Nol Bertemu Nol

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis: Rifan Nazhif Dalimunthe


    Duduklah di sini, dan dengarlah ceritaku. Kau jangan tertawa kalau ini membuatmu geli. Karena yang tertawa duluan adalah yang menangis belakangan. Maka, duduk-diamlah. Diam lebih baik bagimu, ketimbang bercakap terus, agar ceritaku mengena di hatimu.

   
    Kau mengenal Saoci, kan? Lelaki berperawakan Cina, tapi keturunan Batak tulen. Matanya sipit. Badannya gembul. Pipinya seperti biasa, serupa bakpao. Tapi jangan dengar kalau dia berbicara, logat Bataknya masih kental. Lebih kental dari kopi pahit yang sudah terhidang di hadapan kita.

    Sering kali aku mengejek, bahwa meski hampir sepuluh tahun merantau di Jakarta, tabiat cakapnya masih serupa dulu. Tapi atas setiap ejekanku, dia membalas dengan senyuman. Dia berprinsip, jangan memberikan kulitnya, ketika orang melemparmu dengan buah durian. Namun berikanlah isinya, sementara kulitnya letakkan di tong sampah. Prinsip yang konyol, menurutku. Seperti konyolnya keinginannya sebulan lalu.

    Saat itu aku sedang menyiangi rumput di halaman depan rumah kontrakan. Panas sebenar terik, walau masih jam sembilan pagi. Topi lebarku dapat memayungi keterikan itu. Sementara dia, si Saoci itu, memakai pakaian training. Mengalungkan handuk belel serupa sopir truk di leher. Hendak ke mana orang aneh itu? Aku sendiri tak tahu dan sama sekali tak mau tahu. Kecuali akhirnya dia menyapa lebih dulu.

    "Lagi mencari apa, Bang? Apa ada biji emas di situ?” dia memang senang bercanda. Padahal aku sering kesal. Aku paling benci dicandai.

    "Biji emas dari mana?” aku menjawab tanpa menoleh. “Kau itu mau kemana? Berpakaian training panas begini, apa tak dianggap orang kau setengah miring?” dia cekakak. Kutahu perutnya yang membusung akan berguncang.

    Saoci paling anti olah raga. Baginya, kegemukan tubuhnya adalah berkah dari Tuhan. Maka itu, dia paling senang makanan berlemak dan minuman yang manis-manis. Satu lagi, ketika libur bekerja, dia menghabiskan waktu mengorok di kamarnya yang hampir berdekatan dengan jendela kamarku. Suaranya laksana petir, sehingga aku lebih senang menyudahi bersantai di tempat tidur, lalu berlari ke luar rumah mengerjakan perkara yang remah-remah demi membunuh waktu sampai menjelang malam. Maklum, sekali lagi karena aku bujang lapuk.

    Kuakui memang kegemukan Saoci berkenan dengan pekerjaan yang digelutinya sekarang. Dia seorang koki di restoran siap saji. Klop lah! Selain masakannya dipuji orang, dia juga lebih dekat dengan segala aroma yang membuatnya selalu seperti orang kelaparan.

    "Rif, aku mau bertobat menjadi orang gemuk,” dia membuatku tertarik. Seumur-umur aku belum pernah mendengarnya mengeluh. Dia orang yang optimis. Dia pantang mengeluhkan kepada orang lain atas setiap kondisi buruk yang sewaktu-waktu menimpanya. Sebagai tetangga, akulah yang paling sering menyampahinya dengan keluh-kesahku.

    Kataku, dia ibarat tong sampah yang baik hati. Meski senang bercanda---ketika aku mengeluh---dia akan diam serupa kukang. Dia benar-benar pendengar yang baik. Nyaris tanpa memberi solusi apa-apa. Tapi biasanya setelah mengeluh kepadanya, hatiku sedikit plong.
Nah, sekarang dia mengeluh kepadaku? Itu artinya ada masalah super besar menimpanya. Segera kuletakkan arit di teras. Kuminum air dari ceret langsung dari corongnya. Tabiat buruk yang tak perlu dicontoh!

