Penulis: A. Zakky Zulhazmi
Saya sedang di rumah sendiri ketika pintu tengah rumah saya diketuk seseorang. Ketika itu siang lengang dan di langit mendung membayang. Posisi saya sudah bersiap untuk mandi setelah tadi bersih-bersih rumah dan tak lupa menyiram kembang. Entah kenapa saya bimbang. Saya buka pintu atau tidak di dalam hati jadi sebuah perang. Jam segini biasanya yang ke rumah adalah Pak Anam yang suka mengantar undangan organisasi untuk ibu yang sudah di kantor sekarang. Adatnya undangan diselipkan di bawah pintu lalu ia pulang.
Tapi sepertinya kali ini bukan Pak Anam yang datang. Orang itu mengetuk pintu lama sekali, seperti ada keperluan penting sehingga ke rumah saya siang ini ia harus bertandang. Urung untuk mandi, saya menuju kamar tidur lalu meletakkan handuk dan sesachet shampo di ranjang. Saat pintu tengah saya buka di hadapan saya muncul perempuan berperawakan sedikit gemuk, jidatnya berkeringat, dan pakaiannya berwarna terang.
“Maaf, Dik, Ibu ada di rumah tidak?” tanyanya ramah setelah beruluk salam. Saya tidak segera menjawab. Saya perhatikan orang ini sekilas. Di belakangnya saya lihat sepeda ontel Phoenix. Oh, jadi itu yang membuatnya terlihat berkeringat dan ngos-ngosan, batin saya.
“Waduh, ibu sama bapak baru saja berangkat ke Magetan, Mbak.”
“Iya tho? Acara apa di Magetan?”
“Anaknya teman ibu menikah. Bapak dan ibu diminta jadi penerima tamu.”
“Pulang jam berapa kira-kira?”
“Mungkin sore atau habis Maghrib.”
“Oh gitu ya.”
“Oya, kalau boleh tahu mbak ini siapa?”
“Saya Mbak Nik, tukang sayur di Pasar Legi, temannya ibumu, Dik. Ibu biasa belanja di tempat saya kok. Rumah saya di Jalan Madura dekat pesantrennya Mbah Muhayat. Sebenarnya saya sudah dua kali kesini, tapi kok ndilalah ibu nggak ada terus, yang pertama ke sini malah rumah pas lagi suwung.”
“Ya maaf banget, Mbak. Nanti saya sampaikan ke ibu kalau Mbak Nik ke sini.”
“Em… jenengan ini anaknya Mbak Atik?” Tanya Mbak Nik dengan menyebut nama ibu. Sepertinya Mbak Nik memang sudah dekat dengan ibu saya.
“Nggih. Saya anaknya yang pertama.”
“Kok jarang kelihatan?”
“Saya kuliah di Jakarta, Mbak.”
“Ooo…Ya sudah, saya pamit dulu, Dik. Besok mungkin saya ke sini lagi.”
Mbak Nik menuju sepeda onthel-nya dan mengucap salam kepada saya yang termangu. Setelah Mbak Nik berlalu saya segera mengunci pintu. Saya ke kamar tidur mengambil handuk dan shampo lalu ke kamar mandi depan yang letaknya di antara kamar adik saya dan kamar bapak-ibu. Di rumah ada dua kamar mandi, yang belakang terletak di samping kamar pembantu. Saya senang mandi di kamar mandi depan karena lebih luas dan di sana saya bisa menyanyi-nyanyi dengan suara yang terdengar jadi lebih merdu. Kamar mandi belakang hanya saya gunakan jika kamar mandi depan sedang dipakai dan saya terburu-buru. Jika tidak tergesa saya lebih memilih sabar menunggu. Setiap kamar mandi memang punya nuansanya sendiri-sendiri yang kadang kita rindu. Di Jakarta saya kangen kamar mandi rumah, begitu sebaliknya, di rumah saya kangen kamar mandi kosan yang sempit dan juga sekaligus jadi tempat mencuci baju.
“Bu, tadi Mbak Nik ke sini. Nyari ibu.” Kata saya ketika ibu baru masuk rumah. Wajahnya lelah.
“Mbak Nik siapa?”
“Tukang sayur di pasar, rumahnya Jalan Madura, katanya kenal ibu.”
“Iya. Besok kalau ke sini lagi suruh habis maghrib aja. Setelah ibu pulang dari kantor.”
Ibu buru-buru masuk kamar. Ingin segera rebah di ranjang tampaknya. Saya kerap merasa kasihan dengan ibu. Setiap jam tiga pagi ia sudah bagun untuk sholat tahajud lalu menyiapkan sarapan. Usai sholat subuh langsung mandi, sarapan dan bersiap pergi ke terminal, memburu bis pagi ke Madiun yang ber-AC. Sekitar pukul lima sore baru sampai rumah. Aktifitas itu berputar terus dari Senin sampai Jumat. Alih-alih di akhir pekan ibu bisa sedikit bersantai di rumah dengan keluarga, di hari Sabtu dan Minggu itu ia justru sibuk di organiasasi keagamaan yang diketuainya. Saya senantiasa berdoa, semoga ibu selalu diberi kesehatan, kekuatan dan keselamatan.
***
Saya sedang sendiri di rumah ketika pintu samping diketuk berkali-kali. Dugaan saya, Mbak Nik datang lagi. Terkaan saya tidak meleset sama sekali. Ia datang dengan sepeda onthel Phoenix, berkeringat di kening, celana merah muda dan bajunya warna merah hati. Seperti kemarin, saya tidak suka pilihan warna bajunya kali ini. Entah dia yang punya selera sedikit norak atau tak ada pilihan baju lain di almari. Ia tersenyum hangat dengan menampakkan giginya yang rapi.
