Oleh: Leona Augustine
Kukayuh sepeda biruku. Itupun bila kau mau sedikit menyenangkan hatiku demi menyebut sebentuk sepeda yang sudah tidak kentara warna cat pabriknya Suaranya berkeriut-keriut serupa irama dendangan cacing-cacing lapar di perutku. Matahari mengganas menjilat bumi dengan lidah api. Tidaklah menjadi soal, kulit tembagaku sudah kebal menghadapinya. Begitu pun debu-debu yang mengepul digilas roda-roda kendaraan raksasa. Sudah delapan kilometer kutempuh. Itu artinya setengah perjalanan lagi masih menanti. Aku sedikit mengurangi kepenatan saat mulai memasuki jalanan yang dinaungi pohon-pohon angsana dan trembesi. Angin dari sela-sela batang padi yang hampir menguning mempermainkan seragam putihku yang kebesaran.
Di sinilah aku biasa bersua dengan kawan-kawanku semasa SMP dulu. Kini mereka pun bersekolah di kota sepertiku, menyebar di berbagai sekolah swasta. Aku cukup beruntung hanya dengan mengandalkan otakku-satu-satunya hal berharga yang kumiliki-aku bisa masuk sekolah negeri di kota kabupaten itu. Mereka akan menyapaku dan membunyikan klakson-klakson motor mereka dengan riang. Pulang beriring-iringan dengan kawan yang bermotor juga. Memang tidak ada yang bersepeda sepertiku.
Jalanan ini adalah jalan panjang yang kutempuh sepanjang hari, paling tidak enam hari dalam seminggu, dua puluh lima hari dalam sebulan, tidak kunjung berubah jua dari masa ke masa. Entah jalan apa kau akan menyebutnya bila kau melihatnya. Setengah aspal atau setengah tanah atau jalan bobrok barangkali. Bahkan, aku telah hafal betul letak lubang-lubangnya yang menganga walau dengan mata tertutup sekalipun. Kalau beruntung, dalam jangka waktu tertentu ada perbaikan kecil-kecilan. Hal yang dimaksud dengan perbaikan adalah menutup lubang-lubang itu dengan batu cadas dan sejumput pasir. Padahal tentu saja akan segera terbilas hujan dengan sia-sia saat musim penghujan mulai menerjang.
Aku kadang tak habis pikir kemana larinya uang-uang trilyunan di masa Orde Baru itu. Hal yang sempat diagung-agungkan sebagai masa pembangunan lalu diyakinkan dengan adanya program Pelita yang bersekuel itu. Walaupun pada akhirnya hanya menjadi bahan hujatan karena meninggalkan hutang berkepanjangan bagi Indonesia. Memang saat itu aku masih dalam ayunan, belum paham benar dengan apa yang terjadi. Tapi saat mataku mulai bisa meresapi semesta, nyatanya “masa keemasan” itupun hanya menyisakan lambang-lambang partai usang yang terpaku di rumah-rumah limas di kampungku. Sekolah reot pinggir sawah, jalan tanah, lantai tanah. Setelah presiden negeri ini telah berkali-kali berganti rupa, tiada sedikitpun titik terang menimpa desaku. Piuhh...
Reputasi kota kecilku inipun amatlah miris. Suatu masa, saat aku mengikuti seleksi Paskibra tingkat provinsi, banyak di antara teman-teman dari berbagai kabupaten maupun kotamadya yang berkerut keningnya saat kusebut daerah asalku.
“Dimana ya itu, Guh? aku pernah dengar sih...” kata salah seorang.
“Aku pernah lihat nama kotamu itu di plang penunjuk arah...” sahut teman yang lainnya.
“Hahh, malah kupikir itu letaknya di propinsi lain...” timpal yang lain tertawa bodoh sambil menggaruk-garuk kepala. Teman yang lain hanya ikut menertawakan. Berani taruhan, mereka pun pasti tidak lebih paham dari yang menjawab barusan.
Celetukan polos seorang dari mereka membuat parasku kian merah padam, “Oh, yang jalannya jelek itu ya?”
Aku tersenyum masam, dengan berat kuucap “Ya...” Mau bagaimana lagi, sebatas itu yang mereka tahu dan memang begitulah adanya.
***
Memasuki jalanan kampungku angin semakin akrab membelai. Di tikungan depan, sebelah pasar, ada keramaian. Pasar tentu sudah bubar. Pastilah ada kerusuhan. Mungkin pelaku curanmor sedang dihakimi massa. Mungkin pencuri pisang ibu-anak kembali beraksi. Atau ada pembunuhan? Kukayuh sepedaku makin gegas. Kucapai kerumunan untuk mengetahui apa yang terjadi.
“Dasar tua bangka...belum puas apa bertahun-tahun makan uang rakyat, sekarang malah mematikan tempat kita cari makan...” seorang Ibu-ibu yang mengenakan singlet berkoar. Bocahnya yang menangis di ujung kakinya tak dihiraukan.
