Oleh: Khoiriyyah Azzahro
Kupunguti alat tulis yang berserakan di lantai sambil melirik sosok kecil di sudut ruang. Kelopak matanya mengerjap dan bola matanya berputar-putar. Terik mentari yang masuk melalui jendela nako menerpa sebagian wajahnya. Membiaskan warna merah di pipi dan tengkuknya. Warna merah kebiruan seperti lebam.
Kuletakkan alat tulis yang telah kupunguti pada kotak plastik di dekat papan tulis kecil. Lalu kuberingsut duduk di hadapan sosok kecil di sudut ruang tersebut. “Ayo, Daus! Waktunya sudah habis dari tadi. Lihat! Kawan-kawan yang lain sudah bulik1)!” ucapku.
Gamang tangan kecilnya terulur padaku menyerahkan lembar jawabannya. Sempat kulirik goresan memerah di telapak tangannya.
“Tangannya kenapa, Daus?”
Sosok kecil di hadapanku tak menjawab pertanyaanku untuknya. Setelah lembar kertasnya berada di genggamanku, segera Ia menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.
“Assalamu’alaykum...”
Salam di balik pintu menyentak sadarku. Tas notebook yang tiba-tiba teronggok di dekat pintu, aroma pecel, hawa panas yang hadir, cukup memperjelas sosok si pemilik salam, Rina.
“Wa’alaykumsalamwarohmah...” balasku berbarengan dengan langkah Rina memasuki ruangan. Ujung matanya memandang sosok kecil di dekatku.
“Daus lagi! Daus lagi!” celetuk Rina sambil meletakkan tas laptop-nya di dekat meja. Lalu melenggang menuju bilik sebelah. Aku tersenyum saja mendengarnya. Kualihkan pandangan pada lembar kertas jawaban milik Daus kembali.
“Lho, ujar-nya hari ini Kakak mau di interview?”
Tak kujawab tanya itu. Mataku sibuk pada lembar kertas jawaban milik Daus di tanganku. “Nah, Daus! Sekarang boleh bulik. Jangan lupa, kasih ini ke mama-nya Daus ya!” ujarku sambil menyelipkan selembar surat di saku bocah itu. Ia mengangguk, meraih ujung jariku lalu menciumnya sebelum berlari menuju pintu.
“Interview-nya diundur isuk2), Rin ay!” ucapku sambil melangkah menuju bilik sebelah. Tampak Rina sedang duduk bersila di dekat lemari plastik sambil membuka bungkus nasi pecelnya.
“Ooh... Eh, Kak! Si Daus tadi kayapa3)? Sudah ada kemajuan, kah? Sudah bayar duit les, kah?”
Aku menggeleng “Kada4) dua-duanya. Berhitungnya masih payah. Bahasa Inggris-nya juga lambat. Iuran les belum dibayar”
“Trus.. duit kos kita kayapa? Tadi ulun bedapat wan Bapak Kos di muka. Supan ulun, Kak ay!5)”
Aku menatap kosong ke arah Rina. Kuhela nafas berat. “Yaaah.. do’akan ja isuk Si Daus sudah bayar. Atau... do’akan ja iuran kost kita belum ditagih sama Bapak Kost”
“Tapi tetap denda keterlambatan lo, Kak! Rugi!”
“Yaah... mau kayapa lagi, ay!”
Rina terdiam. Matanya menatapku namun kosong. Ah.. Ia pasti merisaukan teguran bapak juragan kost seperti bulan-bulan sebelumnya. “Emng.. nanti sore Kakak ke ATM di samping minimarket. Pinanya6) Kakak masih ada sedikit simpanan buat bayar kost”
Rina manggut-manggut. Matanya beralih pada bungkus nasi di hadapannya. “Eh.. Kakak kada makan kah?” tanyanya. “Insya Allah, shaum7)!” jawabku sembari meraih handuk.
Rina menatapiku kosong. “Kasihan Kakak...” gumamnya
Aku balas menatap “Orang syaum kok kasihan?! Uuy... Sudah jam dua belas! Katanya handak ka8) kampus lagi?” tanyaku. Rina tergeragap. Cepat dituangnya kecap dan menyantap nasinya lahap.
“Truuus.. ingat ya! Kost ! Bukan Kos ! Kata serapan Bahasa Inggris Cost dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi Kost bukan Kos!”
