Penulis: Istikumayati
Seharian di kampus mengerjakan research. Asam laktat sudah menumpuk di bahu, mata dan punggungku. Belum lagi diomelin sensei[1] karena data-data research-ku yang masih belum beres juga. Penat sekali. Kubuka laci meja belajarku, kuraih dompet biru kotak-kotak. Nafasku berat, uang lembaran 10ribu-an di dompetku semakin menipis. Bulan ini, aku sudah mentransfer uang 200 ribu yen ke Indonesia, untuk operasi kandungan ibuku. Kanker rahim itu baru diketahui empat bulan lalu. Sedangkan bapakku, yang hanya pesuruh di sebuah SD di kampung, tak kuat menanggung biaya yang dibutuhkan ibu. Beruntung aku mendapat beasiswa S2 di Nagoya University, sehingga aku bisa membantu, dengan mengirimkan separuh beasiswa. Walhasil, aku harus mengikat pinggang erat-erat dan mesti mencari penghasilan tambahan.
Tok…tok…tok….”Maya san[2]. Selamat malam”. Suara itu membuyarkan lamunanku. Ada yang mengetuk pintu apartemenku. Tak mau membuat sang tamu menunggu, aku segera membuka pintu. Sosok sahabatku, Gui Ming Zu, muncul ketika pintu kubuka. Dia mahasiswa asing asal Korea, satu jurusan denganku. Hanya saja, beasiswa yang diterimanya tidak full seperti aku.
“Malam. Ada apa Gui san?”
“Maya san, satu jam lagi aku mau wawancara baito[3] di Bamiyan. Restoran China, tak jauh dari sini. Tolong anterin aku ya…” dia memadukan kedua tangannya di dada, memohon padaku. Kulirik jarum pendek di arlojiku. Angka yang ditunjuk adalah sepuluh.
“Jam segini? Ah yang bener. Mana ada wawancara kerja malam-malam begini?” kerutan di keningku pun muncul. Heran.
“Beneran. Aku barusan ditelepon. Lagian kamu katanya juga mau nyari baito? Sekalian aja, siapa tahu kan….?” Aku sudah bisa menebak kelanjutan kalimatnya. Meski mataku ingin segera beristirahat, namun kupaksakan juga untuk mengantar Gui.
“Oke. Apa yang harus aku bawa?” aku mengiyakan ajakannya. Mendengar jawabanku, Gui pun sumringah.
“Kamu hanya perlu membawa kartu identitas aja. Ehm, kartu mahasiswa dan KTP penduduk asing. Oh ya, bawa aja foto, kali aja bisa langsung wawancara kayak aku.” Tak butuh waktu lama bagiku menyiapkan semuanya. Aku memang sudah berencana mencari baito, untuk menutupi biaya hidup di sini. Setelah semuanya siap, kami pun pergi ke restoran yang dimaksud oleh Gui.
*****
Restoran yang hanya berjarak 5 menit dengan sepeda itu kelihatan sepi. Hanya ada empat tamu. Dua orang di pojok dekat jendela yang menghadap ke jalan, dua orang lagi duduk di dekat kasir. Pelayan di depan pintu mempersilahkan kami duduk di salah satu meja. Setelah Gui mengutarakan niatannya, pelayan yang kulihat nama dadanya ‘Matsumoto’, segera masuk memanggil atasannya. Entah ini hanya perasaanku atau apa, sepertinya dia memandangku aneh.
Akhirnya, Kondo, yang disebut-sebut sebagai kepala cabang restoran tersebut muncul. Dia segera menemui kami. Tepatnya, menemui Gui, karena mereka memang sudah membuat janji untuk wawancara kerja. Sedangkan aku, hanya menemani saja.
Pembicaraan berlangsung singkat. Hanya sepuluh menit. Selama selang waktu itu, aku hanya bisa melayangkan pandangan ke dinding-dinding restoran ini. Benar-benar mirip China. Banyak ornamen China yang terpasang. Gambar naga dan kucing dengan kanji okane[4], ciri khas negeri tirai bambu. Lengkap pula dengan seragam merah keungunan berkancing tali yang dikenakan oleh waiters dan Kondo. Seragam mereka sama. Jadi tak nampak mana bawahan dan atasan. Sejujurnya, aku suka pola seperti ini. Atasan menyatu dengan bawahan.
