Aku dan Ayahmu

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis: Eka Handayani Ginting

Aku bukanlah perempuan materialistis yang ingin menguasai seluruh kesenangan duniawi Bapakmu, bukan pula seorang penyihir jahat yang tersenyum bahagia jika hatimu terluka saat kau tahu bahwa, kedua orang tuamu bercerai karena aku. Aku hanya sedang jatuh cinta pada pria yang ternyata Ayahmu. Maaf...


Tapi pernahkah kau merasakan cinta? Merasakan debaran–debaran di dalam dadamu karena melihat senyuman manis dari seseorang? Menangis terisak–isak sampai kau kehabisan suara karena takut kehilangan? Atau marah sejadi–jadinya karena mencium gelagat penghianatan?

Aku merasakannya!

Aku mengalami semua hal yang dirasai manusia saat panah cupid menancap di hati. Terlepaslah beberapa lama panah itu dan membiuskan racun cintanya. I am falling in love.

Terserah kau mau berkata apa. Silakan memakiku, caci aku, puaskan jiwamu dengan mengutukiku seperti kau pernah mengutuk atas setiap kesialan yang kau alami. Jika aku adalah kesialan terbesarmu, anggaplah ini sebagai cobaan dari Tuhanmu untuk mengukur seberapa sanggupkah kau ikhlas menerima ini dan tak menghianati apalagi menduakan-Nya.
  
“Aku takkan pernah menerimamu, perempuan jalang! Pergi kau!” kau melemparkan isi tong sampah ke wajahku. Perilakumu edan. Seperti itukah Ibumu selama ini mendidikmu? memperlakukan orang lain sehina–hinanya. Dan bukankah kita seumuran, Hazkia? Bahkan di usia yang belum sampai seperempat abad ini, belum pernah aku memperlakukan seseorang sedemikian hina.
Ya, aku Maleeka, perempuan yang mendapat julukan malaikat manis dari Ayahmu, dan aku pun memang selalu berbuat manis kepada setiap orang. Bahkan terhadap musuh–musuhku. Aku bahkan bersikap baik terhadap orang–orang yang selalu merendahkanku dengan hina. Entahlah jika nanti para pembunuh Ibuku ditemukan, apa masih bisa aku bersikap manis.

Taukah kau, Hazkia? Taukah kau bagaimana rasanya kehilangan Ibu? Ibu, satu–satunya manusia yang akan menerimamu apa adanya, sekalipun kau menyakitinya hingga ke sumsum tulang belakangnya. Aku takkan pernah menyakiti hati Ibuku. Lebih baik aku meminum air tuba dibanding harus melihatnya berlinang air mata.

Aku tak punya Ayah. Aku bahkan tak pernah bertanya perihal Ayah pada almarhumah Ibuku. Karena matanya akan langsung berkaca–kaca jika aku mencoba memulai percakapan yang objeknya adalah pria yang ingin sekali kupanggil "Ayah" itu.

Dan Hazkia, mau tahukah kau? Kapan dan di mana aku bertemu Ayahmu? Hmm, hari itu aku sedang berjalan–jalan di sebuah toko buku. Toko buku adalah tempat paling menyenangkan buatku, baik saat kantongku sedang kosong ataupun tidak. Aku sedang membolak balik sebuah buku saat tak sengaja seseorang menabrakku.

“Maaf, kamu nggak apa–apa, kan?” ia menatapku cemas. Aku hanya tersenyum, lalu mengelengkan kepala.

“Maaf, aku tidak sengaja,” suaranya bersahaja.

Dan benar saja, wajahnya setampan yang kuperkirakan. Ia gagah dan terlihat sangat dewasa. Ia tersenyum padaku, begitu manis. Asal tahu saja, Hazkia, belum ada seorang pria pun yang tersenyum dengan cara seperti itu padaku. Sebelumnya, senyuman yang dihadiahkan padaku adalah senyum pria–pria penggoda yang melihatku hanya karena fisik semata. Berbeda dengan Ayahmu, ia memandangku dengan cara yang lain.

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, tanpa disengaja kami bertemu lagi. Kali ini karena aku hampir saja kecopetan. Entah bagaimana, tiba–tiba saja tangan Ayahmu menjangkau dan memukul tangan pencopet yang sedang membuka retsleting tasku. Kami sama–sama terkejut saat menyadari bahwa sebelumnya kami pernah berjumpa. Ayahmu tertawa, geli sekali ia dengan kejadian sewaktu di toko buku itu. Ia mengaku saat itu sedang sibuk mencari penanya yang terjatuh, dan  karena itulah kami bertabrakan.

“Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Sebagai tanda terima kasihku,” ajakku dengan nada merayu. Entah bagaimana Ayahmu memiliki pesona yang begitu membius, merusak saraf–sarafku seperti narkoba golongan satu. Aku tak ingin kehilangan momen itu, karena belum tentu aku dan Ayahmu akan berjumpa lagi. Kau sepakat kan, bahwa manusia itu oportunis. Setiap peluang dan kesempatan sebaiknya memang harus kita manfaatkan. Aku pun adalah seorang opurtunis sejati yang akan menyesal jika membiarkan kesempatan itu sia–sia.

Ia kelihatan sangat senang. Ya, Hazkia, jelas sekali. Aku bisa membaca ekspresi Ayahmu itu. Bagaimana tidak, belum pernah ada satu pria pun yang menolak ajakanku. Melihat senyumku saja lelaki akan merona. Mereka takkan mungkin melepaskan aku begitu saja. Begitu juga aku, takkan kusia-siakan waktuku menikmati setiap saat indah yang para pria berikan padaku. Pernahkah kau merasakan hal yang sama, Hazkia?

Oiya, Hazkia, siapa yang memberi nama itu padamu? Apakah Ayahmu? Kalau iya, aku bangga bisa memanggilnya tanpa embel–embel apapun. Bukankah dengan menjadi Ibu tirimu nanti, aku akan memanggilmu Hazkia saja? Bukan "Kak Hazkia", karena aku lebih muda dua tahun darimu.

Kalau boleh jujur, Hazkia, kau selalu terlihat cantik dengan jilbabmu itu. Wajahmu terlihat anggun dengan lipatan kerudung yang mengelilingi parasmu, mewakili kecantikan yang sempurna. Aku mengira kau adalah muslim yang taat, tapi ternyata aku salah. Kau bahkan tak pernah beribadah. Lalu mengapa seolah–olah kau adalah muslimah sejati yang jika di depan orang lain selalu bersikap anggun, sopan dan berbudi, kecuali padaku?

“Hey, Pencuri suami orang! Apa yang kau lakukan di kamar Ibuku?” kau mengejutkanku, sangat.

Aku tersenyum. Cobalah jangan segalak itu, “Bukankah sebentar lagi kamar ini milikku? Minggu depan aku dan Ayahmu akan menikah, jadi aku akan membersihkan kamar ini,” kukeluarkan seluruh isi lemari. Baju perempuan itu tertinggal begitu banyak di ruangan ini.  

“Kau tak punya hak! Pergi! Keluarlah sebelum aku yang menyeretmu keluar,” kau memakiku lagi. Entah sudah berapa banyak makian yang kau hantamkan padaku. Aku ingin sekali merobek mulutmu, sayangnya aku belum menjadi Ibumu.

“ Hazkia, aku mohon jangan membuatku emosi. Aku sedang hamil dan emosiku bisa berpengaruh terhadap janinku!” kau malah tertawa.

“Hamil, katamu? Hahaha, kasihan sekali, Kau. Bahkan kau begitu yakin Ayahku akan menikahimu? Benar–benar menjijikkan. Mungkin kau perempuan kesekian yang sudah dihamili oleh Ayahku, dan nasibmu akan sama dengan yang lain: dibuang percuma! Jadi, pergilah sebelum kau kecewa terlalu jauh!” kau menghentakkan kakimu lalu pergi. Aku benar–benar heran dengan sikapmu, bagaimana bisa kau sekasar itu?

Ayahmu tak mungkin meninggalkanku. Aku tahu pasti itu, karena semua rahasianya telah kupegang erat. Jika ia mencoba berkhianat, maka seluruh rahasia gelapnya akan kubongkar, dan perusahaan kalian akan bangkrut. Jadi ,tanpa perlu kuperintah, semua mauku akan ia turuti. Sayang sekali ya, Hazkia, kau akan sangat menyesal dengan perlakuanmu padaku. Sebentar lagi aku akan membuatmu bertekuk lutut, kau akan melayaniku bak ratu. Hazkia, akulah bayangan yang akan membuatmu sengsara jika kau terus gatal menggangguku.

