SAM

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis: Muhammad Saleh

   
Seperti pagi kemarin, sebelum dia pergi ke kelas untuk mengajar, Sam menatap tiga kursi kosong di sampingnya dalam ruang kantor guru. Ia menghembuskan napas pelan dengan raut muka sedih, seperti ada yang bergumul dalam hatinya. Sudah tiga hari yang empu-nya kursi itu belum juga datang, untuk kembali mengajar anak-anak Pegunungan Meratus. Pegunungan yang masih lebat dengan pohon-pohon raksasa, hewan-hewan liar, dan bermacam tumbuhan lainnya, di Propinsi Kalimantan Selatan.




Semua ini bermula dari percakapan tiga hari yang lalu di ruangan itu. Obrolan ringan sebelum jam pelajaran masuk. Sebenarnya lebih mirip curahan hati masing-masing.


“Saya sudah capek ngajar di sini, tak tahan rasanya,” keluh Pak Agus memulai percakapan.


“Saya juga merasa begitu, Pak” imbuh Pak Adi, “sudah malam sepi, gelap lagi tak ada listrik.”


“Iya, tiap minggu kita juga harus bolak-balik dari kota kesini,” Pak Sholeh menimpali, “coba kalau di sini ada sinyal handphone, mungkin tak akan membosankan seperti ini.”


Jarak antara kota dan Pegunungan Meratus memang sangat jauh. Butuh waktu berjam-jam. Jangan membayangkan jalanan mulus beraspal yang dilalui selama perjalanan. Akan tetapi, medan jalan yang sangat sulit, terjal, dan mendaki. Apalagi kalau musim hujan tiba, lumpur dan air menggenangi di setiap ruas jalan. Demi sampai ke tempat tujuan, guru-guru yang mengajar ke sana, harus menempuh perjalanan tiga kilo meter lebih dengan berjalan kaki. Motor mereka harus ditinggal di dusun kaki pegunungan. Sungguh perjuangan yang berat.


“Saya nanti akan mengajukan surat pindah saja,” kata Pak Agus lagi. Pak Agus memang selama beberapa hari ini sudah tak bersemangat lagi dalam mentransfer ilmunya pada anak-anak. Mungkin karena sudah merasa bosan mengajar di tempat terpencil ini.
“Saya juga, Pak,” sahut Pak Sholeh, “saya mengajar di sini sudah lebih dari tiga tahun, tapi tidak ada juga perlakuan khusus dari pemerintah,” lanjutnya menyesal.


Pak Adi manggut-manggut.
Selain sepeda motor berplat merah, tak ada lagi tunjangan yang lain. Paling tidak pemerintah bisa menaikkan gaji mereka dua kali lipat bagi guru-guru yang mengajar di Pegunungan Meratus ini atau daerah-daerah terpencil lainnya agar guru-guru bersemangat dan betah mengajar, serta tidak merasa dibuang oleh pemerintah. Tak hanya guru-guru yang bersertifikasi saja yang mendapatkan gaji lebih. Sudah mengajar di kota, besar pula gajinya. Sungguh tak adil rasanya.


“Lha, kalau bapak-bapak semua mau pindah, siapa yang akan mengajar di sini?” Sam yang dari tadi diam mendengarkan, angkat bicara. Di antara empat guru yang mengajar, dialah yang termuda. Ia begitu mengkhawatirkan nasib murid-muridnya, kalau tak ada lagi guru-guru yang bersedia mengajar di sini.


Sadar pertanyaan itu ditunjukkan untuk siapa, ketiganya lantas tersenyum bersamaan menatap ke satu arah.


“Sam, yang belum berkeluarga hanya kamu,”  kata Pak Adi, “jadi, saya rasa kamu pasti sanggup bertahan mengajar di tempat ini, sedangkan kami, tiap minggu harus pulang berkumpul dengan anak-istri.”


Sam memang belum menikah atau memiliki pasangan hidup. Ia baru saja diangkat menjadi pegawai negeri. Ia beruntung, setelah lulus kuliah langsung ikut seleksi penerimaan CPNS. Di luar dugaannya ia langsung diterima, dengan segala konsekuensi yang telah ia tanda tangani, bersedia di tempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Maka dengan ikhlas ia menerima surat tugasPegunungan Meratus ini. Menurut guru-guru yang lainnya, Sam mampu bertahan mengajar di pegunungan Meratus tanpa memikirkan anak-istri.


“Lagian, murid di sini kan tidak banyak. Baru satu kelas, pasti kamu sendirian sanggup mengajar anak-anak itu, Sam,” cetus Pak Agus menimpali, yang lainnya juga tampak setuju. Sam semakin terpojok.


“Pak....!” sebuah suara di bibir pintu mengagetkan Sam. Kontan membuyarkan ingatannya akan percakapan yang berkelindan dalam keping memori otaknya. Sam menoleh ke sumber suara. Seorang bocah dengan pakaian lusuh dan tampak dekil tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya.


“Waki, ada apa?”


“Waktunya masuk, Pak,” bocah itu mengingatkan.