“Oh ya, tenchou[5]. Ini ada teman saya, apakah ada kerjaan buat dia?”, tanpa sungkan-sungkan Gui bertanya kepada atasan barunya.
“Ehm, begitu ya. Kamu juga mau melamar kerja?” mata Kondo menuju padaku.
“Eh, iya. Kalau ada lowongan buat saya…..” aku bingung melanjutkan kalimatku. Tapi, sepertinya Kondo mengerti maksudku. Dia pun segera menanggapinya.
“Kami membutuhkan empat waiters. Kami bisa menerimamu, tapi….” Bola matanya bergerak memandangi sekitar kepalaku.
“Tapi apa ?” tanyaku tak sabaran.
“Kamu mau melepas kain yang menutup kepalamu kan? Setiap waiters harus mengenakan seragam, kurang lebih seperti dia”, Kondo-san menunjuk Matsumoto, yang menyambut kedatangan kami tadi.
Mencopot kerudung? Yang benar saja. Aku langsung jadi lemas.
“Oh begitu ya. Akan saya pertimbangkan” suaraku memelan, sedikit kecewa. Dalam hati, sudah pasti aku tidak akan mempertimbangkan lagi. Jelas, aku menolak.
Selama perjalanan pulang, aku sedikit murung. Kecewa. Gui pun jadi tak enak karena omongan kepala cabang tadi. Tiba di apartemen, kami segera ke parkiran sepeda.
“Maya san, gomen ne[6]. Aku tahu kamu tidak akan mau mencopot kerudungmu. Tapi kita kan kerjanya cuma empat jam. Copot aja sementara, kan ga tiap hari kerjanya. Kamu bisa memakainya lagi setelah bekerja.” Mendengar celotehan Gui, aku hanya menggelengkan kepala. Aku memaklumi perkataan Gui tersebut. Karena dia bukan muslim, dia tidak faham makna ketaqwaan kepada Allah. Bahwa Allah tak pernah istirahat atau lupa untuk selalu mengawasi semua perbuatan kita, barang sedetikpun. Apalagi dalam waktu empat jam. Di negaranya, jumlah muslim pun sangat minim. Bahkan, akulah teman muslim satu-satunya. Wajar bila dia berpendapat seperti itu.
***
Kusandarkan kepala di tepi ranjangku yang mungil, pas dengan ukuran tubuhku yang tidak seberapa tinggi. Kulayangkan pandanganku ke langit-langit kamar. Tidak ada apa-apa, hanya warna putih bergaris, dan tentu saja lampu. Suhu yang terasa makin menggigit mendorongku untuk menyalakan danbo[7]. Ya, meski musim dingin akan segera berakhir, namun dinginnya masih terasa menusuk, menembus di sela-sela sweaterku, sampai ke pori-pori kulit.
Apa aku harus menanggalkan kerudungku ya? Kalau tidak, dengan uang apa aku harus bertahan hidup. Simpananku di bank juga semakin berkurang. Dan yang pasti, aku harus mengirim uang tiap bulannya. Hanya aku yang bisa diandalkan bapak, karena adikku masih kelas satu SMA. Bayangan ibu melintas tatkala kupejamkan mata. Ibuku, sosok wanita yang penuh semangat. Meski hidup kami pas-pasan, namun beliaulah yang berjuang mati-matian agar kami-dua anaknya-, tetap bisa sekolah. Meski ibu harus ikut bapak jadi tukang batu, jualan gorengan, menjahit kain perca, dan masih banyak pekerjaan kasar lain yang pernah dijajaki ibu. Semua dilakukan demi kami. Lalu, apakah aku begitu teganya, tidak membantu ibu, demi mempertahankan kerudungku? Ya Allah…..
Dan malam pun kian larut, aku bahkan tak sadar kapan aku tertidur. Bayangan ibuku itu ada di antara dunia lamunan dan dunia mimpiku. Sungguh sebuah dilemma.
****
“Hai, Sensei. Arigatou gozaimasu.[8]” Kuanggukkan badan. Nafas panjang kuhirup dalam-dalam. Lega rasanya. Selama tiga hari aku lembur, mencatat data research-ku berupa dialog drama “Taiyou wa Shizumanai” (Mentari takkan Tenggelam). Akhirnya…., kini tinggal konsentrasi mencari baito.