Rina sedikit tersedak. Segera ditenggaknya segelas air putih “Hm.. Iya-iya Bu Guru! Syusyah ye punya kakak instruktur Bahasa Inggris!” sungutnya. Aku tersenyum saja sambil menuju kamar mandi.
Sesungguhnya, siang ini seluruh tubuhku enggan disentuh air. Meski Aku sudah terbiasa mandi di siang hari, semenjak aktivitas yang banyak dimulai pada siang hingga malam hari. Tapi, mau tak mau, Aku harus berusaha mengenyahkan rasa enggan ini agar bau keringat dan daki kotoran juga enyah dari tubuhku. Bila tidak, kulitku akan dihadiri bentol dan bercak merah. Umak9)ku dulu menyebutnya krumut, sementara dokter kulit memberi istilah ‘alergi’.
Usai dari kamar mandi, ruangan begitu lengang. Pasti Rina sudah kembali ke kampusnya. Adik perempuanku tersebut selalu hanya mampir sebentar di siang hari, tepat di sela-sela waktu kuliahnya.
Setelah merapikan diri, kuraih rukuh mukena-ku. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu.
“Assalamu’alaykum! Ibu! Ibu Diah!”
Gamang menyelimutiku. Haruskah kutunda sembahyang ini demi memuliakan tamu? Ataukah kuacuhkan saja sang tamu demi panggilan “Kekasihku” yang baru terdengar. Ahh.. akhirnya kutanggalkan rukuh mukena dan meraih jilbab kaosku.
“Wa’alaykumsalam. Siapa ya?”
“Mama-nya Daus, Bu Diah!”
Aha! Semoga ini pertanda baik. Ya! Ya! Semoga perempuan di balik pintu ini, ibu dari sosok kecil bernama Daus yang baru beberapa menit lalu meninggalkan ruang kamar kost-ku ini segera melunasi iuran les yang telah menunggak selama tiga bulan padaku.
Selama ini Aku membiayai hidup dengan iuran les anak-anak sekitar yang belajar tambahan padaku. Usai wisuda awal tahun kemarin, orangtua-ku tak lagi memberikan jatah bulanan padaku. Hanya Rina yang mendapat kiriman uang tiap bulannya. Itu pun tak seberapa jumlahnya. Uang pensiunan Abah10)-ku hanya cukup untuk biaya sekolah dan rencana kuliah adik bontotku, yang saat ini masih bersekolah di menengah kejuruan.
Kubuka pintu kamar yang berat dan berderit. Di baliknya sesosok kecil berdiri bersama seorang perempuan berdaster batik. Segera kupersilakan ibu dan anak itu masuk ke kamar yang juga menjadi ruang ajar mengajar les-ku. Mereka mengikutiku duduk di lantai marmer yang dingin.
“Begini, Bu Diah. Maaf ya...” lirih perempuan muda berdaster batik di hadapanku. “Maaf.. Daus sudah telat bayar uang les-nya. Tadi ulun sudah baca surat pian11). Maaf, baru bisa se-ini..” masih lirih, perempuan berdaster batik di hadapanku mengangsurkan sebuah amplop dengan digesekkan pada lantai ke arahku. Perlahan kuraih amplop tersebut. Hatiku berucap syukur menerimanya.
“Si Mila, ading12)-nya Daus, sudah seminggu sakitnya belum sembuh. Mana sekarang sudah masuk semester baru. Banyak buku pelajaran yang harus dibeli. Ditambah Si Risnah, ading Daus yang masih bayi belum jua di-imunisasi” perempuan di hadapanku mulai bertutur kesah. Seperti biasanya.
Hanya sungging senyum yang kulakukan. Tak tahu bagaimana menanggapi kata demi kata perempuan di hadapanku. Sesaat, hening hadir diantara kami.
“Kemarin, bapaknya Daus keluar kota selama tiga hari. Jadi ulun13) kerepotan sendiri. Terpaksa pinjam sana sini” Ibu muda di hadapanku kembali bertutur.
“Oh! Ya.. Kada apa-apa, Bu! Sekarang bagaimana kabarnya Mila, Bu? Sudah baikan?”
“Begitulah! Pileknya tu nah, Bu Diah ay! Padahal banyak tugas dari gurunya. Jadi susah belajarnya. Sekarang guru-guru itu kalau memberi tugas kada kira-kira, lah?! Masa’ anak kelas dua es-de sudah di suruh mencatat nama-nama benda dalam Bahasa Inggris sebanyak lima belas kata. Pusing ulun, Bu ay!”
