Penulis: Kusumastuti Rahmawati
Kalau ada ajang request lagu ni hari, cuma satu lagu yang pengeeeeeen banget gue denger. Yang lirik depannya kayak gini, nih: "Apa salahku, apa salah hidupku? Hatiku dirundung pilu..." Eits, bukan gue nggak laku-laku, ye.. Untuk urusan cinta, sori sori, Jek, gue edah nemuin tambatan hati sejak empat tahun yang lalu! Tepatnya waktu gue baru banget nyelesaiin skripsi. Jadi jangan iri, nih.. Waktu wisuda, gue udah nyabet dua gelar sekaligus! Rico Sumarco, SE, SH. Beuh, keren kan? Rico Sumarco Sarjana Ekonomi, Suaminya Hindun. Hheee.
Satu masalah yang akhir-akhir ini sukses bikin hati gue merana bin gundah gulana. HIks... Jadi gue punya rumah yang nggak gede-gede amat sih, muat lah buat gue, istri, dan anak gue nantinya. Logikanya, kalau isinya cuma gue dan istri, rumah gue tuh bakal sepi senyap, right? Ternyata eh ternyata, logika tidak selalu benar, Jek! Makanya gue sepakat banget sama lagunya penyanyi Indonesia yang bercita-cita mau nikah sejak kecil, tapi belum kesampean juga sampe sekarang. "Hidup ini... Kadang-kadang tak pakai logika..." Lho, kok, liriknya beda? Lah, suka-suka, donk. Yang nyanyi kan gue! Hheee.
Ok, balik lagi ke kesedihan gue. Akhir-akhir ini rumah gue jadi banyak penghuninya, Jek! Mending kalau penghuninya satu spesies sama gue, lah ini dari spesies lain. Itu tuh, hewan kecil-kecil dan kotor macam kecoa, semut, lalat, cicak, tikus, kelabang, dan kaki seribu, yang pada betaaaaah banget nemenin gue dan istri!
Udah kayak kebun binatang aja dah! Padahal, tuh rumah nggak kotor-kotor amat. Secara istri gue doyan banget beberes rumah, sampe nyapuin rumah aja bisa lima kali sehari, ngepelin rumah dua kali sehari, dan ngelapin porselen seminggu dua kali! Udah kayak sholat wajib, mandi, sama puasa sunnah Senin-Kamis aja, kan? Ya, itulah istri gue. Nggak tau dulu Emak gue doain apaan buat anak semata wayangnya, sampe gue bisa dapetin istri yang solehah, resik, dan apik macam doi. Ngeliat rumah kotor sedikiiiit aja, doi langsung beraksi ke TKP. Tapi nggak tau kenapa, tuh hewan-hewan masih sering banget muncul tiba-tiba. Nggak di dapur, di kamar mandi, di sekitar tempat sampah, di kamar tamu, di teras depan, sampai di atas tempat tidur, semua pernah mereka singgahin!
Anyway, diantara tuh hewan, cuma semut yang menurut gue nggak ganggu-ganggu amat. Pakein kapur ajaib anti semut juga udah pada takut. Cuma resehnya, rumah gue jadi kayak terowongan-terowongan di Jakarta yang banyak graffitinya. Cuma bedanya, di rumah gue cuma ada satu warna dengan gambar-gambar yang absurd mengikuti kerumunan semut. Mulai dari meja makan, tembok, lemari, bahkan kasur gue pun penuh sama tuh kapur ajaib! Capede...
Ada lagi satu hewan yang masih lumayan terkendali: tikus nying-nying! Pertama banget tinggal di rumah ini, gue geli sendiri ngelihat ukuran tubuh mereka yang kecilnya naujubillah. Cuma seukuran jempol! Sekarang aja udah pada gede-gede. Ada yang udah bisa tengkurep, ngerangkak, jalannya dipapah, jalan sendiri, sampe ada yang udah bisa bilang "mama papa"! Hheee, anak bayi, kaleee!