“Hai, Maya san. Apa kabar neh?”, seperti biasa, Gui menepuk pundakku, dan mengangkat alisnya. Aku pun tak tahu mengapa dia sering mengangkat alisnya.
“Baik, Gui san.” Jawabku pendek dan singkat.
“Baik? Kok murung gitu?” setelah memainkan alis ke atas, kini ke tengah, hampir-hampir menyambung.
“Ya, kau tahu lah. Aku masih belum dapat kerja part time.” Aku menunduk melihat anak tangga yang kuturuni hingga ke lantai dasar, satu per satu.
“Hei, jangan khawatir. Ini, aku ada lowongan di toko cepat saji Mc Daniel dan toko Italia. Lumayan, per jamnya 900 yen. Malah yang Mc Daniel ini ada dua lho. Satu di cabang daerah Motoyama dan satu lagi di daerah Sakae.” Sambil menyerahkan selebaran lowongan kerja.
“Kayaknya bagus neh. Tapi, apakah kerudungku tidak jadi masalah seperti waktu itu?” Aku mengerutkan dahi, pesimis.
“Halah, coba aja. Apa salahnya mencoba. Lagian Mc Daniel kan internasional. Di negaramu ada kan? Pasti mereka bisa mengerti.” Gui terus menyemangatiku.
Gui berhasil membuat semangat pencarian baito-ku membuncah lagi. Dengan harapan tinggi, aku melamar ke Mc Daniel yang ada di Motoyama, karena dekat dengan kampusku, sekitar 15 menit dengan naik sepeda. Sebenarnya bisa saja aku naik Subway Meijo Line, hanya 80 yen, cukup 6 menit sudah sampai. Tapi, uang segitu bisa untuk membeli mie instan di Matsuzakaya, sebuah department store di daerah Motoyama. Mie instan made in Indonesia yang harganya sekitar seribu rupiah, di sini dijual sekitar 85 yen atau 8000 rupiah. Aku harus benar-benar berhemat. Kadang aku berpikir, hidupku di sini tak jauh berbeda dengan nasib anak kos di Indonesia. Makannya mie instant melulu. Hanya berbeda negara saja.
****
Sekali lagi, lamaranku ditolak. Di Mc Daniel, aku harus mencopot kerudung. Kalau yang di restoran Italia, lebih parah. Ga hanya kerudung yang mesti aku copot, bahkan aku harus memakai rok mini berenda? Ya Allah…, aku harus bagaimana ini?
Kepalaku tambah pusing karena dua kali ditolak kerja. Aku putuskan untuk pulang dulu. Dan lowongan yang satunya tak mungkin aku datangi. Mc Daniel yang di Motoyama sudah menolakku, yang di Sakae pasti tak jauh berbeda. Aku pun pulang dengan gontai.
Sampai di Jalan Yamate aku berpapasan dengan Mbak Naning. Guru SD Islam dari Bogor yang mengambil program teacher training selama 1,5 tahun. Seketika kuhentikan ayunan sepedaku.
Kami pun langsung ngobrol seperti biasa. Aku ceritakan penolakan baito yang baru saja kualami. Mbak Naning lalu mengatakan bahwa ada anak Malaysia S1 science yang pake kerudung dan bekerja di Mc Daniel Sakae.
Asaku yang tadi sempat redup, menyala kembali. Aku bergegas berangkat ke Mc Daniel Sakae. Kuparkir sepeda di stasiun Yagoto Nisseki. Lalu naik kereta subway menuju Sakae.
Dalam 20 menit, akhirnya aku sampai di Stasiun Sakae.
“Ehm…., dari sini belok kiri. Ada Bank UFJ, dan lalu….” Kuedarkan pandangan mataku.
Yup, itu dia. Logo Resto cepat saji Mc Daniel memang mencolok.
Kulangkahkan kaki, penuh semangat. Aku melihat wanita di bagian kasir, wajahnya sama sekali tak menunjukkan kalau dia orang Jepang. Sepertinya dia dari Indonesia, atau Thailand.
