Penulis: Shofwan Najmu
Langit Kairo gelap gulita. Cahaya rembulan yang menggantung di petala langit tak mampu menerangi bumi. Redup. Sesekali cahayanya menghilang karena tertutup awan. Gemerlap bintang yang biasanya tampak bagaikan bola kristal di tengah kegelapan, kini tidak seluruhnya tampak. Hanya satu, dua atau tiga bintang yang terlihat. Dan itu pun tak mampu memberikan keindahan di malam ini. Bisa dikatakan, malam ini Kairo tidak begitu indah.
Angin berembus pelan. Begitu menusuk hingga ke tulang. Suhu udara pada malam ini di bawah 10 derajat. Begitu dingin, sangat dingin!
Aku masih berdiri dekat jendela. Tiga lapis jaket yang mengikat di tubuhku cukup untuk menghangatkan. Aku kembali mendongakkan kepala. Langit Kairo masih tampak suram. Cahaya rembulan masih terlihat redup. Pandanganku terhenti sesaat pada bulan. Ia bergerak perlahan lalu bersembunyi di balik awan. Cahayanya yang redup, membuat dirinya terlihat begitu menyedihkan. Sama seperti diriku yang kini tampak begitu menyedihkan.
Kedua mataku masih menatap lembut keadaan bulan yang menyedihkan itu. Hiruk pikuk suara aktifitas penduduk mesir dan bising kendaraan di depan apartemen, sama sekali tidak membuat mata ini berpaling. Tiba-tiba aku teringat kata-kata bapak satu tahun yang lalu.
“Nduk, nanti kalau kamu pulang, hati-hati. Cek barang-barang kamu, takut nanti ada yang tertinggal. Cepat pulang, Bapak dan Ibu sudah merindukanmu. Kabari Bapak sebelum kamu berangkat, biar Bapak dan Ibu bisa menjemputmu di bandara,” ujar bapakku dengan suara sedikit parau dan lemah.
Kata-kata itu kembali terngiang digendang telinga dan pikiranku. Kedua mataku berkaca-kaca. Tak terasa, butiran-butiran kristal mengalir dari kedua pelupuk mataku. Aliran itu semakin deras mengalir membasahi pipiku yang penuh dengan luka-luka. Aku tak kuasa menahan bendungan air mata yang pecah dari kedua mata ini. Aku pun menutup jendela dan beranjak ke tempat tidur, dibantu dengan dua tongkat yang menyanggah di kedua ketiakku.
Aku rebahkan tubuh ini di atas ranjang. Air mata masih mengalir deras membasahi pipi. Kedua mataku menatap kosong langit-langit atap apartemen. Pikiranku mengembara jauh entah ke mana, sehingga akhirnya terdampar ke sebuah peristiwa satu tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang betul-betul menyakitkan. Tidak hanya fisik yang merasakan, tapi batin pun merasakan sakit luar biasa.
Rekaman itu memutar ulang kejadian satu tahun yang lalu ….
Siang itu, siang yang sangat membahagiakan. Empat tahun aku banting tulang, giat belajar agar kuliahku segera usai. Dan hari itu, di hari penentuan itu, Allah menjawab permohonanku. Ternyata aku lulus!
“Vi, aku luluuuusss!!” ujarku saat itu penuh kegembiraan kepada Evi, adik kelasku dan teman seapartemenku.
“Selamat, ya, Kak Aisyah!” ucap Evi memberikan ucapan selamat kepadaku.
Betapa bahagianya diriku saat itu. Di sekelilingku seakan berubah menjadi taman bunga yang cantik menawan. Debu-debu yang berterbangan kemudian berubah menjadi guguran bunga-bunga yang indah. Terik matahari yang begitu menyengat seakan paham akan kebahagiaan yang tengah aku rasakan, kemudian ia pun bergerak perlahan dan bersembunyi di balik awan. Angin sepoi berembus pelan membelai lembut tubuhku.