“Kalau saja pasar modern itu memang benar akan dilaksanakan, tentu kita juga akan ikhlas untuk berjualan di tempat baru. Tapi uangnya pastilah sudah ia tilep dengan cecurut-cecurutnya...”
“Sekarang satu-satunya tempat kita mengorek rejeki diamuknya tanpa sisa!!! “ Lelaki hitam itu membanting rokok kreteknya ke jalan dan memadamkannya dengan kaki telanjang.
“Ya benar, kita ini sudah berbaik hati mendiamkan ulahnya! Coba pikir...kemana larinya uang sumbangan untuk pembangunan SD 1 itu? Dari SD itu masih kokoh hingga sekarang ambruk...tak ada tanda-tanda ia akan memperbaikinya...Tak kasihan dia melihat anak-anak bersekolah di kandang sapi Mbah Jomo?!!”sahut laki-laki yang masih mengenakan seragam dan bersepatu pantofel. Aku tidak mengenalinya, mungkin ia guru SD baru dari kota.
“Apa maunya bangkotan itu? Apa kita bunuh saja dia beramai-ramai!!!”Lelaki hitam yang terlihat paling garang itu makin mengganas.
“Tenanglah dulu...salah-salah kita malah dipenjara atau dihabisi antek-anteknya...”Mas Kusmin mencoba menengahi. Ya, kebetulan orang terakhir itu aku mengenalnya. Dia tetanggaku, seringkali kulihat dia mengisi bak air di surau samping rumah. Tiap harinya dia mengais rupiah di pasar, berjualan tempe tapi dia tidak menyadari kehadiranku. Kerumunan itu terlalu padat.
Dari pembicaraan yang kudengar itu aku mulai paham arah pembicaraan mereka. Kios-kios kecil yang letaknya berseberangan dengan kawasan pasar utama itu telah diluluhlantahkan. Siapa lagi kalau bukan cecunguk-cecunguk suruhan Si Tua Bangka Patmo. Memang kios-kios itu bukanlah bagian dari pasar utama. Bercokolan di dekat pasar kambing. Lurah–lurah sebelum Patmo tidak pernah mengusik ketentraman itu tapi kini, Patmo, Lurah tak bernurani itu mengklaimnya sebagai kios ilegal yang berdiri di atas tanah milik desa. Padahal menurut desas-desus, ia akan membangun tempat penggilingan padi pribadinya di situ.
“Hah, keterlaluan! Bukankah seharusnya program pembangunan pasar modern yang lebih luas itu ia laksanakan sehingga tidak ada pedagang yang harus berjualan hingga di luar seperti itu. Dasar tikus kampung!”
Aku tersentak. Aku teringat Bapakku belum lama membangun kios tembok di kawasan yang dibumihanguskan itu. Padahal baru sebulan ia berdagang. Kemarin dulu beliau sudah meminta izin pembangunannya di perangkat desa. Setelah sekian lama menabung untuk mewujudkan keinginannya memiliki kios kelontong itu.
Kuarahkan sepedaku menuju kawasan itu. Aku berbalik arah. Tidak mungkin menerobos lautan manusia ini.
***
Pemandangan yang kulihat setelahnya lebih mengerikan daripada apa yang kupikir. Sebelum aku sampai betul di depan kios bapak, sepedaku kuhempaskan. Bangunan mungil itu telah rubuh dan luruh terbakar. Tembok-temboknya yang belum halus sempurna telah menjadi kepingan-kepingan tak berarti. Bau gosong di sekitarku masih menusuk hidung. Rasa sakitku sampai ke ulu hati. Kepalaku berdenyut. Tak bisa kubayangkan sedihnya hati bapak. Uang yang telah dikumpulkan beliau untuk mendirikan kios ini tentu tidak sedikit. Sedianya dengan adanya kios ini aku digadang-gadang tahun depan bisa masuk ke perguruan tinggi. Ah, tentu pupus sudah harapan manis itu. Kutinggalkan kawasan itu dengan lemas. Aku ingin segera bertemu bapak. Bagaimana rupanya? Seberapa sedih beliau? Bagaimana perasaan Ibu? Adikku? Baru kali ini kubiarkan keteguhanku lenyap. Aku menangis sejadi-jadinya...
***
Kudapati bapak mencangkung di pintu. Tatapannya kosong ke arah matahari terbenam. Wajahnya sendu menyayat. Aku ingin sekali mengambur ke pangkuannya tapi pundakku seperti kejatuhan besi beton. Berat rasanya.
“Pa..aak...”ucapku lirih saat melewatinya. Suaraku seperti tersangkut di kerongkongan. Ia hanya menengok sekilas.
“Oalah, Ngger...! Guh..Teguh...”Ibuku bergelung di amben, beruarai tangis. Ia mencoba bangkit saat melihatku.
“Bu, kenapa semua harus terjadi...salah kita apa, Bu?” Aku menangis didekapannya.