“Oh, tentang lowongan itu. Ya, kami memang membutuhkannya. Kami senang bila Anda mau bergabung di sini.” Kepala bagian ini begitu ramah kepadaku. Mungkin karena disini sudah ada mahasiswa Malaysia berkerudung yang bekerja. Jadi dia menganggapku biasa.
“Kalau jam-jam ini, bisa?” Kepala bagian itu menunjukkan jadwal kerja part time padaku.
“Ya, saya bisa!” jawabku tanpa berpikir panjang, saking senangnya. Duh, akhirnya….
“Oh iya, itu juga ada pegawai saya yang seperti kamu, dia dari Malaysia. Muslim kan ya?” kepala bagian itu menunjuk sosok wanita yang di kasir tadi.
“Itu. Wanita yang di kasir itu?” aku ingin memperjelas.
“Ya, dia datang ke sini berkerudung seperti kamu. Kalau kerja saja dilepas. Padahal dia cantik ya?” seulas senyum manis tertoreh di bibir kepala cabang.
“Oh, jadi nanti kalau saya bekerja, juga harus mencopot kerudung seperti dia?” tanyaku dengan mimik wajah penuh harap, bahwa jawaban kepala cabang adalah ‘ndak, kamu boleh aja pake kerudung’.
“Ya, tentu saja…..” Mulutku membuka kecil sambil menyeringai, menunggu kepala cabang memperjelas kalimatnya. “Kamu juga harus melepas kerudung seperti dia. Cuma pas kerja aja kok”.
Deg ! seketika rasa girangku menguap. Harapanku tak terkabulkan.
“Begitu ya. Maaf.” Kusodorkan lembar jadwal kerja part time, yang sedari tadi kupegang. “Maaf. Saya tidak bisa melepas kerudung saya. Sekali lagi, maaf” Aku menganggukkan kepala.
“Oh begitu ya. Sayang sekali ya. Maaf, masalah seragam, sudah menjadi keputusan manajemen.” Kepala cabang itu pun meminta maaf padaku, seraya menganggukkan kepala beberapa kali.
Hampir saja aku dapat kerja part time. Ah, aku jadi stress. Padahal lima hari lagi, aku harus membayar sewa apartemen, ditambah tagihan gas, air dan HP. Dan aku pun harus kecewa lagi.
***
Pukul 09:15, aku sudah tiba di Stasiun Shin Maiko, stasiun kereta paling dekat dengan rumah keluarga homestay-ku. Tak lama kemudian, kulihat mobil oranye imut otousan[9] tiba.
“Okaasan[10], otousan, terima kasih sudah mengundang saya. Okaasan panen apa neh?” kulepas sweaterku. Mobil ini sudah cukup hangat.
“Cuma sayur biasa saja, bokchoy, kubis dan lain-lain. Kami sudah sisihkan untuk kamu bawa ke apartemenmu nanti. Bisa kamu bagi dengan teman-teman.”
“Wah, pasti sayurnya seger. Bagi dengan teman? Banyak ya okaasan…” Lumayan, bisa menghemat jatah belanja. Bervitamin lagi. Tapi, aku membayangkan betapa susahnya nanti aku membawa sayuran dalam tas besar. Apalagi, aku harus 2 kali oper kereta. Terutama di Stasiun Kanayama, aku harus berjalan jauh menuju subway. Waduh, pasti ribet.“Kamu tidak usah khawatir. Nanti kami akan mengantarmu sampai apartemen.” Okaasan menoleh ke arahku dan tersenyum. Rupanya okaasan tahu apa yang aku pikirkan.
“Bener? Aduh, maaf merepotkan.”
“Jangan dipikirkan, kami senang kok.”
Okaasan dan otousan memang senang ikut dalam kegiatan sosial. Termasuk menjadi tuan rumah homestay bagi mahasiswa asing.
“Nah, sekarang kami akan mengajakmu ke taman” okaasan melanjutkan kalimatnya.
“Taman? Bukannya kita mau panen sayur?”.
“Lho, kan sudah disiapkan sayurannya. Ada di bagasi. Kamu kan pernah bilang, kamu suka sekali dengan bunga. Kamu bisa melihat berbagai macam bunga yang bermekaran di Taman Tempaku. Ada juga bunga dari Indonesia di dalam ruang kaca. Kamu pasti suka.”