Lagi-lagi hanya sungging yang kulakukan. Meski sangat tak bersepakat, Aku tak jua mengetahui bagaimana menanggapi tutur kesah ibu muda di hadapanku ini. Seperti biasanya
“Eh, Sudah lah, Bu! Sudah siang. Maaf mengganggu waktu pian. Ayo, Daus! Salim sama Bu Diah” Kedua ibu beranak di hadapanku berbangkit dari duduk. Daus meraih ujung jemariku lalu menciuminya. Duuh.. ingin rasanya kulihat lebih dekat telapak tangan bocah itu. Apakah sebenarnya goresan memerah pada telapak tangannya? Juga bertanya pada mama-nya, perihal lebam pada pipi dan tengkuk anak beliau. Namun kuurungkan.
Kuantarkan keduanya ke pintu kamar dan menatap sosok mereka hingga hilang dari pandangan. Sambil menutup pintu, kuraba amplop yang masih tertutup rapi di tangan kananku. Alhamdulillah... Akhirnya rezeqi Allah datang juga. Semoga Aku tak perlu menunggak uang kost hingga dikenakan denda sebesar tiga puluh ribu seperti dua bulan sebelumnya. Dan yang terpenting, sore ini Aku tak perlu ke ATM untuk mengurangi simpananku yang makin menipis.
Perlahan kubuka amplop di tanganku. Menyembullah beberapa lembar berwarna biru. Lima
puluh... Seratus... Lho? Kok, hanya seratus lima puluh ribu? Daus kan menunggak tiga bulan. Harusnya tiga ratus enam puluh ribu.
Keningku berkenyit pening terasa. Selembar kertas kecil terjatuh tiba-tiba diantara lembaran rupiah. Perlahan kupungut dan menatapnya. Ada goresan tinta di sana...
Bu Diah... Ini uang les-nya Daus. Maaf, Ulun hanyar kawa mambayar setengahnya ja dulu. Keina mun ada rezqi, dibayari pulang lah12). Maaf, Bu! Mudahan Pian dimurahkan dan dimudahkan rezeqinya. Aamin..
Keningku makin terasa pening. Pandanganku mengabur tiba-tiba. Seluruh sendiku terasa lemas. Lembaran rupiah di tanganku tak cukup untuk membayar iuran kos ditambah denda keterlambatannya. Kuteringat selembar lima ribu di dompet kecilku, serta dua buah kurma di dalam stoples untuk berbuka puasa kelak. Hanya itu yang saat ini kumiliki. Ah.. ternyata Aku tetap harus ke ATM sore ini.
* * *
Kuturunkan pacu gas motor perlahan. Kunyalakan lampu sorot depan lalu mengatur persneling dan gas dalam posisi bebas tanpa mematikan motor. Pelan-pelan kuturunkan diriku dari sadel motor. Lalu mendorong motor sambil berjalan.
Bulan dan bintang tiada bersinar lagi malam ini. Menyalakan lampu sorot depan kendaraan menjadi cara ampuh agar jalanan sedikit lebih terang. Namun tidak dengan mengendarainya. Bunyi motor akan memanggil amukan warga sekitar yang merasa terganggu ketenangannya di malam hari.
Inilah malam ketiga Aku pulang lebih larut dari malam-malam sebelumnya. Dahulu, pukul 20.30 Aku telah berada kembali di kamar kost-ku. Namun kini, pukul 22.00 bahkan terkadang lewat hingga lima belas menit, barulah Aku tiba di kost.
Alhamdulillah.. setelah interview dengan Mister Sudjatmoko seminggu lalu, kini Aku dipekerjakan sebagai karyawan administrasi merangkap instuktur di lembaga pendidikan non formal milik beliau. What a lucky break! Lulusan sarjana tanpa pengalaman bekerja sepertiku mendapat tawaran dan kesempatan tak terduga di saat sedang membutuhkan dan mencari peluang di dunia kerja. Sungguh.. lucky break!
Tak kan kusiakan kesempatan ini untuk masa depan. Kendala apa pun, termasuk pulang sedikit larut hingga harus mendorong motor di gelap malam harus dapat kutaklukan. Insya Allah, Aku sudah membekali diri dengan beladiri untuk berjaga-jaga.