“Ah, musim panas tahun ini seakan bergerak lebih cepat dan berganti dengan musim semi. Indah nian hari ini,” gumamku saat itu penuh kebahagiaan.
Aku ingat, sebelum aku pergi ke kuliah untuk memastikan kelulusanku, aku harus rela dicaci maki oleh ibu-ibu Mesir yang tengah menyapu di halaman depan apartemen. Sebab, aku terlalu semangat pergi ke kuliah untuk melihat hasil ujianku, sehingga bekas air seduhan mie, aku buang begitu saja tanpa melihat ke bawah terlebih dahulu.
Satu jam lebih aku dicaci maki, diomelin habis-habisan olehnya. Untungnya, suaminya datang dan menenangkan istrinya yang begitu asyik mengomeliku. Saat itu, aku begitu khawatir, khawatir kalau ini akan menjadi pertanda buruk mengenai hasil ujianku. Dunia seperti berubah menjadi gelap. Kampus al-Azhar seketika berubah menjadi angker. Aku takut. Aku takut, itu adalah pertanda buruk mengenai hasil ujianku.
Akhirnya aku paksakan kaki ini untuk melangkah ke kampus al-Azhar. Tak lupa sebelum berangkat aku dirikan shalat sunnah Dhuha terlebih dahulu. Berharap dan memohon kepada Allah, agar Allah memberikan yang terbaik bagiku, yaitu dengan kelulusanku di tahun ini.
Tanpa diduga, pertanda yang aku khawatirkan sebelumnya, sirna seketika. Saat kedua bola mataku menatap papan pengumuman, mataku berkaca-kaca, lalu berbinar. Hatiku berdesir penuh kebahagiaan. Antara percaya dan tidak, aku pukul-pukul pipiku. Sakit. Ternyata, ini nyata!!
Aku pun tersungkur haru. Air mata kebahagiaan menetes satu persatu di pipiku yang--kata orang--merah merona. Segala kegundahan, kerisauan, kekhawatiran dan ketakutan yang selama ini aku rasakan semuanya habis berembus. Kini, yang ada hanyalah kebahagiaan.
Keesokan harinya, aku menelepon keluargaku di kampung halaman. Aku tumpahkan air madu kebahagiaan yang berada di dalam cawan jiwaku kepada bapak dan ibu. Agar mereka merasakan pula apa yang aku rasakan.
“Selamat, ya, Nduk!” kata ibuku memberikan selamat. Kata-kata itu begitu menggetarkan jiwaku.
Seperti janjiku kepada kedua orang tua, jika aku lulus kuliah, maka aku akan segera pulang ke tanah air. Aku ingin segera melepas rinduku yang sudah empat tahun lamanya terpendam. “Insyaallah, Pak, setelah Aisyah kelar ngurus-ngurus berkas kuliah, termasuk ijazah, Aisyah pasti langsung pulang ke tanah air.”
“Berapa lama, Nduk, ngurus-ngurusnya?”
Aku tarik napas sesaat. Tak kuasa menahan haru. Haru karena aku merasakan bapak dan ibuku begitu bahagia mendengar kabar bahwa putrinya telah lulus kuliah.
“Insyaallah, sekitar dua mingguan. Aisyah juga udah mesen tiket pesawatnya,” jawabku kemudian.
“Nduk, nanti kalau kamu pulang, hati-hati. Cek barang-barang kamu, takut nanti ada yang tertinggal. Cepat pulang, Bapak dan Ibu sudah merindukanmu. Kabari Bapak sebelum kamu berangkat, biar Bapak dan Ibu bisa menjemputmu di bandara,” ujar bapakku dengan suara sedikit parau dan lemah.
Begitu pesan bapakku sebelum telepon terputus.
Dua minggu telah kulalui. Segala urusan telah selesai. Jadwal pulang pun sudah aku ketahui. Dua hari lagi aku pulang.