    "Kenapa pula? Katamu, gemuk itu adalah berkah. Katamu, dengan tubuh gemuk, otomatis menjadi iklan bahwa makanan di restoran tempatmu bekerja memang super nikmat. Aneh! Apalagi sekarang kau sudah bangun dan hendak berolahraga. Ada gerangan apa membuatmu berubah seratus persen begini?”

    "Mak-ku di kampung kemarin menelepon!”

    "Bukannya itu perkara biasa?” ketusku.

    "Masalahnya pelik, Rif,” wajahnya berubah kuyu. Tak pernah dia kelihatan sekusut itu. Aku jatuh iba.

    "Ceritakanlah!"

    "Aku mau dijodohkan Mak dengan perempuan di kampung. Sebetulnya aku enggan. Malu rasanya dijodoh-jodohkan, meski perempuan itu anak tulangku. Tapi setelah menerima kiriman foto perempuan itu, hatiku berbalik suka. Perempuan itu memang belum pernah bersua denganku, karena selama ini dia tinggal di Irian Jaya. Kemarin itu pas bapaknya mutasi kerja ke Medan, singgah sebentarlah dia sekeluarga di rumah Mak, sekaligus mengancang-ancang menjodohkan kami berdua.”

    "Perempuan itu cantik, kan?”

    "Iyalah pula! Kalau tak cantik tak maunya aku,” wajah kusutnya kembali merona.

    Dia mengatakan ingin secepatnya menikah dengan perempuan itu. Tapi ada masalah pelik yang membuatnya amat merana. Dari telepon Mak, ternyata si perempuan tak senang melihat foto Saoci yang terpampang di dinding rumah dengan postur serupa kerbau. Perempuan itu menginginkan Saoci yang bertubuh proporsional.

    "Jadi, punahlah harapku, Rif. Makanya sekarang aku mau rajin berolahraga," wajah murungnya kembali menyilet hatiku. Hmm, bingung juga menghadapi persoalan kawan yang satu itu. Aku mencoba membantunya agar bisa menikah, sementara aku sendiri, untuk dekat dengan seorang perempuan saja tak pernah. Tapi tak apalah. Biarlah bantuanku menjadi tumbal atas segala keisenganku terhadap diri seorang Saoci selama ini.

    "Ya, kalau begitu, rencanamu yang pertama ini memang betul. Berolahraga dengan pakaian training di bawah terik matahari, adalah kiat pertama. Selanjutnya kau harus berdiet.”

    "Diet?”

    "Iyalah!”

    Kau tahu, setelah pagi itu, dia datang lagi menemuiku menjelang jam sembilan malam.

    "Tak bisanya beratku berkurang, Rif. Padahal aku sudah berolahraga sampai dua jam penuh.”

    "Ya, sudah pasti tak bisa instant begitu, Ci. Semuanya harus perlahan dan konsisten.”

    "Tapi aku tak sabaran. Apalagi aku harus diet segala!”

    Aku tersenyum. Cara terbaik dan ternakal adalah yang seketika terbit di otakku. “Bagaimana kalau dengan pencuci perut? Itu lebih tokcer.”

    Dia langsung memelukku. Ide gila yang kulontarkan, kiranya menjadi rahmat yang tiada terkira baginya. Besok paginya aku langsung membelikan dia obat pencuci perut. Hasilnya dapat ditebak. Dia terkapar di kamarnya. Dia tak bisa masuk kerja sampai tiga hari. Ketika bertemu aku dengan wajah kuyunya, dia berucap, "Matilah aku dibuat obat pencuci perut itu!”

    "Lah, tapi itu yang kau mau!” aku hampir menangis karena terlalu deras tertawa saat dia mengatakan bahwa tukang cuci pakaian marah-marah. Selain pakaiannya bertumpuk segudang, baunya lumayan menyengat.

    "Aku terpaksa menambah tips sekian kali lipat kepada Bibik itu. Kalau tidak, berhentilah dia mencuci pakaianku.”

