Penulis: Riwan Laubei Sembitu
Penulis:Farid
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berkunjung ke suatu tempat? Suatu tempat yang paling ingin kita kunjungi? Satu jam? Sehari? Setahun? Atau puluhan tahun? Ah, mungkin aku perlu mengganti pertanyaanku, Daerah mana yang paling ingin kalian kunjungi? Bali? Tokyo? Prancis? Afrika, mungkin?
Sederet pertanyaan itu pernah diucap Luri ketika kami sama-sama lulus SMA. Merayakan sebuah moment di mana kami akan melewati masa-masa sulit bercengkrama dengan buku. Dan kami semua menggeleng ketika itu. Sebab tak pernah ada seorang dari kami yang memikirkan, apakah kami akan pernah menjejalkan kaki di sebuah pulau dewata bernama Bali? Atau ke sebuah negeri yang penuh dengan bunga sakura yang cantik? Apalagi mengunjungi Paris yang sering dijuluki kota tercantik di dunia itu. Bagi kami, lulus SMA adalah sebuah kesuksesan yang hebat. Itu berarti akan ada pekerjaan yang lebih layak dibanding berkalang lumpur di tengah sawah. Mungkin jadi tukang ketik di kecamatan. Atau apa saja yang bisa dilakukan seorang tamatan SMA.
Ternyata bagi Luri pertanyaan itu tak sesederhana kelihatannya. Hanya kami saja yang tak mengetahui pada awalnya. “Mungkin aku kembali harus mengubah pertanyaanku,” ungkapnya. “Apa yang ingin kalian lakukan setelah ini? Bekerja? Menjadi apa? Petani?”
Kali ini kami lagi lagi tak menjawab. Mungkin jawabannya adalah iya, sebab kami tak punya pilihan lain, jika tak diterima sebagai orang kantoran, maka itulah pilihan hidup yang mesti dilakukan.
“Kalian tak ingin mengunjungi suatu tempat? Kalian tak ingin merasakan seperti apa rasanya, ketika kita berhasil memandang suatu tempat yang telah lama kita idamkan?” Kembali kami tak bisa menjawab. Pertanyaan itu berhenti di situ. Tak ada pertanyaan lain. Dan tak ada pula jawaban lain.
Maimon
Ketika dia bertanya, “Daerah mana yang paling ingin kau kunjungi?” Maka kujawab seketika, tempat itu adalah Bali. Tegas, tanpa ada setitikpun keraguan yang menyergapku.
Dia tahu bagaimana menggebunya aku dengan Bali. Aku ingin merasakan seperti apa aroma magic yang sering digaungkan banyak orang. Melihat tariannya yang katanya indah dan sering mengundang banyak wisatawan. Mendengarkan denting gamelannya, pun penasaran melihat panorama khas pulau yang menurut orang begitu menawan.
Namun, impian seumpama bintang yang berada di awang-awang. Tinggi menjulang. Bahkan berlipat-lipat lebih tinggi dari pohon durian paling tua yang ada di hutan seberang di ujung kampungku. Apalagi untukku, seseorang yang dilahirkan dari keluarga tak berpunya, impian bahkan hanya sebatas, apakah kami masih bisa makan pada hari di hadapan?
Lalu dia kembali datang beberapa bulan kemudian. Mengajakku meniti kesempatan. “Kau bisa bekerja dan meneruskan sekolah.” Ucapnya. Aku yang semenjak kedatangannya hanya bisa ternganga, mengangguk-angguk saja. Bagaimana tidak, dia seolah menjelma seorang peri yang memberikan tiket perjalanan mencapai impian kepadaku.
“Apakah kau akan berusaha keras mencapainya?” tanyanya. Aku menangis dalam pelukannya. Tak dapat lagi berkata apa-apa.
Aku kemudian ikut merantau ke Jawa bersamanya. Menjadi cleaning service di sebuah perkantoran sambil melanjutkan sekolah di akademi kepariwisataan. Setiap hari terus kulantunkan keinginanku untuk bisa menaklukkan Bali. Tak pernah kulupakan kalimatnya ketika kami akan sama-sama pergi meninggalkan desa tercinta, “Bukankah kita punya hak untuk memiliki keinginan? Lantas mengapa mesti kita kuburkan semua keinginan?”
Aku tak pernah berniat mengubur keinginanku. Setiap orang berhak punya keinginan. Tak peduli meski itu keinginan seorang gadis desa yang berasal nun jauh di seberang, Tuhan pasti akan tetap memperhitungkan.
Ketika sekolahku telah usai. Aku mengajukan lamaran ke sebuah agen pariwisata di Bali. Beberapa minggu kutunggu surat balasan dengan sebuah harapan. Alangkah bahagia saat surat balasan yang kuterima mengabarkan bahwa: Aku diterima! Aku akan menjejakkan kaki di Bali, segera!
Ilyas
Berapa waktu yang dibutuhkan untuk bisa menjejakkan kaki di tanah impian? Aku butuh belasan tahun untuk itu. Setamat SMA aku merantau ke Jakarta. Menjadi apa saja. Tukang koran adalah pekerjaanku yang paling lama bahkan sampai sekarang aku masih menjadi tukang koran, tepatnya adalah seorang wartawan.
Menjadi tukang koran, aku nyambi kuliah di akademi jurnalistik. Memang tak cukup untuk membiayai semuanya. Kucukupkan dengan bekerja serabutan, asal sekolahku bisa selesai. Seperti katanya, “Kita tak tahu berapa waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat yang paling kita impikan, tapi kita hanya butuh waktu bersabar yang lebih lama untuk bisa ke sana.”