Sekarang hanya mempersiapkan oleh-oleh untuk kedua orang tua dan keluarga. Serta pamitan kepada teman-teman kuliahku.
Dan hari naas itu pun tiba.
Saat itu, pikiranku bercabang. Banyak hal yang harus aku lakukan sebelum aku meninggalkan Negeri Seribu Menara ini. Siang itu, terik matahari begitu menyengat. Pikiranku entah pergi kemana. Pandanganku kosong. Aku letih, karena dari kemarin aku sibuk mempersiapkan kepulanganku. Aku berjalan tertatih di depan kampus al-Azhar. Sesekali aku elap keringat yang menetes di kulitku. Aku pun menyebrang jalan dengan langkah gontai. Dan ….
“Braaakkk!!!”
Badanku seakan diterjang ombak di lautan. Aku terhempas. Terlempar jauh hingga beberapa meter. Pandanganku buram. Pikiranku kosong. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada diriku. Tak lama kemudian, aku didera rasa sakit yang luar biasa. Tubuhku seakan remuk redam. Aku sama sekali tidak bisa bergerak. Pandanganku masih buram. Aku hanya melihat samar-samar beberapa orang yang berdiri di dekatku. Mereka hanya menatapku, dan tidak berusaha menolongku.
Aku mengerang kesakitan, “To … Tolooong!” ucapku parau dan lemah.
Darah segar mengalir deras di wajah dan tubuhku. Aku coba untuk mengelapnya, namun tak bisa. Sulit sekali aku menggerakkan tanganku.
Aku kembali meminta pertolongan, “Sa … Sa'idniii!!”
Lagi-lagi tak ada yang menolongku. Mereka hanya berdiri melihat tanpa melakukan apa-apa.
Ah, aku begitu muak dan jijik dengan sikap mereka yang cuek seperti itu. Entah terbuat dari apa hati mereka. Seseorang yang sudah terkulai lemah, bukannya ditolong, tapi ini malah dibiarkan begitu saja. Mereka lebih menurut dengan aturan pemerintah, jika terjadi kecelakaan, jangan diapa-apakan terlebih dahulu sebelum polisi datang. Karena mereka takut dituduh yang tidak-tidak.
Omong kosong!! Memangnya polisi malaikat, yang bisa datang secepat kilat? Ini urusan keselamatan seseorang, jika telat saja sedikit, bisa-bisa tidak terselamatkan. Meskipun, segala sesuatunya Allah yang menentukan. Manusia tidak bisa menjamin apa-apa. Tapi ini lain hal, ini urusan kemanusiaan. Bukankah Allah menyuruh kita agar berusaha? Bukankah Allah juga menyuruh kita untuk saling tolong-menolong? Tapi kenapa tidak mereka lakukan?
Aku memang salut dengan orang-orang Mesir. Jika adzan berkumandang, mereka segera meninggalkan aktifitasnya lalu mendirikan shalat. Aku juga salut dengan mereka yang betul-betul mencintai ilmu-ilmu agama. Aku juga salut kepada mereka yang selalu mendermakan sebagian hartanya untuk orang-orang yang tidak mampu. Dan hal-hal yang lainnya.
Tapi untuk hal ini, aku betul-betul muak!
Tiba-tiba, aku mendengar suara lelaki tengah adu mulut dengan orang Mesir. Tampaknya laki-laki itu orang Indonesia juga. Tidak begitu jelas apa yang mereka perdebatkan. Aku hanya mendengar samar-samar, intinya laki-laki itu protes kenapa diriku tidak segera dibawa ke rumah sakit.
Aku arahkan pandanganku ke laki-laki tersebut, meski pandanganku masih buram. Dan, “To … Tolooong!” kata-kata itu meluncur begitu saja, karena aku sudah tidak kuat.