“Ibu belum pulang ya, Dik?” kali ini Mbak Nik bertanya langsung.
“Iya, Mbak. Kemarin saya sudah bilang ibu. Kata ibu Mbak Nik habis Magrib aja ke rumahnya. Ibu pulang kantor sore sekitar jam lima...”
Mbak Nik gusar. Ia terlihat seperti sangat perlu sekali bertemu dengan ibu hari ini.
“Dik, boleh saya masuk? Saya bicara sama jenengan saja. Sudah tiga kali ke sini kok ibuk tidak ada terus ya.”
Saya persilakan saja Mbak Nik masuk. Duduk di karpet yang tergelar di depan televisi. Melihat laptop dan beberapa buku yang baru saya baca berserakan di karpet Mbak Nik meminta maaf kalau mengganggu belajar saya. Sedikit berbasa-basi. Saya jawab tidak apa-apa. Berbasa-basi juga.
“Begini lho, Dik, maksud kedatangan saya sebenarnya untuk meminjam uang. Anak saya yang kelas 2 SMK diwajibkan beli seragam montir oleh sekolah. Nah, saya pinjam lima puluh ribu saja untuk menutupi kekurangan pembayaran seragam anak saya ke sekolah. Besok Senin saya janji bakal balikin uang itu. Hari ini hari terakhir pelunasan uang seragam.”
Mendapati Mbak Nik yang begitu lugas menyatakan ingin pinjam uang saya terbeliak juga. Hal pertama yang saya pikirkan adalah menghubungi ibu. Pasalnya di dompet saya hanya tinggal ada tiga ribu rupiah saja. Mungkin setelah menelepon ibu, ia akan meminta saya pinjam uang ke rumah nenek yang tidak jauh dari rumah atau ada cara lain supaya bisa meminjami Mbak Nik uang.
“Mbak, sebelumnya saya minta maaf sekali. Kalau harus langsung meminjami saya tidak bisa, kebetulan di dompet saya cuma ada tiga ribu. Di rumah juga tidak ada siapa-siapa selain saya. Sebaiknya saya telepon ibu dulu.” Saya berkata demikian sembari mengirim sms ke ibu dan bapak. Berharap mereka yang akan menelepon saya dan memberi solusi.
“Waduh saya jadi merepotkan adik ya? Maaf lho, Dik. Maaf,” kata Mbak Nik dengan wajah bersalah.
“Nggak apa-apa, Mbak. Santai saja.”
Saya mencari nama ibu di phonebook ponsel saya lalu meneleponnya. Lima kali panggilan tidak diangkat. Tersadar saya bahwa hari ini adalah hari Rabu. Jadwalnya ibu memimpin sidang di kantornya, Pengadilan Agama. Segera saya mencari nama bapak diphonebook.
“Itu foto ibumu waktu menikah dulu ya, Dik?” tukas Mbak Nik sambil menunggu saya yang sibuk menghubungi orang tua.
“Iya,” jawab saya singkat seraya tersenyum.
“Ibumu memang cantik, Dik. Itu foto pernikahannya dulu ya?” Tanya Mbak Nik sambil memandangi foto pernikahan ukuran 50x60 yang terpajang di ruang keluarga.
“Iya.” Lagi-lagi saya menjawab singkat.
“Saya dengar ibumu tempat kerjanya pindah ke Madiun?
“Sudah cukup lama pindahnya, Mbak. Setiap jam enam pagi sudah ke terminal. Sore pulang, jam enam maghrib baru sampai rumah biasanya.”
“Ya Allah, pasti capek sekali itu. Perjuangan ibumu luar biasa. Mugi Gusti Allahparing kesehatan ya, Dik,” Mbak Nik menyampaikan empatinya diiringi doa.
“Amin…”
Ayah mengangkat telepon saya. Beranjak saya ke ruang makan di belakang ruang keluarga. Saya utarakan ke bapak tentang kedatangan Mbak Nik dan maksud kedatangannya. Namun jawaban dari bapak tidak saya duga. Menurutnya, kita belum kenal Mbak Nik sebelumnya. Bapak meminta saya hati-hati dan waspada. Khawatir kalau dia penipu, serigala berbulu domba. Saya sejujurnya agak kecewa. Kenapa bapak curiga begitu rupa. Pun begitu saya tak ingin membantah orang tua. Saya mengikuti saran bapak saja. Yakni jika Mbak Nik ingin pinjam uang datanglah kalau bapak ibu sudah di rumah biar bisa langsung bertatap muka.
“Begini, Mbak, ini tadi bapak telepon. Kata bapak nanti waktu istirahat makan siang bapak akan mampir ke rumah. Kasih uang ke saya. Istirahatnya antara jam 12 sampai jam satu. Jadi mungkin Mbak Nik bisa ke sini lagi nanti jam setengah satu atau jam satu. Sebelumnya saya minta maaf karena saya memang sekarang tidak pegang uang sebanyak itu. Kalau ada pasti saya pinjami.” Tidak tahu bagaimana saya bisa berujar seperti itu. Saya sendiri kaget. Sangat berlainan dengan apa yang disarankan bapak. Namun barangkali ini adalah cara saya mengusir halus Mbak Nik. Saya perlu waktu untuk menghubungi ibu. Memastikan apakah ibu benar-benar mengenal Mbak Nik atau tidak.
“Oh ya sudah. Nanti jam satu saya kembali ke sini. Maaf lho kalau ngrepotin.”
“Saya yang harusnya minta maaf, Mbak.”
“Tidak apa-apa. Yang penting saya percaya jenengan, jenengan percaya saya. Mari, Dik.”
MBAK NIK
Posted by abyan muwaffaq
-
-