Penjarakan Zaky

Posted by abyan muwaffaq - -

Oleh:Farinka Nurra

Tok…tok..tok

Pak Hakim mengetuk palu tanda persidangan dimulai, keadaan sedemikian tegang. Bangku pengunjung penuh sesak oleh penonton, baik dari pihak keluarga, kerabat atau yang hanya iseng-iseng ingin mengikuti persidangan. Beberapa orang melonggokkan lehernya panjang-panjang, penasaran dengan sosok bocah cilik yang tertegun di atas kursi pesakitan. Mimiknya ketakutan, namun tak bisa dielakkan. Bocah cilik itu terlihat bahagia, entah mengapa.



“Dengan ini persidangan dimulai,” ujar Pak Hakim. Suaranya yang berat membuat sebagian orang berhenti bernafas. Terutama keluarga si bocah. Berkali-kali si Mak, yang berada di barisan paling depan jatuh pingsan. Sedangkan bapak dari si Bocah hanya termenung. Sesekali menguatkan istrinya dengan pelukan yang hangat.

Pak Hakim bertanya panjang lebar tentang identitas si Bocah. Dengan didampingi seorang jaksa si Bocah menjawab dengan lancar.

Sebenarnya Pak Hakim bingung, kenapa bocah ingusan yang belum genap 8 tahun itu dapat ”nyasar” di peradilan. Wajahnya begitu polos, terkesan baik hati, namun tak disangka dapat bertindak keji.

”Mengapa kamu melakukan hal itu?”, tanya Pak Hakim lagi.

Si Bocah yang bernama Zaky mendongakkan lehernya, matanya kembali berbinar.

”Karena saya ingin masuk penjara Pak Hakim”, jawab Zaky polos.

Kontan seisi persidangan terperanjat. Termasuk Pak Hakim. Sesaat beliau terdiam, kepalanya tiba-tiba pening. Kasus ini begitu rumit, sesaat dia berpikir ini hanya mimpi. Namun sosok itu terlalu nyata, bocah lima tahun dengan senyuman polos, wajah yag riang, hingga keringat yang mengalir di pelipis si Bocah terlalu jelas. Bagai sebatang tombak yang kokoh menghujam tanah.

”Penjara itu enak, Pak Hakim...”, lanjut sang bocah. ”Disana ada AC-nya, kasurnya empuk, makannya tinggal minta, ada ayam goreng, semur daging, lele bakar, pokoknya kayak di hotel. Beda sama rumahnya Zaky, makan sekali sehari, itupun kalau Bapak ada rejeki. Makanya Zaky ingin dipenjara”.

Kata-kata Zaky meluncur bagai peluru, tanpa dapat tertahan, meletupkan percikan api yang menyengat hati. Kali ini Pak Hakim hanya dapat terbengong, mulutnya terbuka lebar, membulat!

***

Hari masih pagi benar, Zaky masih mengantuk. Seruan sholat subuh dari bapaknya hanya mampir sejenak ditelinga. Ini hari libur, Zaky ingin bersantai, seperti teman-temannya yang boleh bangun pukul sembilan ketika libur.

Namun, Mak tak ingin anaknya menjadi pemalas. Dengan penuh kasih sayang digoncangkannya tubuh Zaky, berbisik lembut dengan rasa keibuan.

”Bangun, Nak! Ayo, sholat subuh. Ikut ke masjid sama Bapak”.

”Zaky ngantuk, Mak”, balas Zaky enggan, matanya terasa berat.

”Hush, habis wudhu nanti juga ngantuknya hilang, Ayo cepat bangun!”, seru Mak tak putus asa.

Zaky tak menggubris, dia tetap bergeming.

” Kalau ndak bangun nanti tidak bisa ikut bapak lho, katanya mau lihat tempat kerjanya Bapak?”.

Zaky segera beranjak dari tidur pulasnya, tersenyum pada Mak, gigi depannya yang ompong membuat Mak gemas, diciumnya anak semata wayangnya itu dengan lembut.

”Iya, Mak. Zaky mau”, jawab Zaky. Kaki kecilnya berjalan menuju belakang rumah, berwudhu untuk ikut Bapak sholat di Masjid.