Padahal seinget gue, di kampung halaman gue yang cukup elit: BSD a.k.a Bojong Sonoan Dikit, yang namanya tikus tuh nggak pernah lebih kecil dari kepalan tangan orang dewasa. Udah begitu, mereka juga pada agresif. Nggak takut sama manusia. Dulu gue pernah main tikus-tikusan sama mereka waktu di meja rumah gue ada roti keju (sebenernya main kucing-kucingan, berhubung mainnya sama tikus, ya jadinya tikus-tikusan). Kepalanya udah ngintip-ngintip dari bawah kolong lemari yang sempit. Idungnya ngendus-endus lucu. Gigi-gigi mininya nongol dua. Kita cepet-cepetan ngambil tuh roti, yang akhirnya dimenangin oleh tuh tikus. Bukan gue kalah kuat atau kalah cakep, cuma kalah pinter! Jadi pas udah di atas roti, dia pipisin tuh pinggirannya. Wajar donk kalau gue ngalah? Hheee, ngeles!
Tapi itu di kampung! Di sini mah, tikus-tikus nying-nying itu kelewat pasif alias penakut. Apa pemalu? Mereka bakal lari terbirit-birit begitu denger langkah kaki dan suara manusia. Kalaupun ada tikus besar, itu tikus got. Besarnya kira-kira dua kepalan tangan. Tapi daerah kekuasaannya ya cuma di sekitar selokan dan kebun-kebun kosong punya tetangga. Mereka bakal masuk rumah begitu tahu lubang saluran air kamar mandi nggak sengaja kebuka. Tikus yang ini agak berandalan dan berani mengambil resiko kayaknya. Pasalnya, gue pernah kecolongan sekali. Waktu itu gue amat sangat nggak nyangka dia kuat menggeser batu bata merah yang biasa gue pake buat nutup lubang saluran air kamar mandi. Dari situ dia melesat cepat masuk ke dapur, dan langsung menggondol roti tawar yang tinggal satu-satunya. Bahkan diseret-seret sama plastiknya! Bisa lo bayangin, gimana dia narik-narik tuh roti masuk ke dalam saluran air? Hheee, mirip kayak Limbat waktu narik truk dari Sudirman sampe bundaran HI. Lima menit tuh roti nyangkut, doi udah KO duluan!
Lain lagi kalau kaki seribu dan kelabang. Nggak tahu dari mana datangnya dua spesies ini, tapi lumayan jarang lah datangnya. Tiba-tiba muncul begitu saja. Kadang jatuh dari plafon yang sama sekali nggak berlobang, kadang udah nangkring di gayung, kadang udah mejeng di dalam sepatu. Kalau mau dibanding-bandingin, nih.. Intensitas munculnya tiga spesies itu 25:15:5. Lho, kok, gede banget? Soalnya, kalau lagi weekend di rumah, gue sama istri suka iseng ngitungin kehadiran mereka. Hheee, rajin kan kami berdua?
Nah, ini dia nih yang paling nyebelin diantara yang nyebelin. Buyutnya nyebelin! Spesies bertubuh hitam mengkilat gepeng dan berbau khas selokan. Siapa lagi kalau bukan kecoa? Mereka benar-benar penghuni ke-dua rumah ini setelah gue dan istri. Bahkan mereka lebih produktif dari gue. Gue aja yang udah nikah empat tahun beloman dapet anak, eh dia udah berkali-kali melakukan persalinan di rumah gue. Di mana ada tempat lembab dan gelap, di situ mereka melakukan persalinan. Asem!
Gegara mereka, gue dapet julukan baru dari Hindun, istri gue tercinta. Rico the Coro, alias Rico si Pembasmi Coro (Kecoa). Setiap hari paling nggak gue membantai lima ekor kecoa dengan sendal atau koran atau sapu atau apa pun yang deket dengan posisi tuh kecoa. Lebih seringnya sih pake sepatu ber-hak sepuluh senti istri gue. Hheee, biar mereka kapok, gitu!
Kadang mereka seolah ingin show up unjuk kekuatan. Pernah mereka berlima mejeng di dekat rak sepatu. Emang dasar hewan konyol, dikiranya gue takut, apa? Langsung aja gue beraksi ngambil sepatu ber-hak sepuluh senti punya istri gue dan BET, BET, BET...! Dalam sekejap gue beraksi layaknya Pitung dari Betawi, dan dalam sekejap mereka sudah teronggok tak berdaya layaknya tentara Israel yang kena timpukan batu-batu anak-anak Palestina! Tapi emang dasar hewan nggak tahu diri. Baru kemarin teman-temannya pada koit, eh udah pada muncul lagi besoknya. Rame-rame pula! Huh, mereka fikir dengan dateng berjamaah, bakal dapat 27 pahala!