“Sayang, aku ingin pernikahan kita dibuat semeriah mungkin,” aku merayu Ayahmu did epan matamu. Kau melirikku dengan jijik.
“Tentu saja, Sayang, aku kan telah mengatur semuanya,” lalu dia mengecup keningku dengan penuh kasih. Aku tertawa lalu berjalan ke dapur. Kuintip ekspresimu yang mengamuk sadis seperti singa kebakaran ekor.

“Ayah, bagaimana bisa kau akan menikahi perempuan sial itu?” tanyamu. Kau berkacak pinggang di hadapannya.

Hazkia, andai aku punya Ayah, takkan pernah sekalipun aku berkata kasar padanya. Sama dengan Ibu, aku pun akan meminum air cucian kakinya dan menuruti perintahnya.

“Aku mencintainya! Bukankah Ibumu juga menikah dengan pria lain?”

“Ya, Ayah, tapi itu karena ulahmu. Kau yang mengkhianatinya lebih dulu. Kau berselingkuh dengan banyak wanita. Padalah Ibu mencintaimu dengan luar biasa. Sadarlah, Ayah!”

Aku masih mengintip dari dapur. Senang rasanya melihat kalian mulai tak akur. Setidaknya aku akan bertahan di rumah ini hingga anakku lahir. Bahkan jika mampu, aku takkan mau keluar dari rumah ini. Karena aku tak punya siapa–siapa di luar sana. Ibuku meninggal tanpa wasiat dan tanpa sedikit pun warisan. Kepergiannya pun begitu tragis dan mendadak. Ingin rasanya aku membalas para pembunuh Ibuku. Tapi aku tak tahu siapa mereka, meskipun Ibuku yang seorang pelacur pasti punya banyak musuh.

Hazkia, cintaku kepada Bapakmu begitu besar. Cinta yang tumbuh karena kasih sayang yang ia tanam dan pupuk dengan penuh kesabaran. Dan ketika aku tahu bahwa benih di rahimku benar–benar nyata, semakin kuat kuputuskan bahwa aku takkan pernah melepaskan Ayahmu itu.

Aku tak mau calon anakku ini bernasib sama sepertiku. Jangankan merasakan kasih sayang seorang Ayah, memanggil seseorang dengan kata "Ayah" saja aku tak pernah. Sama sekali tak pernah. Kau yang selama ini hidup bahagia dengan kedua orang tua yang lengkap, takkan tahu bagaimana rasanya setiap hari menjadi bahan cemoohan.

“Mana Ayahmu? Kau tak punya Ayah, kan? Hahaha, kasihan sekali! Bagaimana bisa kau lahir ke dunia ini tanpa Ayah? seseorang meledekku saat remaja.

Masa SMP ku sama suramnya dengan masa SMA ku. Aku tak pernah merasakan bersekolah dengan layak seperti yang lain. Bahkan Ibu yang kumiliki pun malu untuk datang ketika masa pengambilan rapor tiba. Aku selalu sendiri duduk dan menunggu giliran dipanggil. Padahal aku adalah murid yang setiap catur wulan berhasil menduduki peringkat pertama. Tapi Ibu tetap malu untuk datang.

Untuk calon bayiku, takkan pernah kupersembahkan penderitaan. Sebaliknya, setiap detiknya akan kuhadiahkan kebahagiaan. Jadi, aku takkan segan–segan menampari pipimu jika kau berani sedikit saja menyakiti anakku.

“Kau tahu, perempuan bodoh, ada sesuatu yang membuatku sangat bahagia hari ini. Kata–kata Ayah yang membuatku mengizinkan kalian menikah,” kau bersemangat sekali. Berlebihan bahkan. Kau menatapku sambil mengejek. Aku hanya membalasmu dengan sebuah senyuman. Senang karena Ayahmu bisa membujukmu agar tidak mengganggu kebahagiaanku?

“Kau mau tahu?” tanyamu lagi.

Aku mengangguk.

“Kau yakin mau tahu, wahai calon Ibu tiriku?” tanyamu angkuh.

“Ya, Hazkia, jika itu memang benar–benar penting!” teriakku, senyumanmu saja membuat kesabaranku habis. Aku betul–betul muak dengan tingkah iblismu!

“Baiklah, kukatakan ini hanya untukmu," kau mempermainkanku dengan menggantung kata-katamu. Lama.

"Ayahku membawamu ke rumah ini, karena dialah pembunuh Ibumu!”

***  

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. an-Nur: 26)

Leave a Reply