Sunyi menemaniku. Kudorong pelan-pelan motor bututku memasuki gang. Ada enam rumah penduduk yang harus kulewati sebelum tiba di depan kost bertingkat satu, tempat tinggal Aku dan Rina bersama 22 perempuan lainnya saat ini. Diantara enam rumah tersebut terdapat rumah orangtua Daus dan Mila yang bersebelahan tepat dengan rumah kakek nenek mereka.
Dubrak!! Praakk!
Bunyi gaduh memecah sepinya malam. Hampir saja genggamanku pada steer kemudi motor terlepas.
“Awas ikam, Daus!! Jangan sembunyi! Sini!!” teriakan seorang lelaki terdengar tiba-tiba. Gemanya seakan merobek senyapnya gelap. Kupasang pendengaran lebih tajam. Suara itu tampaknya bermuara dari rumah kecil tempat Daus dan keluarganya tinggal.
“Heh! Daus! Sini ikam!”
Bak! Buk!
Bunyi gaduh kembali mengoyak sunyinya kelam. Masya Allah... Apa yang terjadi di rumah Daus? Mengapa malam hari begini berolah ribut.
“Eemng... hiks... Eeemng.. hiks” terdengar suara tangisan anak kecil. Daus??
* * *
“ Saya nda tau persisnya ya, Mbak Diah. Tapi kata tetangga samping rumahnya, Si Daus tuu.. sering dipukuli kalau bapaknya pulang” penuturan Bunda-nya Nindya membuatku terperanjat.
“Masya Allah, Bu! Memangnya Si Daus salah apa?”
“Ya nda tau, Mbak! Lha.. katanya sih, kerjaan bapaknya Daus itu kan memang harus sering keluar kota kitu. Lha.. kata tetangga sebelah rumahnya, tiap kali bapaknya pulang dari luar kota, Si Daus pasti dipukuli bapaknya” penuturan Bunda-nya Nindya mengingatkanku pada lebam di pipi dan tengkuk Daus. Juga pada telapak tangannya yang memerah.
“Kasihan...”
“ Ya.. begitulah, Mbak Diah. Dari kecil dulu sampe sekarang Si Daus sudah hampir kelas lima, ya.. seperti itu nasib Si Daus. Coba Mba Diah lihat pakaiannya Si Daus, lusuh banget tho? Lha.. bandingkan sama pakaiannya Si Mila adiknya. Saya sering sedih melihat anak itu, Mba!” “Saya sudah bertetangga dengan keluarganya Daus sejak Si Nindya belum lahir lho, Mba! Jadi Saya dan semua tetangga di sini sudah sering dengar keributan seperti malam kemarin itu” kembali Bunda-nya Nindya berujar.
Kuhela nafas berat. Daus.. benarkah itu, Nak? Duhai sungguh malang nian nasibmu, Nak!
Masih kuingat kala awal mengenal Daus dan mama-nya hampir satu semester yang lalu. Perempuan muda yang selalu mengenakan daster itu, meminta tolong agar anaknya diperbolehkan mengikuti les pelajaran matematika dan Bahasa Inggris olehku, dengan bayaran sedikit lebih ‘miring’ dari yang lainnya. Ibu muda itu mengeluh tentang suaminya yang menurutnya berpendapatan dibawah rata-rata. Hingga sebagai istri, beliau terpaksa gali tutup lubang, pinjam bayar hutang.
“Mba Diah tau nda, lebaran kemarin Si Mila sama adiknya yang paling kecil diajak jalan sama main-main ke Kebun Raya Samarinda. Tapi Si Daus hanya ditinggal di rumah sendirian. Trus nih.. tiap Mila dan Daus di beri uang sama neneknya, jatah Daus di ambil sama bapaknya. Sementara Mila boleh
jajan sepuasnya. Pilih kasih banget tho, Mba?!”
“ Tapi tetap dapat uang jajan lo, Bu?”
“Wah.. coba deh, Mba Diah tanya sendiri sama Daus, apa pernah bapaknya itu ngasih uang jajan sama dia! Nindya sama teman-temannya di sekolah sering dipalak sama Daus. Soalnya dia nda punya duit jajan kayak temen-temennya. Kecil-kecil sudah jadi tukang palak. Gede-nya mau jadi apa?”
Kutercenung mendengar tutur demi tutur Bunda-nya Nindya. Tiba-tiba Aku ingat pada mimik dan tingkah Daus. Kelopak mata yang senantiasa mengerjap dan bola mata yang selalu berputar. Prilaku itu bukan kelainan fisik. Daus selalu sulit memahami tiap perkataan orang lain. Ia seperti sedang meletakkan fikiran pada tempat yang jauh nun.....