Ceritanya waktu itu hujan gueeeede banget. Jadilah mereka mengungsi di semua sisi rumah gue. Menggerayang ke atas dinding hingga atap rumah, ke pagar rumah, ke teras, ke bawah pot-pot tanaman kesayangan istri gue. Dan yang lebih ngeselin lagi adalah tiap mereka mulai merayap ke pagar rumah. Bete, deh! Istri gue sering ngejerit ngeri karena waktu buka pagar nggak sengaja tangannya menggencet kecoa besar hingga isi perutnya yang berwarna putih itu terburai. Dan sang kecoa pun sekarat di depan istri gue! Bukannya takziah atau bantu nguburin, eh doi langsung ngibrit ke kamar mandi buat nyuci tangannya pake tanah dan air sabun sampe tujuh kali. Direndem, disikat, dibilas, dan dijemur sampe tangannya kering! Itu tangan atau cucian, ya?
“Jijik... Bau lagi! Hiiiii!” begitu selalu komentar doi tentang kecoa. Apalagi kecoa betina yang menurut doi binatang paling nakutin sedunia. Udah besar-besar, bisa terbang, gesit, lincah, dan lebih agresif daripada kecoa jantan yang lebih cool. Pernah istri gue mencoba membunuh seekor kecoa betina dengan sepatu ber-haknya. Tapi karena masih ada rasa takut dan ragu di hatinya, gerakannya kalah cepat dari kecoa betina itu. Dan hasilnya? Sang kecoa betina terbang cepat dan mendarat mulus di rambut istri gue. Doi pun teriak histeris saking takutnya. Lebih histeris deh, dari jeritan bayi perempuan yang lagi disunat.
***
Suatu hari gue dan istri berembug mencari cara bagaimana membumihanguskan kecoa dari rumah gue. Kirfikir, ide punya ide, kami sepakatilah untuk meniru cara Hitler memusnahkan etnis Yahudi dari muka bumi (katanya sih begitu). Genosida! Berhubung objek yang akan dimusnahkan adalah coro alias kecoa, kami pun menamai ide ini dengan nama Coro-Sida. Kami yakin dapat memberantas mereka dari buyut, kakek nenek, suami istri, om tante, hingga ke cicit-cicitnya. Untuk itu kami membuat peta rumah ukuran A3. Wilayah yang diindikasi ada kemungkinan menjadi tempat tinggal kecoa, kami beri warna merah, yakni gudang, dapur, tempat jemuran, sekitar tong sampah, dan sekitar teras depan. Siangnya, kami beli segala peralatan perang yang dibutuhkan. Obat semprot anti serangga, kapur ajaib, minyak tanah, hingga semen dan kasa besi untuk menutup lubang air dengan sempurna.
Besoknya, pagi-pagi buta, gue ajak istri untuk melancarkan Coro-Sida pertama di titik-titik yang sudah kami jadikan target operasi. Biar nambah semangat, gue ikat kepala dengan kain panjang dan menempelkan satu kertas hitam berukuran 3x3 senti yang menyerupai kumis Hitler diantara bibir dan lubang hidung, buat lebih menghayati gaya Hitler yang berjuang merebut kembali istana gue dari penjajah kecoa, gitu! "Allahu Akbar!" teriak kami kompak.
Hampir enam jam kami menjalankan aksi perlawanan terhadap musuh. Sangat lelah dan menguras tenaga hingga kami lupa sarapan dan belum makan siang. Namun hasil kerja keras kami sangat memuaskan. Hari-hari sudah jarang kami melihat kecoa hitam gepeng itu. Jika ditinjau kembali intensitas kemunculannya, maka rating kecoa turun drastis dari angka 1 ke 10. Satu tangga di atas duet maut Anang dan Ashanti. Hheee, tangga lagu, kaleee! Kini, seharian penuh kami menunggu munculnya kecoa di lubang pengairan tempat jemuran, tetap saja tidak seekor pun kecoa yang muncul.