Sam baru sadar setelah melihat ke jam dinding di depannya, kalau jam pelajaran sudah terlewat sepuluh menit. Gegas ia mengambil buku paket di kolong meja, segera mengikuti Waki yang berlari mendahuluinya menuju kelas.


***
    Dalam ruangan yang hanya berukuran 5 x 5 meter itu, anak-anak Meratus tampak antusias mendengarkan dan memperhatikan penjelasan Sam tentang membaca dan merangkai kata. Anak-anak itu masih banyak yang tidak bisa membaca, bahkan mengenali huruf dari A-Z tampak masih kesulitan. Wajar saja karena orang tua mereka tak mampu mengajari. Mereka pun kebanyakan buta huruf.


    Sam menulis beberapa suku kata pada papan tulis di depan. Murid-murid tampak sibuk menyalin pada buku tulisnya. Memperhatikan huruf demi huruf dengan seksama.


    “Kalau sudah selesai menulisnya, sekarang ikuti bapak,” kata Sam, sambil memperhatikan tulisan murid-muridnya dari meja ke meja.


Semua murid mengangguk, “Sudah, Pak!”


    “B...u...bu-bu,” seru Sam mengejakan huruf per suku kata.


    “B...u...bu-bu,” sahut murid-muridnya serempak.


    “K...u...ku-ku,”


    “K...u...ku-ku,”


   “Bu-ku...”
“BU-KU...”


Kemudian satu persatu, murid-muridnya disuruh maju untuk membaca sendiri di depan. Ada yang gemetar, gugup, takut, senang, tertawa, bahkan ada yang hampir menangis karena tak bisa membaca. Secara lembut Sam membimbing murid-muridnya dengan pendekatan individu. Ia memperhatikan siapa saja yang masih tertinggal, dengan  begitu mereka akan cepat bisa membaca, harap Sam.


Dari sudut matanya, Sam memperhatikan murid-muridnya dengan prihatin. Murid-muridnya tak seperti siswa sekolah yang lain, memakai seragam. Di sini mereka bersekolah hanya memakai pakaian sehari-hari, bahkan ada anak yang memakai baju yang biasa dibawa ke ladang.


Semangat anak-anak dalam belajar itulah yang membuat Sam tetap bertahan mengajar di sini, walau tanpa teman guru yang lain. Kalau ia juga ikut meninggalkan sekolah ini, siapa lagi yang akan mengajari anak-anak itu membaca, berhitung, dan ilmu lainnya? Anak-anak itulah nanti yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sam tak ingin anak-anak itu seperti orangtua mereka, buta huruf. Ia ingin anak-anak itu tumbuh dengan cerdas, sehingga bisa membangun kampung halamannya.


***


    Setelah shalat Isya, dalam ruangan yang temaram, yang bersumber dari cahaya lampu minyak, Sam tampak sibuk di meja kerjanya. Kadang ia mengeryit, kadang tersenyum memeriksa hasil tugas yang dia berikan pada murid-muridnya di sekolah untuk menulis indah atau huruf tegak bersambung.


    Tok...! tok....! tok....!


    Suara di depan pintu menghentikan kegiatannya. Ia ke depan melihat siapa yang datang.


    “Maaf....Pak Sam mengganggu,” kata seseorang setelah Sam membuka daun pintu. Sam sangat mengenal orang itu, Pak Sabra, kepala dusun. Juga ada beberapa warga lain yang belum begitu ia hafal namanya.


    “Tak apa-apa, Pak. Mari masuk!”


    Pak Sabra diiringi beberapa orang lainnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng hasil kebun: pisang, ubi kayu, semangka, pepaya, salak, timun, terong, cabe, dan lainnya. Sam mempersilahkan tamunya duduk lesehan, karena memang tak ada kursi lain di rumah itu selain yang ada di meja kerjanya.


    “Kami hanya mau mengucapkan terima kasih sama Pak Sam,” kata Pak Sabra, “karena Pak Sam masih bersedia mengajar anak-anak kami di sini,”


    Memang sudah tersiar kabar ke penjuru dusun, bahwa guru-guru yang lain sudah angkat kaki dari dusun mereka. Sebab tak tahan dengan kondisi geografis alam sekitar nan jauh dari perkotaan.


    “Ah, itu sudah kewajiban saya, Pak,” rada kikuk juga Sam diperlakukan seperti itu oleh kepala dusun, orang yang paling disegani dan dihormati di Pegunungan Meratus itu.


    “Sebagai ucapan terima kasih kami,” kata warga yang lain, sambil mengangsurkan hasil kebun mereka ke hadapan Sam,  “sudi kiranya Pak Sam menerimanya.”


    Tak enak rasanya kalau Sam harus menolak pemberian warga itu. Ia tak ingin warga kecewa. Dengan dua belah tangan terbuka, ia terima semua oleh-oleh yang dibawa untuknya. Walaupun sebenarnya pemberian itu terlalu banyak menurutnya. Tak sanggup Sam untuk menghabiskannya, mungkin bisa sampai busuk.


