Penulis: Eka Retnosari
"Berdoalah, Nak. Mintalah apa pun. Apa pun!"
"Apa pun?"
"Ya, apa pun."
"Termasuk sepeda?"
"Ya, termasuk sepeda."
Maka anak itu pun menengadahkan tangannya ke langit, ke langit biru, ke awan putih, ke tempat segala pinta berpulang.
"Tuhan, aku hanya ingin sepeda. Tak ingin apa pun lagi. Hanya sepeda," bisiknya. Kemudian sore tiba dan segalanya berakhir sendu.
Malam menghadirkan rembulan yang cukup terang di halaman. Beberapa anak berusia 8 atau lebih dari itu memilih untuk menghabiskan waktunya di sana. Seusai mengaji, seusai melahap habis singkong rebus dari piring seng kepunyaan ibu masing-masing.
Sepeda adalah teman setia bagi para anak yang ingin menikmati malam bulan purnama. Seto punya sepeda, Karmin pun punya. Sakinah dan Hayatun pun masing-masing punya. Sepeda yang meski tidak terlalu bagus, tapi bisa dipakai untuk kelliling kampung atau sekadar dijadikan alas duduk sambil menatap cahaya bulan.
Tapi Bayu tidak memiliki itu. Ia hanyalah penonton. Penonton tawa teman-teman sebayanya.
"Ayo, kita balapan!" ajak Bagas yang disambut oleh teriakan setuju oleh para pemilik sepeda.
"Bayu, kau yang jadi juri, ya!" seru Bagas.
"Hah?"
"Iya, kau jadi juri, Bayu! Kau kan belum punya sepeda!"
Bayu mengangguk, tanda setuju meskipun dalam hati, ingin rasanya menjadi salah satu penunggang sepeda.
"Apakah Tuhan dapat mengabulkan apa pun?"
"Ya, apa pun?"
"Termasuk sepeda kan?"
"Iya. Termasuk sepeda."
"Apakah Tuhan pasti mendengar?"
"Ya, Tuhan pasti mendengar."
"Apakah Tuhan mengerti?"
"Ya, Tuhan pasti mengerti."
"Apakah Tuhan paham bahwa aku sangat sangat ingin sepeda."
"Ya."
"Berapa lama Tuhan bisa mendengar?"
"Tanpa batas waktu."
"Apakah saat ini pun Tuhan sedang mendengar?"
"Ya, pintalah. Tuhan akan mengabulkan apa pun. Apa pun!"
"Tapi sepeda itu belum datang juga."
"Bersabarlah…bersabarlah…Tuhan pun sedang mendengarkanmu dengan sabar."
Anak itu pun menundukkan kepalanya lalu membisikkan keinginannya kuat-kuat. "Tuhan, berikan aku sepeda…sepeda…hanya sepeda. Itu saja. Aku tak ingin apa pun. Hanya sepeda. Kabulkan segera, ya. Aku mohon."
Sepeda itu pun datang. Sebuah sepeda baru. Tapi tidak untuknya.
Sepeda itu terparkir dengan sangat manis, di halaman rumah Kinasih, teman sekelasnya.
Kemarin dulu, ia meminta dengan amat sangat kepada kedua orang tuanya. Bahwa ia, sama halnya dengan Bayu, sangat ingin sepeda. Dan ia langsung mendapatkannya pada hari kesekian ia meminta.
Bayu menatapi semua bagian sepeda itu. Stang, sepasang ban yang masih bersih—belum ada noda bekas cipratan lumpur di sana. Bersih. Besi yang mengilap dan belum ada satu bagian pun yang ditempeli stiker. Ia membayangkan satu stiker bergambar salah satu pemain sepak bola tertempel di sana.
"Sepeda baru?" tanya Bayu, ketika Kinasih sedang mencoba menunggangi sepedanya untuk pertama kali.
"Iya."
"Berapaan?"
"Nggak tahu. Bapak yang beli."