Kami pun sepakat untuk menungkapkan rasa syukur atas kesuksesan ini dengan makan-makan. Istri gue masak makanan yang sangat lezat: gurame goreng berbalutkan tepung dicampur dengan beberapa sayuran hijau dan kuning. Tak ketinggalan pula sambal terasi yang asoy geboi rasanya. Kami makan dengan lahap hari itu, hingga perut kami penuh dengan makanan. Malamnya kami pun tidur dengan nyenyak. Sangat nyenyak, sampai pagi harinya terjadi hal yang menggemparkan.
Kami tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kepala terasa ditimpa barbel puluhan ton. Pandangan berputar-putar seperti sedang naik Bianglala. Perut mual-mual seperti ibu-ibu lagi hamil muda (kata tetangga sih begitu). Satu per satu kami merambat sempoyongan di dinding menuju wastafel. Mengeluarkan semua isi perut kami. Mualnya setengah hidup! Gue raba kening. Panas banget! Melebihi panasnya telur yang baru keluar dari anu ayam. Waktu gue sentuh kening istri, kondisinya juga nggak jauh beda. Lebih panas dari e* ayam.
Hari itu, gue dan istri sama-sama izin nggak masuk kantor. Gue hubungi dokter tua yang tinggal satu blok dengan kami. Dengan minta maaf sepenuhnya gue mohon beliau yang mengunjungi kami. Sangat tidak lumrah memang. Mengingat dia bukan tetangga dekat, apalagi keluarga. Tapi kan, apa gunanya punya tetangga yang baik, kalau nggak dimanfaatkan? Hheee.
Dokter tua itu memeriksa kami satu persatu. Dia geleng-geleng mirip Shinta Jojo lagi lip sing lagu Keong Racun. “Anda sekeluarga keracunan, Pak,” katanya. Gue pun membalasnya dengan anggukan Briptu Norman yang lagi lip sing lagu Chaia Chaia. Gue ceritakan lah tentang pesta makan terakhir kami. Usut punya usut lama-lama jadi kusut, tersangka utamanya ialah gurame lezat berbalut selimut, eh, berbalut tepung itu. Dokter pun memberi kami obat-obatan yang lumayan banyak dengan bermacam ukuran. Besar, kecil, bulat, lonjong, pil, kapsul, bubuk, semua ada! Dengan patuh kami mengangguk-angguk saat sang dokter menerangkan waktu makannya. Kali ini pake gayanya Sahruk Khan, yang lebih okeh anggukannya.
Seminggu berlalu, belum ada perubahan signifikan pada kesehatan kami berdua. Karenanya, tiga hari yang lalu dokter merekomendasikan opname di sebuah rumah sakit. Lagi-lagi kami hanya mengangguk patuh. Sumpah, baru kali ini kami sekeluarga bareng-bareng opname di rumah sakit yang dalam kamarnya banyak diisi nenek-nenek dan kakek-kakek yang tinggal menunggu ajal. Ah, pasti ini teguran karena sudah beberapa minggu kami tidak pergi silaturahim bersama ke rumah orang tua.
Tapi seminggu berlalu, lagi-lagi belum ada perubahan yang signifikan. Istri gue mulai resah dan gelisah, maunya marah-marah, kadang juga muntah-muntah. Pikirannya mulai ngelantur, minta bajigur, bikin gue babak belur! Hheee, maksadotcom.
“Bang, jangan-jangan kita udah membunuh kecoa siluman, terus ini kutukannya darinya?” kata istri gue di hari ke-tujuh kami di rumah sakit, entah sadar atau nggak.
Hampir-hampir gue kebawa omongan doi. Untungnya gue punya gengsi yang lumayan gede. Sok bijak, gue bantah omongan doi, “Hush... Istighfar, Dik. Nggak ada kecoa siluman! Ini memang takdir kita. Sabar aja,” bijak kan, gue? Walaupun sebenarnya diam-diam gue juga khawatir ini akan menghabiskan waktu yang panjang. Diam-diam gue merenung juga, apakah ini akibat kami telah melakukan Coro-Sida pada kecoa-kecoa itu? Tapi setahu dan seingat gue, belum pernah gue temuin larangan membunuh kecoa, baik di alquran,hadis, maupun ijtihad. Gue juga belum pernah dengar yang semacam itu di pengajian-pengajian yang pernah gue ikuti. Iya, nggak?