“Oh, begitu. Ya, baiklah.” Aku amini saja ajakan okaasan dan otousan.
****
“Sakura belum semi ya okaasan.” Kulihat sekeliling taman ini. Cukup indah meski tak seluas taman Higashiyama dekat kampusku. Rupanya sudah banyak pengunjung yang datang.
“Ya belum. Sebentar lagi. Mungkin sebulan lagi”
“Kenapa ya, sakura menjadi bunga yang sangat digandrungi oleh orang Jepang? Bahkan mekarnya akan ditunggu-tunggu setiap tahunnya.”
“Ehm….” Okaasan mencoba berpikir.
“Itu bunga apa okaasan?” Belum sempat okaasan menjawab pertanyaanku tadi, sudah aku berondong dengan pertanyaan baru.
“Itu, tsubaki. Tsubaki lebih besar mahkotanya, lebih merah dan lebih indah kelihatannya, namun orang Jepang tidak seberapa menyukainya. Maksudnya, orang Jepang tidak merasakan perasaan khusus terhadap tsubaki, layaknya perasaan mereka terhadap sakura.” Okaasan memegang bunga tsubaki di antara pohonnya yang berderet.
“Kenapa begitu okaasan?” Aku mulai bersemangat mendengarkan penjelasan okaasan.
“Tsubaki memang indah, tapi karena hampir berbunga sepanjang tahun, masyarakat Jepang seakan-akan tidak melihat letak kekhususannya, karena terlalu sering melihat. Sama halnya dengan petani yang biasa memandang sawah tiap harinya, namun bila ada orang kota yang belum pernah ke desa, dia akan terkagum-kagum melihat hamparan hijau di sawah. Bunga sakura bersemi setahun sekali, ada kerinduan pada hati orang Jepang untuk melihatnya lagi pada tahun .”
Wanita paruh baya itu lalu mengajakku duduk di sebuah bangku kayu. Dia melanjutkan ceritanya tentang tsubaki dan sakura.
“Ketika bunga tsubaki jatuh, biasanya satu kelopak bunga akan serta merta gugur sekaligus. Namun berbeda dengan sakura. Sakura biasanya tidak gugur sekaligus, satu persatu mahkotanya lepas, dan bersama tiupan angin dia akan jatuh ke tanah. Orang Jepang menghayati proses jatuhnya bunga sakura yang satu per satu ini. Ada kesan mendalam di balik proses jatuhnya sakura ini. Di kala menghadapi kesusahan, janganlah hati kita langsung jatuh dan berputus asa, kita harus bisa mengontrol dan menata hati kita perlahan sambil berusaha mencari pencerahan. Demikian pula saat kita mendapat sebuah kebahagiaan, janganlah terlampau riang hingga bisa melupakan semuanya.” Okaasan melanjutkan penjelasannya yang panjang. Okaasan memang suka dengan dunia filsafat. Aku hanya bisa manggut-manggut dibuatnya.
Setelah puas menikmati pesona berbagai jenis bunga, pasangan suami-istri itu mengantarku pulang. Tepat, jam 3 sore aku sudah tiba di apartemenku. Aku pun segera naik ke lantai kamarku dengan menenteng dua tas plastik besar berisi sayuran.
***
Malam ini, tiba-tiba aku teringat cerita okaasan tentang tsubaki dan sakura dua minggu lalu. Jika aku diberi pilihan, menjadi tsubaki atau sakura, mana yang harus kupilih? Saat ini, aku sedang menghadapi masalah keuangan. Dan aku sudah jatuh dalam beberapa wawancara baito. Apakah aku harus menyerah, dan menanggalkan kerudungku saat baito? Apakah itu berarti aku seperti tsubaki, jatuh sekaligus? Namun, jika aku memilih sakura, itu artinya aku harus mempertahankan hijab auratku ini. Lalu bagaimana dengan ibuku di kampung?
Ya Allah kuatkan hati hamba-Mu yang lemah ini. Hamba ingin seperti sakura. Meski tiap lembarannya jatuh ke bumi, dia akan segera mengumpulkan tenaga lagi, untuk bisa bersemi di tahun . Untuk memberikan keindahannya, agar bisa dinikmati lagi oleh manusia. Aku tahu Ya Allah, Engkau memberikan kesusahan dan kebahagiaan, semata-mata hanyalah untuk menguji keimananku. Maka, kuatkan hatiku. Berilah aku petunjuk dan jalan untuk membantu ibuku. Ibu yang telah melahirkanku. Amin.