Kuterkenang pada kesulitan-kesulitan yang pernah kualami saat mengajari Daus. Bocah itu tak pernah berkonsentrasi, hingga tak ada pelajaran yang mampu diterima dan ditangkap otak serta hatinya. Ia selalu tertinggal dari teman-temannya. Mungkinkah semua itu dikarenakan rasa tertekan atau sedih yang mendera hati dan fikirannya? Daus.. Daus... semoga Kau tabah, Nak!
* * *
“ Ayo, Rin! Lakasi13)!” ucapku pada Rina yang masih mematut wajah di depan cermin. “Sebentar na.. Kak!” jawabnya. Ah, Aku sungguh tak sabar menunggu adik yang satu ini. Sedari tadi berdandan saja. Centil amat!
Ini memang hari minggu dan masih pukul 9.30 pagi. Tapi, hari ini Aku dan Rina harus menghadiri dua walimatul ursy dan satu acara syukuran kelulusan temanku yang letaknya berjauhan satu sama lain. Setelah itu Aku dan Rina akan ke rumah Acil14) Niah, adik Umak-ku. Suda lama rasanya Aku dan Rina tidak bersilaturrahim ke rumah beliau. Padahal hanya beliau satu-satunya keluarga dekatku yang tinggal di kota ini. Tak lupa rencana ke minimarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semua harus dilakukan hari ini.
Lima belas menit berikutnya, Aku dan Rina telah ‘bertengger’ di atas sadel motor bututku. Aku siap mengendarai kuda bermesin itu dan berkeliling Kota Samarinda seharian penuh. Motor melaju perlahan meninggalkan bangunan kost bertingkat dua. Di hadapanku, gang sedikit lengang. Hari libur begini, para mahasiswa atau karyawan penghuni kost, banyak yang mengisi libur dengan mengunjungi keluarga di kampung, atau menyegarkan fikiran ke tempat wisata. Ada juga yang tidur dan beristirahat saja. Begitu juga aktivitas penduduk setempat.
Motor kukemudikan menuju luar gang. Tiba-tiba Rina berseru dari arah sadel belakang “Kak! Lihat! Ada apa tu rame-rame?”
Dari spion terlihat ujung jari Rina menunjuk ke kiri jalan. Pandanganku mengikuti arah telunjuk Rina. Bendera kuning dari kertas minyak melambai di pinggir jalan. Terpal plastik biru membentang memayungi para lelaki berbaju koko dan perempuan berkerudung yang duduk tenang di kursi plastik.
“Pinanya ada yang meninggal, Rin! Siapa ya?”
“Meninggal? Tapi tadi kadada15) pengumuman dari masjid, Kak ay? Biasanya kalau ada yang meninggal diumumin dari speaker masjid lo?!”
“Oya kah? Eh.. tanya sama bapak itu, pang!” Aku menunjuk pada seorang lelaki setengah baya berbaju koko yang sedang melintas di dekat motorku. Kuhentikan motor. Rina beranjak dari sadelnya.
“Assalamu’alaykum... Maaf, Pak! Umpat betakun lah16)... Siapa yang meninggal, Pak?”
“Wa’alaykumsalam. Lho? Ini Mba Rina adiknya Mba Diah yang ngajar les anak-anak sini kan?”
“ Iya, Pak! Itu kakak ulun!” tunjuk Rina padaku.
“Eh.. Mba Diah!” lelaki setengah baya tersebut menoleh padaku. Aku mengganggukkan kepala sebagai hormat.
“Yang meninggal Si Firdaus, Mba Rina.. Mba Diah.. Anaknya Pak Zakir. Dini hari tadi meninggalnya”
Aku terperanjat mendengar ucapan lelaki setengah baya tersebut. “Innalillahi!!”
“Katanya.. gara-gara di pukuli bapaknya malam tadi”
“Hah! Masya Allah!” pekikku berbarengan dengan Rina. Ya Tuhan... jadi Daus dipukuli lagi oleh Bapaknya... Hatiku berdesir tiba-tiba. Kuteringat keributan di rumah Daus beberapa malam sebelumnya. Kini, Daus... bocah lelaki itu... telah tiada...
“Terimakasih infonya, Pak!” ucap Rina.
“ Rin, kita melayat dulu ya!” lirihku pada Rina yang dibalas dengan anggukan.
