupa dan masyarakatnya pun juga lkut lupa degan semboyan Serambi Mekah,” Ijal ketawa dengan nada Cemeeh.

“Maksudmu?” aku dibuat bingung olehnya.

“ Kemarin ada anggota Dewan tertangkap basah sedang mengkonsumsi sabu-sabu dan bahkan 2 minggu yang lalu salah satu polisi syariah tertangkap basah berkhalwat dengan seorang gadis sekolahan,” jelas Ijal.“Astaghfirullah,,. kenapa bisa seperti itu Jal?”

“Aku pun kurang tau, Van. Mungkin salah satu penyebabnya kurangnya komitmen pemerintahan kita dalam membuat Qanun[10], Pemerintah yang membuat pemerintah pula yang melanggar, jadilah masyaraktnya ikut-ikutan. Sebentar lagi semboyan Serambi Mekah akan tinggal nama, Van!” Ijal terus melajukan motornya ke arah museum, aku hanya bisa menarik nafas dalam. Separah itukah Nanggroe [11]ku sekarang?

Tepat di depan gedung megah, belum sepenuhnya terawat. Ijal memakirkan motornya, sempat aku berfikir benarkah ini museum?

“Jangan panik gitu Van, ini memang sengaja didesain seperti ini, biar nampak gedung Tsunaminya.”

“Ooo,” jawabku lega.

Kami memasuki ruangan museum, sangat unik dan menarik. Jalannya yang berkelok-kelok dengan tembok yang dialiri air sangat persis dengan kedaan Tsunami. Sungguh sebuah arsitektur yang luar biasa. Yang lebih uniknya lagi, sebuah ruangan 2x2 meter dalam bentuk lingkaran dan gelap, jika kita menoleh keatas maka tercetak indah tulisan Arab “Allah”. Subhanallah,,, sengaja tidak dipasang lampu, agar Nama Allah bisa terlihat indah dan jelas.

Setelah menelusuri ruangan dengan pakaian yang lumayan sedikit basah. Kami memasuki ruangan yang dipenuhi beberapa foto Tsunami yang melanda Aceh 7 tahun Silam. Sangat jauh perbedaan kota banda Aceh 7 tahun lalu dengan kedaan yang sekarang. Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian diperjalanan tadi, pemandangan yang sangat mengkhawatirkan, tidakkah cukup dengan Tsunami yang telah menewasakan ratusan ribu orang masyarakat Aceh membuat mereka sadar? Oh, Tuhan,,. Selamatkan Kami atas perbuatan mereka.

“Hei, kenapa termenung?” tiba-tiba Ijal mengagetkanku.

“Ah tidak, aku hanya teringat kata-katamu di atas motor tadi.”

“Sudahlah Van, tak perlu difikirkan itu, yang penting kita tetap dalam  menjujung tinggi syariah Islam,” ujar Ijal pasrah.

Aku hanya bisa menarik nafas dalam, ku lanjutkan langkahku menelusuri ruangan lain di gedung ini, dengan fikiran yang kacau dan mengiris hati.

Dua minggu setelah pulang dari Banda Aceh, aku lebih sering membantu ayah untuk mengambil upah di sawah tetangga, nikmat sekali rasanya bisa membantu ayah ke sawah, bisa kurasakan begitu peliknya mencari nafkah untuk biaya pendidikan kami anak-anak ayah, sangat bersyukur aku memiliki seorang ayah yang sangat bertanggungjawab kepada keluarga. Tanpa lelah di waktu malamnya pun sehabis Magrib ayah senantiasa mengajak kami shalat berjamaah dan bercerita tentang kisah-kisah Nabi dan para Sahabat dalam menegakkan syariah Islam.

“Van, mau ikut mak ke lapangan?” ujar Mak, membuyarkan lamunan ku

“Ada apa Mak?”

“ Kabarnya, kemarin ada beberapa orang disergap karena sedang bermain judi, hari ini mereka dicambuk oleh algojo[12]”

Hmmm, untuk kesekian kalinya, aku mendengar kabar yang mengiris hati, tapi cukup senang karena di tempatku, syariah Islam masih dijalankan. Dengan begini, pelaku maksiat dapat merasa jera.

“ Ya Mak, loen ikot[13]”  ujarku.

Segera aku bangun dari tempat dudukku, ku ajak semua adik-adikku, aku ingin memperlihatkan kepada meraka bahwa Syariah itu perlu ditegakkan.

Sesampai di lapangan, banyak masyarakat berbondong-bondong ingin melihat. Di atas pentas sudah berdiri  5 orang pemuda dan seorang algojo yang ditutup wajahnya dengan satu Rotan yang cukup lumayan besar ditangan algojo tersebut. Kuperhatikan satu-persatu pemuda itu, tatapku terhenti pada salah satu pemuda, kurasa cukup mengenalnya. kutatap lagi untuk meyakinkanku,

“Astaghfirullah,,” aku kaget ketika aku telah yakin dengan kebenaran yang kulihat.

“Kenapa, Nak?”

“Ada Ijal di sana Mak.,,” aku menjawab lemah,  sekujur kaki ku terasa layu.

“Astaghfirullah, teman dekatmu?”

Aku mengangguk, terasa ada butiran bening di sudut mataku. Ah Ijal, baru 2 minggu yang lalu kita membahas Syariah Islam di Nanggroe kita, baru dua minggu yang lalu pula kau berucap bahwa kita harus menegakkan syariah Islam di Aceh. Sekarang kau benar-benar telah membuktikan kepadaku dengan kejadian hari ini, bahwa hukum cambuk pantas untuk dijalankan bagi mereka yang berucap syariah dan kemudian meniggalkan syariah.

“Aaaaaaaahkh” teriakan Ijal terasa perih, algojo terus mengayunkan rotannya hingga beberapa kali dan kemudian dianggap selesai. Kulihat Ijal menunduk, tak tau apa yang sedang dia fikirkan di sana. Setelah mendapat giliran masing-masing. Kelima tersangka tersebut digiring memasuki mobil Polisi Syariah. Kuperhatikan tubuh yang sangat kukenal itu, dan kemudian ia melihat ke arahku,,. dengan tatapan nanar dan penuh penyesalan.

Hari ini aku kembali ke kota padang, dengan membawa berbagai kenangan yang membuat aku semakin malu jika nanti teman-teman dari luar aceh menyatakan “Wah,,. keren ya Aceh, Syariah Islamnya dijunjung tinggi banget”, mungkin saat itu aku hanya bisa tersenyum kecut. SELESAI. NANTIKAN CERPEN BERIKUTNYA JUMAT, 13 MEI 2011





[1] sawah

[2] Ayah masih ambil upah disawah pak makmur, mak?

[3] paman

[4] nak

[5] Masih mak

[6] Lanjut teman, udah siap ni

[7] Mau kemana kita dulu

[8] Giman?

[9] Saya melihat sudah parah kota Aceh ni

[10] Udang-udang di Aceh

[11] Negeri

[12] Petugas syariah yang bertugas mencambuk para terdakwa yang melanggar syariah

[13]  Saya ikut

Leave a Reply