Ctrl+Z

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis : Mayang Ayu Lestari

 “Mah, aku bilang aku ga mau!”

 “Kenapa ga mau, sayang?”

 “Aku bukan anak kecil lagi, Mah. Yang segala sesuatunya harus disamakan!”

Perempuan di sampingku hanya tersenyum mendengar percakapanku dengan mamah. Apa dia menganggap semua ini hal yang lucu? Aku benci terjebak dalam keadaan seperti ini. Ini bukanlah hal yang pertama kalinya mamah lakukan padaku. Sudah 20 tahun aku terus terjebak dalam hal yang sebenarnya jika aku bisa memilih, aku lebih memilih dilahirkan di tempat yang berbeda bahkan di dunia yang berbeda sekali pun.


“Mah, kalau Lara ga mau ga usah dipaksain, mah!”

“Tapi kan mamah seneng kalau ngeliat kalian berdua tuh terlihat kompak,”

“Kompak bukan berarti segala sesuatu itu harus sama kan, mah?” seruku dengan nada mulai meninggi.

“Gini neh kenapa aku ga pernah mau dilahirkan kembar!!!”

“Lara, kamu ngomong apa? Bukannya bersyukur kamu dilahirkan kembar! Memang yah kamu ini berbeda sekali dengan kakakmu. Lihat kakakmu, dia ga pernah ngeluh. Dia itu kakak kamu, Lara!”

“Terus aja, mah, bandingin Lara sama Lyra! Udah capek Lara dengernya, ujung-ujungnya selalu aja gini,” aku pun pergi meninggalkan Lyra dan mamah di dalam kamar.

“Lihat kelakuan adik kamu! Mamah udah bingung harus gimana lagi sama adik kamu biar dia bisa jadi anak yang penurut,” mamah memandangi baju yang telah dibelinya dengan pandangan kecewa.

“Sudah, mah, mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan Lara. Kita sudah besar ga perlu segala sesuatunya itu disamakan, apalagi soal baju. Walaupun kita kembar dan mamah senang sekali kalau melihat kita kompak tapi bukan berarti baju pun harus sama, mah. Kita sudah 20 tahun, waktunya Lara sama Lyra berkreasi sendiri dalam memilih pakaian. Kompak kan ga harus dilihat dari pakaian atau penampilan, tapi dari sikap kita ketika kita mengahadapi masalah ataupun ketika kita bertindak. Mamah, jangan sedih ya! Bajunya pasti Lyra pakai, Lara juga pasti mau memakainya kok. Mamah juga harus sabar yah ngehadapin Lara, mamah kan tau sendiri sifat Lara gimana. Lyra yakin dibalik sifat Lara yang keras, dia anak yang baik, mah, dan dia pasti bisa buat mamah bangga suatu saat nanti,” ujar Lyra sambil memeluk mamah.

“Kamu itu emang anak mamah yang paling baik dan paling bisa ngertiin mamah,” mamah pun memeluk Lyra sambil mencium keningnya.

Tanpa mereka sadari aku sedari tadi mendengarkan percakapan mereka dari ruangan sebelah. Rasanya hati ini teriris-iris secara perlahan, api kecemburuan mulai membakarku. Aku hanya bisa diam mendengar percakapan mereka. Lyra memang selalu menjadi yang terbaik di mata mamah. Sikapnya yang lembah lembut, tak banyak bicara dan penurut membuat aku berada jauh di bawahnya, aku seperti alas kaki yang hanya berguna untuk diinjak-injak sedangkan dia mahkota emas yang selalu menjadi pujaan setiap orang.

Lyra adalah saudara kembarku yang dilahirkan lebih cepat dua menit dariku. Dari kecil segala sesuatunya kita selalu disamakan. Dari mulai sepatu, baju, tempat makan, tempat tidur, hingga sekolah pun kami satu kelas hingga SMA. Secara fisik memang kita terlihat sama karena kami terlahir sebagai kembar identik. Tapi secara non fisik semuanya berbeda, sifat kami sangat bertolak belakang.

Sebenarnya aku iri dengan kesempurnaan yang Lyra miliki. Wajah kami memang sama, tapi dia terlihat sempurna karena dia tidak berada di kursi roda seperti diriku. Aku hanya tidak ingin orang mengasihaniku. Mungkin karena itu sifat kami berbeda, aku lebih sensitif dan cepat marah. Aku merasa aku hanya bisa merepotkan mamah saja, tidak seperti Lyra yang bisa bebas melangkahkan kakinya kemana pun dia mau.

Lima tahun yang lalu kami sekeluarga mengalami kecelakaan mobil. Mobil kami tertabrak oleh truk. Mamah dan Lyra hanya luka-luka ringan. Aku mengalami cedera kaki yang mengharuskan kakiku diamputasi. Dan yang membuat keluarga kami sedih, papah meninggal dunia karena kecelakaan itu. Semenjak itu lah mamah menjadi single parent, menggantikan peran papah. Lyra yang membantu mamah dalam mengurus rumah dan termasuk aku.