Ia menghampiriku. Lalu ia memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sinar di matanya memancarkan rasa iba begitu mendalam kepada diriku. Ia pun berkata, “Dik, Ana minta ijin untuk menggendong Adik ke rumah sakit?”
Belum sempat aku memberikan jawaban, “Ya, silakan …,” tiba-tiba dunia berubah menjadi hitam. Pandangku yang semula buram, lama-lama mengecil, lalu gelap. Aku pun tak sadarkan diri.
***
Aku masih menatap lekat langit-langit atap apartemen. Rekaman kejadian satu tahun yang lalu masih berputar di pikiranku. Kini satu tahun telah berlalu masa perawatanku. Kaki kiriku yang patah, kini sudah mulai berangsur pulih. Luka-luka di wajahku dan di sekujur tubuhku sudah berangsur menghilang. Hanya beberapa luka yang masih terlihat, seperti di wajahku ini.
Adi, malaikat yang dikirim Allah untuk menolongku saat itu, menceritakan peristiwa yang terjadi ketika aku mulai tak sadarkan diri. Ia membopongku ke rumah sakit terdekat, tapi sayang, ditolak. Alasannya karena tidak ada ruang inap untuk dirawat.
Adi kembali membopongku, kemudian membawaku ke rumah sakit yang lain dengan taksi. Tapi lagi-lagi ditolak, karena terhalang biaya administrasi. Dan ini hal kedua yang membuatku muak dengan Mesir. Pelayanan rumah sakit yang kurang memuaskan. Bahkan sama sekali tidak memuaskan. Beberapa kali Adi membawaku ke rumah sakit, selalu ditolak. Berbagai macam alasan diutarakan, meski menurutku tidak masuk akal.
Akhirnya, Adi meminta tolong kepada Presiden PPMI, presidennya mahasiswa Indonesia di Mesir. Dan alhamdulillah, setelah beberapa kali penolakan, ada juga rumah sakit yang mau merawatku. Tapi, sekalinya ada yang mau menerima pasien, biayanya mahal sekali. Di luar batas kemampuanku.
Oh, Allah … Mendengar cerita Adi, hatiku serasa disayat-sayat. Begitu susahnya mencari pengobatan di Mesir ini. Sekali lagi aku katakan, entah, terbuat dari apa hati mereka?
Ketika aku telah sadarkan diri, setelah bermusyawarah, akhirnya aku memutuskan untuk berobat kepada dokter yang terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia, melalui pengobatan akupuntur.
Dan alhamdulillah, satu tahun masa perawatanku telah berlalu, kini sudah mulai terlihat hasilnya. Keadaanku sedikit demi sedikit mulai membaik.
Adi, malaikatku itu, selalu setia menemaniku ketika aku dirawat. Satu tahun aku lalui bersamanya. Benih-benih cinta pun mulai tumbuh di cawan hati kami berdua. Bunga-bunga yang dulu sempat layu karena kecelakaan, kini kembali mekar. Adi begitu setia menyirami bunga-bunga itu. Ia memberikan pupuk-pupuk cinta yang sangat luar biasa.
Adi selalu menasihatiku, agar aku selalu bersabar serta ikhlas menerima cobaan yang telah Allah berikan. Karena keindahan itu ada hanya untuk orang-orang yang bersabar. Dan Allah menjawab itu semua. Tiga bulan yang lalu, Adi melamarku. Ia ingin menjadi yang halal bagiku. Kedua orang tua kami telah sepakat. Dan satu bulan lagi, aku dan Adi akan pulang ke tanah air untuk melangsungkan pernikahan, insyaallah.
Kedua mataku berbinar. Hatiku berdesir penuh kebahagiaan. Tiba-tiba degup jantungku berdetak kencang. Degup jantung seorang gadis yang tengah kasmaran. Kata-kata lamaran Adi pun kembali terngiang. ***
Kairo, 14 Mei 2011
Angel In Cairo
Posted by abyan muwaffaq
-
-