"Oooh…"
Dan Kinasih pun melaju dengan sepeda barunya. Awalnya pelan, tapi kemudian cepat. Secepat doanya yang terkabul begitu saja.
"Kenapa Tuhan tidak mengabulkan doaku?"
"Belum."
"Kapan?"
"Pada suatu hari nanti. Teruslah meminta."
"Tapi aku bosan."
"Tapi Tuhan tak akan pernah bosan mendengarkan permintaanmu."
"Aku hanya ingin sepeda, apakah itu sulit?"
"Tidak."
"Lalu kenapa permintaanku belum juga dikabulkan, sementara teman-temanku yang lain sudah?"
Hening.
"Kinasih tidak pernah berdoa, tapi ia sudah mendapatkan sepedanya."
"Mintalah pada Tuhan."
"Kinasih tidak minta sepeda kepada Tuhan. Ia minta pada bapaknya."
"Bapaknya bukan Tuhan."
"Tapi ia bisa memberikan sepeda."
"Mintalah pada Tuhanmu."
"Tapi aku sudah meminta, dan belum juga dikabulkannya."
"Bersabarlah. Berdoalah terus…"
"Aku bosan…"
"Berdoalah. Mintalah apa pun. Apa pun!"
Bayu pun kembali menengadahkan kepalanya ke langit yang masih biru, ke awan yang masih putih, ke tempat segala pinta harus berpulang. Ia mencoba melafalkan sesuatu tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kelu, ia sudah tak sanggup lagi menyampaikan permintaannya.
"Minggu depan Pak Lurah akan mengadakan balap sepeda di depan kantor kelurahan. Kamu nggak ikutan?" tanya Bagas, bersama sekelompok penunggang sepeda yang sudah berbaris, lengkap dengan sepedanya masing-masing.
Bayu menggelengkan kepalanya.
"Pendaftarannya gratis lho…" ucap Bowo.
"Bayu nggak punya sepeda!" seru Kinasih yang mentereng di atas sepeda barunya yang masih mengilap, meski sudah ada noda cipratan di permukaan ban depannya.
Yang lain diam. Semua menatap Bayu. Akhirnya semua meninggalkan, pamit pergi main sepeda ke depan kelurahan. Mungkin untuk latihan.
"Pak, ayolah, Pak…"
Sang ayah diam, lama menundukkan kepalanya. Akhirnya ia pun menganggukkan kepala. "Baiklah. Besok bapak beliin kamu sepeda."
"Horeee!" Bayu melonjak-lonjak kegirangan. Dia bahagia, tentu saja. Ia tak sabar menanti hari esok. Ia merasa puas. Permintaannya terkabul, justru saat ia menghentikan ritual doanya.
"Kau tidak akan berdoa lagi?"
"Tidak akan. Aku sudah punya sepeda. Bapakku yang mengabulkan."
"Tuhan akan rindu padamu."
"Tapi aku sudah punya sepeda."
"Tuhan akan rindu pada suaramu saat meminta."
"Aku bilang, aku sudah punya sepeda!"
"Tidak ingin berterima kasih pada Tuhan?"
"Bapak yang memberiku sepeda, bukan Tuhan."
"Hei, kau mau ke mana?"
"Aku mau main sepeda! Besok ada balapan di kelurahan."
"Tuhan titip salam kangen untukmu…"
Tapi Bayu tidak mendengarnya. Ia sudah berlalu bersama sepeda barunya. Bayu tidak menyadari bahwa sepeda yang telah ia dapat merupakan pemberian Tuhan, yang dititipkan melalui Bapaknya...
-April, 2011-
Eka Retno dilahirkan di Bandung pada 20 Juli 1984. Cerpennya tergabung dalam antologi bersama: Rendezvous di Tepi Serayu (Grafindo, 2009) dan Sebuah Kata Rahasia (SMG Publishing, 2011). Sekarang menjadi guru Bahasa Indonesia di MAN Insan Cendekia Serpong.
Sepeda
Posted by abyan muwaffaq
-
-