Sudah 20 tahun mamah selalu membelikan kami baju yang sama, mamah ingin kami terlihat kompak. Aku tahu mamah melakukan itu karena mamah sayang sama kita berdua, mamah ingin agar aku tidak merasa dibedakan tetapi aku tidak butuh itu. Aku sudah besar dan sudah waktunya aku menentukan semuanya sendiri. Aku benci mamah selalu menganggap aku tidak pernah bisa mengambil keputusan ataupun menentukan pilihan. Buat mamah aku hanya orang cacat yang tidak bisa menentukan pilihan. Aku lelah dianggap seperti itu. Mungkin lima tahun yang lalu sebelum aku cacat seperti ini aku masih bisa menerima itu semua, tapi sekarang semuanya sudah berbeda.

Aku bukan lagi gadis kecil yang masih duduk di bangku SD, SMP ataupun SMA. Aku sudah duduk di bangku kuliah. Walaupun aku dan Lyra memakai baju yang sama, sebagus-bagusnya baju itu pun tetap saja aku berbeda dengan Lyra si gadis sempurna. Aku hanya ingin menemukan jati diriku sendiri.

Antara aku dan mamah, bertengkar gara-gara pakaian seperti tadi itu bukanlah hal yang aneh tetapi ujung-ujungnya aku akan selalu mengalah mengikuti apa yang mamah minta. Tapi tadi kesabaranku habis, aku capek harus selalu ribut dengan mamah cuman karena hal kecil seperti itu. Aku hanya ingin mamah bisa menghargai keinginanku.

Semenjak aku duduk di kursi roda ini, yang banyak membantu pekerjaan di rumah memang Lyra. Kakiku ini membuat aku terbatas dalam melakukan aktivitas. Aku terkadang merasa malu, ingin marah, tapi terkadang aku merasa beruntung ketika Lyra mengantarkan aku ke kampus hingga ke dalam kelas. Aku merasa beruntung Lyra adalah kakak yang baik, dia mau mendorong kursi rodaku hingga masuk kelas. Tapi aku malu karena aku selalu merepotkannya dan aku merasa marah karena aku tidak bisa berjalan layaknya orang lain.



Mentari kecil mulai muncul membangunkan para ayam untuk segera berkokok. Denting dawai mengalun syahdu, di mana sepi masih terjaga, di bawah langit di atas rerumputan mata memandang luas semesta beserta keindahan alamnya. Disini anganku melayang mencari arti perasaan yang teranugerahi rasa rindu dan sayang anak manusia.

Di pagi buta ini aku mencoba untuk membuktikan pada mamah dan Lyra bahwa kakiku ini tak akan membuat aku merepotkan mereka lagi. Dan membuktikan pada mamah bahwa aku bisa mengambil sebuah sikap. Aku mengambil tongkatku yang terletak tidak jauh dari tempatk tidurku. Aku beranjak menuju kamar mandi dan masuk ke dalam bathtub untuk membersihkan diriku. Semuanya berjalan lancar hingga aku bisa mengenakan pakaianku sendiri.

Walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk aku bersiap-siap kuliah tapi aku bangga pada diriku ternyata aku bisa melakukannya serba sendiri tanpa bantuan mamah dan Lyra seperti biasanya. Tiba-tiba saja ketika aku hendak keluar dari kamar...

“Lara,” serunya dengan suara masih surau yang baru saja bangun tidur.

“Kenapa? Ada yang aneh?”  tanyaku padanya.

Lyra masih terdiam melihatku sudah duduk rapih di atas kursi roda untuk berangkat kuliah.

“Kamu melakukannya itu sendiri?” tanya Lyra sambil melangkah mendekat ke arahku.

“Iya, kenapa memangnya?” jawabku ketus.

“Oh bagus sekali, aku senang melihat kamu bisa melakukannya sendiri. Kalau mamah tahu pasti mamah senang,”

“Iya pasti  senang karena aku tidak perlu merepotkan kalian lagi kan?”

“Ra, kok kamu ngomongnya gitu sih? Aku dan mamah sama sekali tidak pernah merasa direpotkan. Maksud aku, aku sennag melihat kamu sudah banyak kemajuan. Bukan kah itu suatu anugerah?”

“Udahlah ga usah ngerasa sok baik! Aku memang cacat, ga seperti kamu yang bisa melakukan apa saja semaumu. Minggir aku mau kuliah!”

“Lara, tapi kamu ga bisa pergi ke kampus sendirian,” Lyra menahan kursi rodaku.