    Aku tak enak hati melihat rautnya. Dua hari setelah itu aku menemui Saoci di tempat kerjanya. Kebetulan dia sedang istirahat, dan kami menghabiskan waktu sambil menikmati dua piring salad dan dua gelas jus tomat. Kataku makanan tersebut sebagai salah satu pemicu penurunan berat badannya.
 "Menurutku, kalau perempuan itu memang mau menikahimu, tentu dia harus rela menerimamu apa adanya. Rela terhadap kondisi keuanganmu, termasuk pada keseluruhan fisikmu,” aku serupa kyai memberikan wejangan kepada santrinya.

    "Ya, tak bisa begitu, Rif. Perkara uang, memang dalam percintaan yang tulus,  bukanlah persoalan. Tapi berhubungan dengan bentuk fisik, adalah faktor utama. Tak usah munafiklah, setiap orang yang jatuh cinta, pasti berawal dari melihat lawan jenisnya itu tampan atau cantik.”

    "Tak dapat dipastikan demikian, Ci!”

    "Tapi itu adalah kenyataan, Rif. Kalau seseorang itu mencintai lawan jenisnya bukan karena faktor fisik, tentulah unsur tak tulus mencintai lebih berat. Mungkin dia hanya iba. Mungkin pula tersebab ingin mengeruk hartanya.”

    Aku menjadi penasaran seberapa cantik perempuan yang akan dijodohkan orangtuanya dengan Saoci. Mungkinkah seperti artis? Atau serupa perempuan desa yang berwajah kemayu? Mustahil Saoci mati-matian menurunkan berat badan kalau perempuan itu tak cantik selangit!

    "Sudahlah! Jangan pernah mencintai orang yang tak mencintaimu! Perempuan lain kan banyak!” geramku.

    Aku kesal, perempuan terkadang membingungkan. Saat-saat mana dia manis serupa anak kucing, saat-saat mana dia ganas laksana macan. Dia juga bisa menangis tanpa sebab, juga tertawa tanpa musabab. Itu menurutku. Hingga dari dulu aku selalu salah kaprah menebak kehendak setiap perempuan. Akibatnya, ya itu tadi, aku tetap melajang sampai hampir menjelang empatpuluhan.

    "Kau tahu tak mudah membuat perempuan senang kepadaku, Rif!” tubuhnya lunglai. Sejak aku mengenalnya dua tahun lalu, praktis dia tak pernah dikunjungi perempuan. Tapi dia menerimanya dengan lapang dada laksana wajah, dada, dan perutnya yang lebar.

* * *
     Duduklah di sini, dan dengarlah ceritaku. Kau jangan tertawa kalau ini membuatmu geli. Karena tertawa duluan adalah yang menangis belakangan. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang tak dapat dipungkiri. Maka, duduk-diamlah. Diam lebih baik bagimu, ketimbang bercakap terus, sehingga ceritaku tak mengena di hatimu.

     Kau tahu, saat Saoci demam karena bingung memikirkan perjodohannya dengan perempuan itu, aku buru-buru mengantarkannya sop buntut. Dia melingkar di kamarnya. Masih tetap bertubuh besar seperti sebelumnya. Katanya, dia sudah diet beberapa hari. Beraduk dengan stress, akhirnya demam.

    "Makanlah sop ini!”

    "Tidak! Nanti aku gemuk,” rambutnya masai. Dia duduk sambil menatap sop itu bernafsu.

    "Makanlah! Aku lebih senang kau sehat daripada demam tersebab ingin menurunkan berat badan.”

    Aku melihat selembar foto yang terselip di bawah bantalnya. Walaupun dia mencoba merebut, aku tetap berhasil mendapatkannya.

    Aku terbelalak. Di selembar foto itu terpampang seorang permpuan yang sama gendutnya dengan Saoci. Mungki dia adik Saoci. Sial, berarti dia membohongiku setelah selama ini mengatakan dia hanya anak tunggal dalam keluarganya.

    "Ini adikmu?”
   
    Dia menunduk.

    Tiba-tiba aku curiga. Aku terbayang kondisi ruwet yang menimpanya sampai hari ini. “Dia perempuan yang dijodohkan denganmu?” aku berharap dia menggeleng, namun ternyata dia mengangguk pasti.