Semua warga sangat menghargai dan menghormati Sam sebagai tenaga pengajar di dusun itu. Bahkan beberapa warga mengusulkan agar Sam menetap saja di dusun itu, dalam artian dia mencari istri orang dusun. Dengan begitu, Sam akan tetap bisa mengajar anak-anak mereka.


Setelah berbincang-bincang tentang perkembangan anak-anak mereka di sekolah, akhirnya semua warga pamit. Sam mengantarkan sampai di depan pintu. Sam memandang langit. Ia perhatikan mendung menggantung rendah di petala langit, angin malam pun terasa menusuk pori-pori. Kilat-kilat listrik tampak berurat-urat membayangi malam. Langit bagai telah dikuasai oleh kekuatan hitam.


“Sebentar lagi akan turun hujan,” gumam Sam sembari menutup daun pintu.


***
        Pagi ini tak seperti biasanya, hujan tadi malam disertai angin ribut telah memporak-porandakan Dusun Lampong. Pohon-pohon besar banyak yang tumbang menutupi badan jalan. Bahkan ada sebagian rumah warga yang atapnya tersingkap angin.


    Air menggenang di mana-mana. Ceruk-ceruk tanah penuh dengan air. Seumpama hamparan danau. Sayang, tak ada ikannya. Sam berjalan dengan pelan melewati ceruk kecil maupun yang besar.


    Beberapa warga terlihat bergotong-royong membersihkan jalan yang terhalang oleh pohon yang tumbang. Sam sebenarnya ingin membantu. Namun, warga melarangnya.


    “Biar kami saja Pak Sam,” kata seorang warga, “Pak Sam terus saja ke sekolah, mungkin anak-anak kami sudah menunggu Pak Sam di kelas.”


    Sam mengangguk. Ia melanjutkan perjalanan. Baru beberapa langkah ia berjalan, Waki, salah satu muridnya berlari ke arahnya. Wajahnya terlihat pucat. Dengan napas yang masih terengah, Waki berusaha mengatakan sesuatu.


    “Se-sekolah kita, Pak,” kata Waki dengan gugup.


    “Kenapa dengan sekolah kita?” Sam menjadi cemas.


    “Sekolah kita hancur, tertimpa pohon ulin,”


    Sam kaget, begitu juga dengan beberapa warga yang masih membersihkan jalan. Tanpa dikomando, semuanya langsung berlari menuju sekolah yang terletak di ujung dusun sebelah barat.


    Sam benar-benar terhenyak. Bangunan yang baru kemarin berdiri dengan kokoh, kini ambruk dalam waktu semalam. Seketika rasa sedih menyeruak dalam hatinya. Kalau saja tak malu, mungkin ia sudah menangis. Kini tak ada lagi tempat untuk mengajar anak-anak Meratus.


    Seluruh murid-muridnya yang telah hadir, tak mampu menahan kesedihan. Mereka semua menangis histeris. Hati Sam semakin perih dan pilu mendengarnya. Sungguh, mereka benar-benar merasa kehilangan.


    Pak Sabra yang baru mendapat kabar, datang tergopoh-gopoh. Sama seperti yang lain, beliau pun juga terhenyak melihat sekolah kebanggaan warga dusunnya ambruk tertimpa pohon ulin.


    Pak Sabra berpikir cepat, terlintas sebuah rencana di kepalanya. “Pak Sam dan anak-anak jangan sedih, kami akan segera membetulkan sekolah ini,” kata Pak Sabra, lalu berpaling ke arah salah satu warganya, memerintahkan untuk segera mengumpulkan seluruh warga laki-laki, untuk memperbaiki sekolah ini.


    Sam dan murid-muridnya menyambut dengan senang. Sejenak, separuh kesedihan mereka telah menghilang.


    “Anak-anak, kalian pulang dulu. Besok, Insya Allah kalian bisa bersekolah lagi,” kata Sam pada murid-muridnya.


    Seluruh murid saling menatap satu sama lain, lalu salah satu di antara mereka berujar, “Tidak, Pak. Kami juga ingin membantu, sekolah ini juga milik kami.”


    “Iya, Pak,” tambah yang lain serempak.


    Sam tersenyum. Ah, begitu besarnya kecintaan mereka pada sekolah ini, batinnya. Sam menoleh ke arah Pak Sabra, seolah meminta persetujuan. Pak Sabra mengangguk pelan.


    “Baiklah, kalian boleh ikut membantu,” ujar Sam kemudian.


    “Horeeeee...” teriak mereka kegirangan.


    Sam sangat bangga memiliki murid-murid yang begitu mencintai sekolahnya. Rajin menuntut ilmu, walau dengan segala keterbatasan. Sam benar-benar tak ingin berpisah dengan anak-anak itu. Sam juga tak ingin meninggalkan Pegunungan Meratus ini. Pegunungan yang begitu damai, tenang, dan indah, serta semangat gotong royong yang masih kental dimiliki setiap warganya. Ah, Sam merasa dirinya telah menyatu dengan mereka, menyatu dengan alam.


BARABAI, 17 JANUARI 2011

Leave a Reply