“Kenapa tak bisa? Jarak dari rumah ke kampus kan tidak begitu jauh. Aku kuat mendorong kursi roda ini sendiri tanpa bantuan kamu,”

“Tapi Lara, gimana kalau ada apa-apa sama kamu di jalan? Belum lagi kelas kamu itu di lantai 2. Tunggu aku bersiap-siap dulu, lalu akan aku antarkan kamu ke kampus ya!”

“Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut?” suara aku dan Lyra membangunkan mamah yang sedang tertidur pulas.

“Ga kok, mah, ga ada apa-apa. Lagi siap-siap mau ke kampus,” jawab Lyra menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Mamah, kira ada apa. Eh, Lara sudah cantik, Lyra yang bantuin kamu siapin semuanya? Kok Lyra ga bangunin mamah sih?”

Mendengar kalimat seperti itu rasanya seperti halilintar yang datang menghampiriku. Apa aku selemah itu? Aku hanya bisa diam mendengar kalimat itu. Tak ada senyum sedikit pun di wajahku. Lyra menatapku dan berusaha tersenyum di depan mamah. Aku terpaksa harus pergi ke kampus bersama Lyra. Aku dan Lyra berusaha menutupi semuanya di depan mamah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara aku dan Lyra, kami melakukan ini karena kami tahu sifat mamah, daripada keributan tadi pagi menjadi panjang lebih baik kami memilih untuk bersandiwara.

Lyra pun sudah siap untuk berangkat. Kami sarapan terlebih dahulu, setelah itu kami pamitan kepada mamah.

“Hati-hati ya, nak di jalannya!” kami pun membalasnya dengan lambaian tangan.

Tak berapa jauh dari rumah...

“Lyra, aku mohon biarkan aku pergi sendiri!”

“Lara, aku ga akan membiarkan kamu pergi sendiri. Sudah tanggung jawabkku sebagai seorang kakak untuk menjaga kamu,”“Oh jadi hanya karena tanggung jawab saja kamu rela mengantarkanku pergi ke kampus hingga masuk kelas? Jadi karena kamu kakak aku, kamu mau melakukan itu semua? Hanya karena itu, Lyra Adya Wijaya?” emosiku mulai memuncak.

“Lara, dengarkan aku dulu. Kamu salah tanggap, sayang...”

Belum sempat Lyra menyelesaikan kata-katanya, aku pun segera mendorong roda kursi rodakku dengan kedua tanganku, meninggalkan Lyra yang terus mencoba menahanku.

Tak berapa lama kemudian...

“LARAAAAA...”

BRAKKK...

Lyra berteriak dan berlari menuju arahku yang tak berdaya menghindari mobil vitara berwarna hitam yang menghampiriku, mendorong kursi rodaku ke pinggir jalan mencoba menyelamatkanku.

Aku terdiam, hanya perasaan bersalah yang kini ada dalam diriku. Karena keegoisan dan keangkuhanku, kakakku harus menggantikan aku dalam posisi itu. Aku bodoh, aku tak berguna. Aku tak lebih dari seorang pembunuh.

Ambulance dari sebuah rumah sakit yang baru saja aku telepon dari handphoneku telah datang untuk membawa Lyra menuju rumah sakit. Mamah tak henti-hentinya menangis dan memeluk diriku. Tubuh Lyra yang berlumuran darah semakin membuatku terus merasa bersalah.

Seandainya keegoisanku tadi pagi tidak muncul, seandainya aku tidak pernah mempunyai rasa cemburu pada saudara kembarku sendiri, dan masih banyak sekali penyesalan yang terus menghantui diriku saat ini. Aku bukan hanya cacat fisik tapi ternyata aku cacat segalanya termasuk hatiku. Bukan Lyra yang seharusnya terbaring di rumah sakit itu tapi aku.

Lyra mencoba menyelamatkan aku dari maut yang menghampiriku. Seharusnya tadi pagi aku mengikuti apa yang dikatakannya, tidak meninggalkannya begitu saja. Benar, aku tidak bisa melakukan apapun tanpanya. Dia kakiku untuk berjalan, dia mataku untuk melihat, dan dia obatku ketika aku terluka, tapi aku hanyalah benalu baginya dan aku pembawa maut baginya.

Di ruang ICU, Lyra terbaring lemah. Tubuhnya dipenuhi dengan berbagai macam alat bantu agar dia tetap hidup. Kecelakaan tadi pagi merusak banyak bagian organ tubuhnya. Dia tak sadarkan diri. Aku menghampiri Lyra, memegang kedua tangannya dengan erat. Butiran kristal yang terus membahasi pipiku tak bisa kubendung lagi. Aku sadar, aku sangat menyayanginya dan aku tak ingin kehilangannya.