* * *
Kulirik meja kecil di sudut ruang. Terik mentari menerpa lantai marmernya. Dari jarak dua meter tempatku kini, sudut itu tampak sejuk. Mungkin itu sebabnya mengapa Daus senang duduk di sana. Namun, sosok kecil yang senantiasa menghuni meja itu, kini tak ada. Pagi tadi saat mengatur meja-meja kecil di kamar kost ini, Aku terlupa bahwa sejak hari ini, takkan lagi kulihat sosok Daus dengan kelopak mata yang mengerjap dan bola mata yang berputar-putar selalu di balik meja kecil itu.
Sebelum memulai pelajaran, kujelaskan kepada bocah-bocah seisi ruangan, bahwa Daus telah berada di tempat yang indah bersama Tuhan. Ya.. Aku yakin, Tuhan amat sayang pada bocah kurus itu. Tuhan amat cinta pada Daus, maka Ia segera mengajak Daus untuk lekas berada di dekat Rahmat-Nya agar tiada lagi merasakan kesakitan, sedih dan stress yang berkepanjangan karena selalu menjadi bulan-bulanan Bapaknya bila sedang naik pitam.
Aku teringat, kemarin ketika melayat ke rumah duka dan berjumpa dengan mama-nya Daus, perempuan muda berdaster batik itu masih berusaha menyungging senyum pada semua pelayat meski dengan airmata yang tak henti mengalir membasahi wajah.
“Maafkan Daus kalau pernah nakal ya, Bu Diah! Ulun tau, Daus pernah memecahkan kacamata
Bu Diah. Tapi Bu Diah kada lapor sama ulun. Uang les Daus masih banyak tunggakan jua. Ini.. Ulun hanyar kawa mengganti sedikit” perempuan berdaster batik itu menyisipkan amplop putih ke telapak tanganku.
Tak dapat kubendung bulir air di sudut mataku saat itu. Amplop yang tersisip di telapak tanganku itu kuletakkkan saja pada sebuah ‘kotak duka’ di dekatku.
“Sudah, Bu! Saya kada bisa menerimanya. Buat pian ja. Lagipula, berkat do’a dalam surat Ibu dulu, Saya kini benar-benar dimudahkan dan dimurahkan rezeqi oleh Allah. Saya bisa punya pekerjaan dan penghasilan yang lumayan, Bu! Saya yang seharusnya minta maaf. Sebagai guru les-nya Daus, Saya belum dapat membimbing Daus menjadi anak yang pandai, seperti amanah Ibu dahulu”
Perempuan berdaster batik di dekatku tersebut tiba-tiba memelukku erat. Tangisnya turut mengguncang tubuhku. “Andai ulun bisa jadi ibu yang baik. Yang bisa melindungi anak dari kekejaman bapaknya” lirihnya. Tangisku ikut meluruh dipelukan perempuan berdaster batik yang masih muda itu.
“Sudah, Bu! Saya yakin Tuhan sayang sama anak ibu, Daus. Bukan salah ibu bila takdirnya begini” tangisku tak henti saat membisikkan kalimat ini di telinga perempuan berdaster batik itu.
“ Ibu Diah! Ibu Diah! Sudah selesai, Bu!“
“Ulun jua, Bu! Sudah selesai.”
Teriakan bocah-bocah menyadarkan lamunku. Segera kuusap pipiku yang membasah.
“Oya? Sini Ibu periksa kerjaannya!”
Aku masih sering melirik meja kecil di sudut ruang. Juga teringat pada kelopak mata yang mengerjap dan bola mata yang selalu berputar milik Daus. Serta pada pipi dan tengkuk yang lebam dan telapak tangannya yang memerah.
Kini meja kecil di sudut ruang tersebut sunyi tanpa penghuni. Semoga suatu saat ia kembali ditempati oleh seorang bocah, anak bangsa, laki-laki atau perempuan. Seorang bocah yang memiliki bola mata yang selalu fokus pada pelajaran yang sedang kuberikan. Yang memiliki fikir dan hati penuh dengan impian, cita dan tekad. Demi masa depannya yang cerah, gemilang, penuh kasih sayang serta dukungan dari orangtua dan orang-orang sekitarnya. Aamiin...
Banjarmasin, 18 Agustus 2009 Untuk Daus.. tabahkan hatimu, Nak!
Seuntai CintaNya Buat Daus
Posted by abyan muwaffaq
-
-