    Aku tergelak-gelak. Bagaimana mungkin perempuan segemuk itu begitu percaya diri memiliki calon suami yang atletis? Harusnya dia dulu yang merampingkan tubuh segede tong itu! Dia tak memiliki cermin di rumahnyakah?

    Saoci tak menanggapi tawaku. “Rif, jangan mengejek calon istriku. Aku sangat menyukainya, karena dialah perempuan pertama yang mau kuperistri.”

    "Tapi….”

    "Dia tak ingin kami sama-sama gemuk. Seperti angka nol bertemu nol!”

    "Tapi….,” aku masih merasakan air mata mengambang di pelupuk mataku saking gelinya.

    Dia mendorongku keluar. Membanting pintu kamarnya. Aku tetap tak bisa berhenti tertawa.

***

    Kau tahu sekarang kondisi Saoci bagaimana? Tepat! Dia tak berubah. Tetap gemuk. Dan kau tahu kejadiannya selanjutnya? Jangan tersedak, karena Saoci benar-benar menikah dengan perempuan itu.

    Hebatnya, perempuan itu ternyata tidak gemuk seperti di fotonya. Ia berubah seperti Tina Toon versi kanak-kanak menjadi remaja, berjilbab pula! Mereka memang menikah di Medan, tapi aku bertemu perempuan itu--istri Saoci-- saat berkunjung ke rumah kontrakannya. Kunjungan terakhir, karena berdua mereka akan pulang ke Medan. Saoci diterima di sana sebagai koki di hotel berbintang empat.

    Kata Saoci saat-saat perbincangan terakhir kami di halaman depan rumah kontrakanku, "Kaget kau lihat istriku, Rif?"

    Bukan kaget lagi! Hampir-hampir aku ingin meninju Saoci karena ia telah membohongiku dengan selembar foto perempuan gemuk yang ia akui sebagai calon istrinya.

    "Sama, aku juga. Sungguh kaget malah! Haha," Saoci terpingkal-pingkal luar biasa girang.

    "Yang kau lihat di selembar foto waktu itu adalah istriku lima tahun silam. Sengaja dia kasih aku foto itu untuk menguji apakah aku sama seperti kebanyakan laki-laki yang langsung menolak begitu lihat lemak di bawah kulitnya!" seru Saoci lagi.
   
    "Mengenai kegemukanmu?”

    "Gampang itu rupanya! Istriku yang bantu urus. Katanya tak baik gemuk untuk kesehatan! Dia suruh jatah makanku dikasihkan ke tetangga, kasih pula ke orang susah. Banyak kali orang susah di negara kita ini, bakalan kuruslah aku nanti... hahaha," seru Saoci dengan bangganya. Dan terakhir, ia malah berani mengkhotbahiku.

    "Cepatlah kau beristri! Jangan banyak pilih-pilih! Tak baik terus hidup sendiri..."
    Saoci meneruskan khotbahnya dengan berkata bahwa istrinya memberitahu perintah Nabi untuk menikahi wanita karena 4 hal: Fisik, Keturunan, Harta, dan Keimanan. Tapi kalau menikahi seseorang karena fisik, keturunan atau harta, bisa-bisa kita menderita  karena fisik, keturunan, dan hartanya itu! Bah, pandai sekali istri Saoci itu membuatnya bisa mengutip perkataan Nabi...

    "Nikahlah karena iman, Rif, dan iman itu cuma bisa kau uji dari sikapnya pada orang lain!" senyum Saoci yang merekah seharusnya membuatku senang, tapi entahlah...

    Kau tahu aku tak bisa lagi tertawa hingga sekarang. Maka pesanku, janganlah pernah tertawa duluan, karena kau akan menangis belakangan. Tapi setelah kejadian Saoci ini, aku bertekad untuk menyudahi nasibku menjadi bujang lapuk.

    Jadi, tolonglah kau kabari aku jika ada saudara, teman, atau kenalanmu yang masih gadis dan ingin menikah, jangan lupa pesan terpenting dari seluruh kisahku ini!
   
    Ya sudahlah, sekarang barulah kau boleh pergi, ingat... kabarkan pesanku tadi!***


Leave a Reply