“Memang tidak punya welas asih dia itu. Tidak bosan menindas wong cilik. Sementara uang rakyat dia kunyah tanpa ampun...huhuhuhuhu”Ibuku meraung dan meracau.
Aku tak melihat bapakku menyahut sedikitpun. Aku kecewa. Harusnya bapak marah. Semestinya bapak mengamuk dan menghentikan kesemena-menaan lurah rakus itu. Dia kalah atau mengalah? Dia diam atau mendendam? Aku geram.
***
Malam sudah usang. Di kamar aku masih terjaga. Kutunggu sampai bapak masuk ke biliknya. Senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Aku mulai bersiap. Tekadku sudah bulat. Harus ada harga yang harus dibayar dibalik semua perbuatan. Akupun menyadari betul apa yang akan kulakukan malam ini.
Bulan berkelit di balik cakrawala. Kelam. Semakin memudahkan langkahku untuk merayap ke tempat tujuanku. Kugenggam senter kecil di tangan kiri dan tangan kanan menggenggam belati.
Rumah itu gelap betul. Lampu-lampunya telah dimatikan. Namun, aku masih dapat mendengar Si empunya sedang bercakap-cakap di telepon. Aku merapatkan tubuhku ke tembok. Haha, dugaanku tidak meleset. Ia memang selalu tiduran di bangku taman samping rumahnya setiap malam. Dalam kegelapan, ia mematikan ponselnya. Tangannya terlipat di dada...matanya mulai dipejamkan.
Aku berjingkat ke arahnya. Hey, tunggu! Aku melihat beberapa pasang mata mengawasi targetku. Tiga sosok lelaki berpenutup kepala mengintai di balik rimbun pisang. Mungkinkah itu para bodyguard Patmo? Ah, tamat sudah riwayatku! Salah seorang dari mereka memberi kode padaku. Kalau mataku tak salah mencerna, itu Mas Kusmin. Ya, Mas Kusmin, tak salah lagi. Dua lelaki lainnya adalah orang yang berkoar gahar di pasar siang tadi. Apa yang mereka lakukan di sini? Adakah mereka memiliki niat yang sama denganku? Aku bergerak mendekati mereka dengan perasaan yang tak karuan.
“Patmo!!! Satu...dua...tiga...”lelaki hitam itu menyiramkan sekaleng bensin ke wajah, tubuh, dan kaki Patmo sesuai dengan hitungannya.
“Hei siapa kamu?!!”Patmo kaget dan ketakutan bukan kepalang.
“Aku rakyat yang sekarat...yang tiada bisa bermimpi lagi. Akan kuhabisi kau dihitungan keempat dan lima sesuai namamu...Seorang lagi menyalakan korek api di depan mata Patmo. Patmo membungkuk memegang dadanya dan hampir roboh ke tanah. Serangan jantung barangkali. Aku sudah tak peduli. Aku gemetaran menyaksikannya. Bahkan aku urung melakukan pembalasan pada Patmo dengan tanganku sendiri. Pisau belati yang kugenggam, jatuh bergeletar ke tanah.
“Papat...Lima...”orang itu mengakhiri hitungannya dengan melempar api itu ke wajah Patmo. Patmo, papatlima, atau empat-lima. Ya, dia terbakar di saat hitungan empat dan lima. Sesuai dengan namanya. Api menjalar secepat kilat. Merambat ke seluruh permukaan tubuhnya. Kudengar ia memekik dan terkulai pingsan dan api itu semakin merajalela menjamah tubuhnya.
“Itu untuk api yang kau lemparkan ke kios-kios kami...”ujar Si Lelaki Hitam. Mereka bertiga tersenyum puas dan sempat menepuk pundakku. Mas Kusmin memberi kode untuk segera meninggalkan tempat prahara itu. Aku berjalan pulang. Entah apa yang terjadi mereka telah menyampaikan pada Patmo rasanya dibakar, rasanya diinjak-injak dan dipupuskannya mimpi dan harapan kita dengan paksa.
Mereka memang bukan pahlawan yang sedang menumpas kejahatan. Mereka penjahat?! Tak mengapa kau menyebutnya demikian. Tapi mereka telah rela untuk membunuh orang yang telah begitu tega membunuh mimpi dan harapan semua orang itu. Mungkinkah ada yang melihat ulah kami tadi? Ah, tapi aku rela bila besok pagi aku akan mati digebuki, atau masuk dalam surat kabar sehingga membuat desa kami lebih dikenal oleh orang luar, atau dicincang ramai-ramai oleh cecurut-cecurut Patmo atau polisi akan menyeretku dari lelap tidurku. Apalah artinya itu semua kalau kau sudah tak bisa berharap dan bermimpi lagi? Aku sudah tak peduli. Sungguh-sungguh tak peduli.
***
TITIK PENGHABISAN
Posted by abyan muwaffaq
-
-