Kututup sholat malamku dengan untaian doa dan linangan air mata. Karena aku sudah tak tahu lagi, kepada siapa aku harus mengadu.
Mataku masih juga tak bisa terpejam meski jarum pendek sudah merangkak ke angka tiga. Kunyalakan laptop, dan membuka email. Ada 3 email baru di inbox-ku. Aku tertarik membuka email bersubyek “Teach Indonesian”. Aku ingat, dulu aku pernah mendaftar sebagai native speaker bahasa Indonesia di situs sensei-sagasu.com. Jantungku berdebar ketika membukanya.
TAWARAN MENGAJAR BAHASA INDONESIA DI TOYOTA BOSOKU
DARI YASUDA LANGUAGE CENTER
Hatiku melonjak girang. Ya Allah, Kau jawab doaku. Padahal, baru 5 menit yang lalu aku berdoa. Ditambah lagi gaji perjamnya 4000 yen. Empat kali lipat lebih dibanding kerja di restoran. Dan yang terpenting lagi, aku tidak perlu melepas kerudung ketika mengajar. Aku langsung sujud syukur. Tak sabar rasanya, ingin segera kukabarkan pada keluarga di kampung. Bahwa uang untuk operasi pengangkatan rahim ibu, akan segera kudapatkan. Namun kutahan keinginanku. Kupikir akan lebih baik jika mereka kukabari sebelum aku mengirim uangnya.
***
Aku duduk di bawah pohon sakura. Sakura mankai, sakura bersemi. Indah. Seperti hatiku yang kini bahagia. Kukeluarkan HP dari saku gamisku. Sebulan sudah aku mengajar bahasa Indonesia di perusahaan Toyota Bosoku. Gaji baito, asistensi profesor dan tabungan beasiswaku kiranya cukup untuk kutransfer ke kampung. Kini saatnya aku mengabari mereka.
“Assalamualaikum. Ini saya Maya, dari Jepang.” Ujarku penuh semangat. Tak sabar ingin kudengar suara adik atau bapakku.
“Walaikum salam. Oh, nak Maya…..” suara Bu Astri, tetangga sebelah rumah orang tuaku, sepertinya masih berlanjut. Namun, karena tak sabar, aku pun langsung memotong.
“Bu Astri, bisa minta tolong dipanggilkan ibu atau bapak saya?” pintaku.
“Anu nak, tadi malam ada kabar dari adikmu di rumah sakit. Ibu kamu…ehm….” Ragu sekali Bu Astri melanjutkan kalimatnya.
“Ibu saya? Ibu saya kenapa Bu?” tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Dalam waktu yang berselang detik itu, berbagai prasangka negatif mengawang-awang di otakku. Namun aku berusaha menepisnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin !
“Sabar ya May. Ibu kamu sudah tiada, nak. Jam 2 pagi tadi.…., kamu yang kuat ya di sana”.
Deg…..jantungku seakan berhenti berdetak. Mulutku membisu. Aku terdiam lemas. Semua terasa sepi. Hening. Bahkan riuh orang-orang yang sedang hanami[11] tak terhiraukan lagi. Aku pias. Allah…., Kau panggil wanita yang melahirkanku.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. KehendakMu Ya Rabb, karena semua di dunia ini akan kembali padaMu. Aku ikhlas, bila itu yang terbaik bagi ibuku. Terima dia di sisiMu Rabb. Amin.
Senyumku yang tadi sempat terulas, kini tersapu angin bersamaan dengan jatuhnya lembaran sakura, yang telah berjuang bertahan seminggu di pohonnya. Aku yakin, suatu saat nanti sakura itu akan bersemi lagi di hatiku.
[1] profesor
[2] panggilan untuk menyertai nama orang
[3] kerja part time
[4] uang
[5] kepala cabang
[6] maaf ya
[7] pemanas ruangan
[8] Baik, Pak. Terima kasih
[9] bapak
[10] ibu
[11] perayaan melihat bunga sakura
Lembaran Sakura
Posted by abyan muwaffaq
-
-