Hingga suatu hari seorang teman kantor datang menjenguk kami dan membawakan obat. Katanya saudaranya baru pulang dari Cina membawa banyak obat untuk dibagikan ke saudara-saudaranya. Katanya juga, obat itu manjur untuk berbagai penyakit aneh. Temanku sendiri telah membuktikan sendiri katanya.
"Coba lah dulu, ini obat manjul! Owe berani jamin. Kalena Owe udah pelnah coba, hasilnya tokcel! Owe ilis kuping Yu kalau Owe bohong. Hheee," ledeknya waktu gue ngeraguin tuh obat.
"Hayyah... Yu belani bayal belapa kalau owe coba ni obat?" balas gue yang akhirnya kalah dengan bujuk rayunya. Pasrah, udah di ujung tanduk, dompet makin menipis! Apa pun bakal gue coba biar sembuh. Kami menuruti anjurannya untuk minum obat cina berbentuk kapsul itu.
Dan tarrrraaaa...! Percaya nggak percaya, dua hari setelah minum obat Cina itu, kami berangsur-angsur membaik dan akhirnya sembuh sama sekali pada hari keempat. Dokter yang memeriksa kami mengangguk-angguk puas.
“Obat yang kami berikan memang khusus, Pak. Mahal pula harganya. Obat yang sangat manjur. Keampuhannya terbukti, kan? Hahaha...,“ dokter itu tertawa bangga. Kami diam saja sambil menahan tawa. Manjur dari Hongkong, Dok?
***
Hari ke-empat kami meminum obat ini, kami pulang ke rumah dengan hati penuh syukur. Hal pertama yang gue lakukan adalah menghubungi teman kantor yang telah ngasih obat Cina itu, “Luar biasa obat dari Lo, Gan. Empat hari minum tuh obat, gue udah sembuh buh buh! Gimana gue harus berterima kasih, nih?” tanya gue basa-basi.
“Ah, syukurlah. Yu pelcaya kan sama Owe? Lu nggak usah fikilin gimana halus beltelima kasih sama Owe. Cincay, lah.. Sesama muslim halus saling membantu, kan?“ katanya ringan.
“Lo emang temen terbaik gue. Anugerah terindah punya temen kayak lu, Gan,"
"Hayyah... Yu jago ngegombal lupanya!"
"Hheee... Yu know lah, istli Owe mau sama Owe juga kalena nggak tahan sama gombalan Owe. Lico gitu loh! Oiya, gue penasaran, apa sih nama obat itu? Terbuat dari apa, sih? Kok tetangga gue yang dokter nggak tau tuh obat, ya?“ tanya gue penasaran.
“Namanya pake bahasa Cina. Tapi Owe nggak tau apa namanya. Tapi kata sodala Owe yang bawa ni obat, altinya kulang lebih Bubuk Selangga Hitam,“ jawabnya santai.
“Hayyah... Yu Cina gadungan, ha..? Tapi yang jelas serangganya bukan kecoa, kan?“ candaku.
“Oh... Ya iya laaaa! Emang menulut Yu ada selangga hitam selain kecoa? Emang napa kalau kecoa? Binatang yang menjijikkan cuma halam kalau kita jijik makannya. Waktu itu Yu nggak jijik makan kapsul itu, kan? Owe minta maaf kalau Yu ngelasa teltipu. Owe cuma niat bantu aja, kok. Kalau Yu... bla, bla, bla,“ teman gue terus bersuara. Tapi makin lama suaranya jadi dengungan yang nggak jelas.
Gue tertegun aja melihat Hindun yang asik mengamat-amati botol berisi kapsul-kapsul Bubuk Serangga Hitam itu dengan penuh kekaguman. Lebih tertegun lagi saat istri gue berkata, “Bang, kok bengong kayak macan ompong gitu, sih? Udahan telfonnya? Kalau belum, coba tanyain teman Abang, obat ini bahan dasarnya apa, sih? Kok sakti betul? Saya mau pesen lagi, buat cadangan,“ Gue terus melongo tanpa berusaha menemukan kembali kesadaran gue. Perut gue mulai bergejolak tak karuan, dan...
Hweeeek!
Coro-Sida
Posted by abyan muwaffaq
-
-