Oleh: Serenade Sekar
Rumah milik Pak Sartomo yang selama empat tahun tanpa penghuni, kini telah ditempati sepasang suami-istri yang menurut kabar adalah anggota keluarga Pak Sartomo. Sepintas, memang tak ada yang ganjil dari sepasang suami-istri penghuni rumah tersebut. Para tetangga bahkan menilai mereka sebagai "orang alim", kecuali aku.
Ya, bagiku terlalu cepat menilai seseorang hanya karena penampilan luarnya saja. Apalagi karena sarung plus peci yang selalu dikenakan suami dan gamis serta kerudung panjang yang selalu dipakai si istri. Yang aku tahu, mereka adalah pribadi sedingin es dan tertutup.
Hal itu kuketahui dari sikap tidak ramah si suami pada tetangga. Pernah juga aku buktikan sewaktu bertemu dengan si istri di pasar. Aku menyapa dan mengajaknya berjabat tangan untuk sekedar perkenalan. Namun dia membiarkan saja tanganku terulur tanpa dia menjabat. Dan yang paling membuatku heran adalah dia pergi begitu saja dengan muka tertunduk. Orang-orang yang berada di pasar seakan memandangku dengan sorotan tanda tanya. Ah, sial dan memalukan!
Tiap sore, banyak pemuda asing yang pergi ke rumahnya. Menurut kabar, pemuda-pemuda itu belajar agama dari tetangga baruku itu. Namun kemudian seperti virus yang cepat menjalar, sedikit demi sedikit pemuda-pemuda kampungku mulai berdatangan ke sana ikut-ikutan belajar agama. Dan itu pula yang dilakukan Hadi, teman baikku. Pantas saja tiap kali aku ajak pergi memancing, dia lebih banyak menolak.
Suatu hari selepas Ashar. aku berhasil mengajak Hadi pergi memancing. Kali ini aku rela menunggu Hadi di depan rumahnya karena sepuluh menit lalu dia mengabarkan lewat sms kalau dia masih dalam perjalanan menuju rumah.
Mataku melotot ketika Hadi berada di depanku.
“Yuk, pergi sekarang!”
Hadi memakai sarung dan baju koko. Lalu yang paling menggelitikku adalah seuntai tasbih yang ada di genggamannya.
“Wooiii…ganti baju dulu sana! Kita nggak akan berangkat kondangan, Bro!” selorohku.
“Tapi mencari rejeki Allah, kan?” jawabnya.
“Kesambet setan apa lo, Bro?!” ujarku tak menerima jawabannya.
“Setan muslim kayaknya, hehe. Ayo, nanti kemalaman.”
Hadi berjalan melewatiku yang masih menganga melihat perubahan penampilannya. Seperti ada yang tak beres dengan Hadi. Apalagi sepanjang perjalanan, dia bergumam tak jelas sambil terus menghitung bulatan-bulatan tasbihnya.
Sampai di sungai pun, Hadi masih bergumam-gumam sesuatu yang tak jelas kudengar. Hampir tak ada pembicaraan antara aku dan dia. Aku seperti sapi ompong yang menunggu penggembalanya menyuapkan rumput di mulut. Hanya dengusan nafas bosanku karena sudah beberapa jam menunggu ikan tak kunjung memakan umpan.
Tiba-tiba Hadi bergerak meraih joran pancingnya. Terlihat tali pancing di joran Hadi menegang, tanda umpannya disambar ikan. Hadi bergelut dengan ikan yang tersangkut mata kail pancingannya. Seketika aku tertawa keras. Ternyata setelah beberapa menit Hadi bersusah payah, hanya ikan sebesar jari kelingking yang muncul.
“Alhamdulillah. Rejeki dari Allah,” ucap Hadi.
Aku kembali terbahak. Sungguh, aku merasa konyol dengan ucapan Hadi!
“Hahaha… ikan kecil namanya bukan rejeki, Bro. Tapi buang-buang tenaga dan waktu saja. Kalau besar baru namanya rejeki!”
Hadi tersenyum tenang.
“Besar atau kecil sama saja. Keduanya merupakan rejeki, patut disyukuri. Apalagi tujuan kita kemari buat mencari lauk gratisan untuk nanti malam. Biarpun hanya satu ikan kecil untukku, inilah rejeki dan kenikmatan dari Allah.”
Aku terkejut, keningku berkerut. Tidak seperti Hadi yang kukenal! Biasanya situasi seperti inilah yang kami harapkan untuk saling mengejek. Seperti juga ketika umpanku yang tak kunjung dilirik ikan. Maka itulah kesempatan emas bagi Hadi meledekku sepuas-puasnya.
“Busyet… baru belajar ngaji sebentar saja sudah belagu! Biasanya tuh mulut penuh gerutu. Hahahaha….”
“Hadi tukang gerutu sudah musnah. Sekarang harus ada perbedaan dan perubahan yang lebih baik dari dulu. Apa mungkin hidup yang cuma sekali ini harus dilewati dengan cara menggerutu tiap kali nggak dapet apa yang kita mau? Kita ini hamba yang berjihad di bumi Allah, kawan. Segeralah berubah bila mau hidup nikmat di surga nanti.”
Tegas sekali ucapan Hadi. Namun perkataannya malah membuatku semakin asyik terbahak.
“Hahaha… aneh! Jangan-jangan nih otak sudah kena cuci sama doktrin yang kagak jelas! Iya kan?” ujarku sembari mengetuk-ngetukkan telunjuk di kepalanya.
Hadi tersenyum lalu menyingkirkan tanganku.
“Sebentar lagi Maghrib, Bro, aku mau duluan pulang,” jawabnya tenang.
“Hei… ada apa sama lo, Di?” tanyaku heran.
Hadi tak mempedulikan pertanyaanku. Dia terus saja berjalan menjauhiku. Aneh benar-benar aneh. Mulai dari pakaian, sikap, dan ucapannya. Mungkin memang benar dugaanku. Otak Hadi telah dicuci oleh seseorang!
Teroris
Posted by abyan muwaffaq
-
-