Mamah meninggalkan aku dengan Lyra, seakan tahu apa yang sedang aku inginkan. Aku hanya ingin berdua dengannya. Aku mencium kedua tangannya, air mataku pun membahasi tangan mungilnya yang halus. Tangan yang kucium itu bergerak secara perlahan, tapi mata itu tetap tertutup rapat.

“Lyra, maafkan aku. Seharusnya bukan kamu yang berbaring disini, tapi aku. Aku memang tidak pantas untuk menjadi kembaranmu. Apa yang sekarang harus aku lakukan untuk menebus semuanya? Lyra, aku mohon cepatlah bangun. Aku sayang kamu, Lyra,”

Aku melihat air mata keluar dari mata Lyra. Tapi matanya masih tertutup rapat. Aku yakin dia mendengar kata-kataku.  Ya Tuhan, aku mohon padaMu berikanlah kesembuhan pada Lyra. Aku masih ingin merajut hari bersamanya, merasakan kebahagiaan yang telah terlewatkan bersamanya. Tak banyak yang bisa aku lakukan saat ini, hanya doa yang bisa kupanjatkan demi kesembuhannya.

“Sayang, kamu makan dulu! Biar sekarang mamah yang jaga Lyra,” suara mamah memecahkan semua lamunanku.

“Nanti aja, mah. Lara masih pengen nemenin Lyra,”

“Nanti kamu sakit, sayang. Kalau kamu sakit siapa nanti yang nemenin Lyra kalau mamah lagi ada kerjaan?” mamah mengelus rambutku.

Aku memeluk tubuh mamah.

“Maafin sikap Lara selama ini ya, mah,”

“Jangan ngomong gitu lagi ya, sayang! Kamu ga pernah salah, mamah sayang kamu. Lyra juga sayang sama kamu, kalau kamu nangis terus, nanti Lyra ikut sedih,”

Tiba-tiba saja suara mesin detak jantung Lyra terdengar melemah. Aku dan mamah yang mendenngar suara mesin detak jantung itu pun langsung saja memanggil dokter. Perasaanku mulai tak menentu. Suasana di ruangan yang serba putih ini pun mulai menegang. Aku dan mamah dipersilahkan untuk menunggu diluar. Entah apa yang terjadi, tapi aku merasakan ada yang tak beres. Aku menolak perintah dokter tersebut. Dan kedua mataku terus mengarah pada mesin detak jantung Lyra. Detak jantungnya pun kini semakin melemah….melemah….dan….

“Lara…..Lara sayang….bangun, nak!” 

          “Mah, Bagaimana keadaan Lyra?” tanyaku panik sambil terus menangis.

         Mamah terdiam menatapku dengan raut wajah yang tak ku mengerti. Apa maksudnya itu? Apa ini pertanda kalau Lyra ... ?! Ujarku dalam hati. Perasaanku ini begitu tak menentu.

          "Mah, kenapa mamah diem aja? Gimana keadaan Lyra, mah? Kenapa Lara ada di rumah? Lyra sama siapa di rumah sakit?”

          “Ada apa sih, mah? Pagi-pagi kok sudah ribut?” suara itu mengejutkanku.

          “Lyra?” tanyaku heran.

          “Kenapa kamu, Ra?”

“Bukannya kamu di rumah sakit?”

“Siapa yang di rumah sakit? Kamu ini kalau ngomong jangan ngeyel ah!”

Aku masih terpaku diam di atas kasur. Entah sekarang adalah mimpi atau yang tadi itu semuanya mimpi? Yang pasti aku langsung memeluk mamah dan Lyra yang sedang duduk di atas tempat tidurku.

“Aku sayang mamah sama Lyra,” seruku sambil menangis.

“Kamu, kenapa sayang?” tanya mamah sambil mengelus rambut panjangku dengan lembut.

“Pasti mimpi buruk ya?” tambah Lyra.

Aku menggangguk tak bisa bicara karena air mataku terus saja mengalir. Mamah dan Lyra kembali memelukku. Lalu setelah itu, aku pun menceritakan mimpi semalam. Aku pun tersadar ternyata kecemburuanku selama ini pada Lyra tidaklah baik. Aku menyesal memiliki perasaan itu padanya. Dari mimpi itu aku tahu bahwa mamah dan Lyra sangat menyayangiku. Aku tidak mau kehilangan mereka. Bagiku mereka adalah jiwaku.

            Seandainya mimpi tersebut menjadi kenyataan, entah apa yang bisa aku perbuat untuk menebus segalanya. Hidup ini bukanlah sebuah komputer yang bisa kita kontrol, hanya dengan menekan ctrl+z semuanya bisa kembali seperti yang kita inginkan. Kehilangan kedua kaki itu tak seberapa dibandingkan aku harus kehilangan hati dan perasaanku yang bisa membuat aku kehilangan segalanya.

Leave a Reply