Selesai sholat Zaky buru-buru pulang, dia segera mandi, dibersihkannya setiap inci tubuhnya dengan teliti. Dia bahagia, keinginannya pergi ke tempat kerja Bapak akhirnya terpenuhi. Dipakainya baju koko terbaik, sandal selop hadiah dari Pak Ustadz dan menyisir rambutnya dengan rapi.

”Wah, mau ke penjara saja rapinya minta ampun,” sindir Bapaknya.

Zaky hanya tersenyum. Ya, Bapak hanya bekerja sebagai cleaning service sebuah penjara di Yogya. Pekerjaan yang baru didapatkan bapaknya sebulan yang lalu. Zaky penasaran ingin melihat rupa penjara, kata temannya penjara itu menakutkan, banyak pria bertato, petugas polisinya juga galak. Namun Zaky tidak takut, dia semakin bersemangat.

Dengan mengayuh sepeda selama kurang lebih 40 menit, Zaky dan bapaknya sampai ke tujuan. Sebuah bangunan penjara yang dipagari tembok tinggi dengan kawat besi. Di depan pintu ada petugas keamanan, meneliti setiap orang yang masuk. Tampangnya sangar seperti tukang pukul di pasar.

”Kok anaknya dibawa, Pak?”, tanya petugas penjaga.

”Anaknya mau lihat-lihat saja, Pak”, jawab Bapak.

”Boleh saja asal jangan ganggu pekerjaan Bapak, silahkan masuk”.

Bapak mengangguk dan menuntun sepedanya ke dalam.

***Zaky terperangah, ruangan itu begitu bersih, mewah, serta memiliki perabotan lengkap. Ada lima kamar diruangan itu, masing-masing terdapat sebuah AC, TV, dan lemari es. Kasurnya terlihat sangat empuk, berbeda dengan tempat tidurnya di rumah yang hanya beralaskan tikar.

”Wah, Pak. Itu anaknya, ya?”. Tiba-tiba seorang ibu menyapanya.

Bapak hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Imut sekali ya. Sini, nak! Tante punya jajan, sini main sama tante”.

Zaky kecil menurut.

Disana Zaky mendapat banyak makanan enak, ada permen, susu, juga kue-kue lezat.

”Tante ini hotel, ya?”, tanya Zaky tiba-tiba.

“Iya, hotel! Hotel prodeo. Alias penjara. Hehe”. jawab perempuan itu sembari menonton TV.

“Wah, enak ya. Kata teman Zaky penjara itu kotor, pesing, jorok lagi. Tapi disini nggak. Disini kayak hotel. Zaky mau dipenjara saja kalau gitu.”

Perempuan itu tertawa melihat kepolosan Zaky.

“Boleh, Zaky ntar nemenin tante disini, biar tante nggak kesepian”.

“Boleh, Tan?” Mata Zaky berkaca-kaca.

“Ya, tentu saja boleh.”

“Hore...”

Sorak Zaky girang, namun kegembiraannya itu terhenti ketika ayahnya mengajak pulang.

***

Zaky memukul Ivan hingga berdarah, meski Ivan berteriak kesakitan Zaky tidak menggubris, semakin berteriak Zaky semakin bersemangat memukul Ivan. Kata temannya, hanya penjahat yang boleh masuk penjara. Dia ingin sekali masuk penjara, dia harus jahat. Lagipula dari dulu Zaky benci Ivan, anaknya sombong dan angkuh. Sering menghina dirinya. Bagi Zaky, Ivan perlu diberi pelajaran. Pelajaran yang menyakitkan.

Hal itu membuat Ivan diopname di rumah sakit, keluarga Ivan tak rela anaknya diperlakukan seperti itu. Zaky dilaporkan ke pihak berwenang.

Orang tua Zaky hanya pasrah. Mereka tak punya apa-apa.

***

Pak Hakim merasa lemas, perasaan malu, marah, kasihan dan kecewa menjadi satu. Zaky tidak salah, Ia hanya makhluk kecil yang tak tahu apa-apa. Yang salah adalah wanita itu, yang salah adalah orangtua mereka yang bodoh dalam mendidik anak, yang salah adalah birokrasi negri ini yang carut marut, yang salah adalah dirinya sebagai seorang hakim...yang salah adalah.....

”Ahh”, Pak Hakim menghela nafas berat. Matanya terpejam.

”Sidang ditutup, tersangka dibebaskan karena dibawah umur”.

Tok..tok..tok..

Palu pun diketuk!

***

Surakarta, 23 November 2010

Leave a Reply