Kini, aku menjejakkan kaki di negeri impianku. Tugas liputan kemenangan Obama adalah moment yang mengantarkanku ke tanah Amerika, negeri yang berjuluk Paman Sam itu. Aku entah ikut euforia para pendukung Obama yang merayakan kemenangan atau aku punya euforiaku sendiri. Merasakan langit di salah satu sudut kota terkenal di dunia, Washington DC.
Farid
“Jangan bilang kau tidak punya tempat yang ingin kau kunjungi?!” Ucapnya. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Jawabannya memang ya. Aku bukan pemimpi tangguh macam Maimon dan Ilyas. Tempat yang selalu ingin kukunjungi adalah desa ini. Melihat pohon rambutan di tepi sungai yang jadi tempat kita belajar bersama. Bermain loncat indah dari dahan pohon yang menjorok ke lubuk. Berebut buahnya saat tiba musim buah sambil berseru, “Kapalku paling kencang melaju!” ketika kita mengalirkan buah rambutan macam kapal yang sedang berlayar. Kenangan itu masih bisa kurasakan, setiap pagi dan petang.
“Jujurlah padaku! Tempat mana yang paling kau idamkan untuk kau kunjungi?” Begitu ucapmu beberapa tahun kemudian ketika kembali datang. Yang kutahu kau sudah menjadi seorang dosen di perguruan tinggi hebat di Jawa.
Aku sudah bisa menebak kau tak butuh waktu lama menjadi orang hebat. Kau cerdas. Periang. Bersemangat. Dan tak pernah menyerah. Tapi aku memang mencintai desa ini. Bukankah menjadi petani di desa ini juga butuh ketangguhan seperti yang kau katakan?
Ya, aku memang (hanya) menjadi seorang petani. Tidak ada bedanya dengan nenek moyang desa ini, meski aku menamatkan pelajaran di sebuah gedung harapan bernama SMA. Pahit memang. Sebab untuk apa bersekolah jika kita hanya perlu ilmu sederhana tentang membajak sawah dan semacamnya yang telah lihai dilakukan generasi sebelum kita. Tapi aku sungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa desa kita inilah tempat yang selalu ingin kujejaki.
Maimon
“Hati-hati, Luri!” Hanya kalimat itu yang bisa kukatakan. Aku di sini. Ilyas juga di sini. Hanya Farid yang tak ada. Dia terlalu mencintai desa kita. Tapi kuyakin dia juga turut mendoakanmu, agar kau lancar-lancar saja menyelesaikan S3-mu. Kau paling cemerlang diantara kita. Jangan sia-siakan. Kau akan jadi doktor pertama desa kita. Mungkin juga calon profesor nantinya.
“Bukankah Eropa punya kota yang sunyi? Mungkin tanah impianmu bisa kau jumpai di sana.” Teriak Ilyas saat kau selesai memelukku.
Berapa lama kau akan sampai? Mungkin tujuh belas jam perjalanan, seperti yang selalu diucapkan wisatawan tamuku yang berasal dari negeri itu? Entahlah. Walaupun aku sekarang memiliki agen pariwisata sendiri, aku tak berkeinginan mengunjungi kota selain Bali.
Ilyas
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi suatu tempat yang paling kita impikan? Farid punya waktu paling singkat. Ketika lahir ia bahkan telah ditakdirkan melihat tempat yang paling ingin ia kunjungi, selalu. Maimon punya waktu tiga tahun untuk bisa menjejak kaki di Bali. Aku menghabiskan sebelas tahun untuk itu. Sangat lama, bukan?
Namun ternyata kau yang paling lama. Kami bahkan tak pernah tahu sebelumnya. Kau tak mengatakan apa nama tempat impianmu. “Suatu tempat yang hijau dan teduh,” katamu. Tempat yang sunyi. Dan kau menghabiskan dua puluh tujuh tahun hidupmu untuk bisa ke sana. Benar-benar lama.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar kau benar-benar bisa menjejak langkahmu, ke suatu tempat yang paling ingin kau kunjungi? Aku tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Di sini ada Aku. Ada Maimon. Dan ada Farid. Kami bertiga mengantarmu. Hanya sampai di sini. Seperti saat aku dan Maimon mengantarmu di Bandara beberapa hari lalu.
Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa kau punya tempat rahasia yang paling ingin kau kunjungi. Tempat yang teduh dipenuhi pepohanan rimbun, serta begitu sunyi, yang terdengar hanya suara dengingan nyamuk. Tempat yang akan mempertemukanmu dengan orang-orang kau sayangi. Kakek-nenekmu, ayahmu, juga ibumu, yang tak pernah kau jumpai wajah mereka.
Aku menyesal tak mengetahui ini lebih awal. Mungkin harusnya aku bisa menebak, bagaimana rindunya kau dengan mereka. Selama ini kau hanya tinggal di rumah bibimu yang adalah ibunya Farid. Aku berharap kau nyaman dengan perjalananmu hingga sampai ke tempat tujuan, di mana mereka yang kau rindukan tengah menyambutmu dengan riang.
Farid
Aku tahu itu, saat tanpa sengaja membaca buku harianmu, Luri. Maafkan aku. Tapi sejak itu aku tak pernah berniat meninggalkan desa ini. Sebab suatu saat kau pasti kembali ke sini.
Dan kecelakaan pesawat yang akan membawamu melanjutkan sekolah ke Jerman, membuatmu mengunjungi tempat yang paling ingin kau kunjungi lebih awal. Itulah alasanku sebenarnya, Luri. Mengapa aku tak ingin pergi dari desa kita ini. Agar ketika aku diberi kesempatan bernafas lebih lama darimu, aku masih selalu bisa mengunjungimu setiap hari, setiap waktu.***
Inderalaya, 24 Oktober 2010
Luri
Posted by abyan muwaffaq
-
-