Balada Pengangguran

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis: Imanuddin Rahman

            Tidak mungkin! Ini cuma mimpi kan?
            Pasti mimpi... haha, pasti mimpi!!! Dan seperti biasa, aku akan terbangun karena suara omelan ibu. Sebentar lagi ibu pasti masuk membuka pintu kamarku...
            “Tokk, tok, tok!” suara ketukan itu kembali terdengar, sudah kelima kalinya, dan masih kubiarkan begitu saja. Mataku memerah menahan tumpah ruah air mata...

***
            HP ku menunjukkan pukul 8 pagi, namun aku masih berbaring di kasurku, membisikkan kepada diriku sendiri bahwa masih terlalu pagi untuk bangun. Jendelaku kubiarkan tertutup dan kipas angin masih kubiarkan berputar, menyejukkan kamarku.
            Aku bukannya malas bangun pagi, namun aku tidak tahu apa yang kulakukan pagi pagi ini.
Sebenarnya, aku adalah seorang sarjana di sebuah universitas yang mengklaim diri sebagai universitas terbaik di Indonesia. Kata seniorku, alumni dari universitas tersebut sangat dibutuhkan di bursa tenaga kerja. Namun, entahlah, aku mulai kembali meragukan klaim tersebut. Aku sudah masukkan lamaran ke banyak perusahaan, namun sepertinya IPK-ku yang hanya 2.6 tak mampu membuat mereka mempercayakan sebuah pekerjaan untukku. Tidak masalah, batinku, merekalah yang rugi.
            Teman temanku telah mengajakku untuk berwirausaha, entah itu bikin bimbingan belajar, MLM, sampai berjualan obat obatan herbal. Namun, aku selalu menolaknya, aku adalah seorang sarjana, tempat yang seharusnya bagiku adalah perusahaan perusahaan yang memberikan gaji tetap bagi karyawannya dalam kisaran 2 juta ke atas.
Kemarin, aku sempat mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah bimbingan belajar yang dimiliki oleh salah seorang temanku, namun penghasilan yang kudapatkan hanya sekitar satu koma an, tentu saja aku menolak. Aku merasa penghasilan sebesar itu bukan penghargaan yang pantas untuk waktu 4.5 tahun yang kuhabiskan selama kuliah. Apa kata orang? Para mahasiswa semester awalpun, mampu memperoleh penghasilan sebesar itu dan itu pun sambil kuliah. Sedangkan aku, aku adalah seorang sarjana. Aku ingin 2 juta ke atas, 2.5 ke atas kalau bisa.
            “Ndiiiii….bangun!”
            Aku tahu, itu suara ibu. Aku memilih untuk mendiamkannya, aku sudah tahu apa yang diinginkannya dariku, pasti pekerjaan yang biasa, mencabut rumput di perkarangan atau mengantarkan kue basah ke beberapa warung. Terus terang, aku malu melakukan itu. Aku bosan dengan pertanyaan-pertanyaan tetanggaku mengenai kesibukanku sekarang, padahal mereka tahu aku belum sibuk apa apa.
            “Ndiiii, antarin kuenya donk, ntar keburu siang!”
            Ibuku sepertinya tahu kalau aku sudah bangun, makanya dia tidak lagi berusaha membangunkanku, tapi menyadarkanku. Ah, ibu… Sejujurnya aku merasa sangat bersalah dengan ibu dan ayahku. Ibu telah bekerja keras dengan berjualan kue, membantu ayah yang hanya seorang karyawan rendahan di sebuah pabrik di Jakarta, untuk membiayai sekolah dan kuliahku hingga aku sarjana.
Namun, setelah sarjana, apa lagi... Telah 6 bulan sejak aku diwisuda, namun kerjaanku hanya berjalan dari satu perusahaan ke perusahaan lain, membawa selembar ijazah, transkip nilai, surat lamaran, CV, pas foto. Aku pergi ke beberapa perusahaan, menyerahkan amplop yang berisi barang barang keramat itu, pulang ke rumah dan menunggu. Untuk beberapa lamaran yang kuajukan, aku hanya sampai tahap itu, menunggu dan menunggu.
            Pernah ada sebuah perusahaan yang memanggilku, sebagai lanjutan dari surat lamaran yang telah kumasukkan. Namun setelah melakukan beberapa test, aku tidak dipanggil lagi. Katanya, aku tidak lulus.  Yaah, mungkin rezekiku bukan di sana, aku mencoba menghibur diriku, meskipun sebenarnya aku kecewa dengan keputusan itu. Sekarang, aku mulai merasa pesimis mengantarkan surat lamaran ke perusahaan perusahaan. Semoga saja, dari surat-surat lamaran yang telah kuajukan, aku mendapat kabar baik.
Pegawai negeri? Ah, aku dulunya seorang aktifis yang sering mengkritik pemerintah, apa kata teman temanku jika nantinya aku menjadi PNS. Lagi pula, bagi aku dan teman teman, kantor pemerintahan bukan tempat yang cocok untuk meniti karir.
            Suara pintu terbuka, aku terjaga dari lamunanku, aku tahu, itu pasti ibuku. Memang, musim hujan seperti akhir akhir ini, penjualan kue ibu mengalami penurunan, dan untuk itu, seharusnya aku tidak macam macam dengan ibu.
            “Bangun… pemalas!” suara ibu seperti membelah kamarku.
            Aku tahu, dengan suara ibu yang menggelegar seperti itu, tidak mungkin bagiku pura-pura tidur.
            “Kenapa sih Bu?” kataku, masih merasa malas untuk duduk dari tempat tidurku.
            “Kenapa… kenapa… bangun, kamu tahu sekarang udah jam berapa?”
            “Masih jam delapanan,” kataku, membela diri.
            “Astaghfirullah, Andiiii….masih jam delapan?!” kata ibuku, “Tidak ada laki-laki dewasa yang masih tidur tiduran jam segini!”
            Aku tahu, ibu salah, teman temanku main gaple semalam, belum akan bangun sebelum jam 10. Aku masih lebih baik karena sudah bangun jam 8, meskipun masih malas malasan.
            “Andiiii, anterin kue ibu ke warung, kamu tahu kan, penjualan sekarang lagi seret, ibu butuh biaya tambahan untuk ke rumah sakit!” kata ibu.
            Aku sudah pernah mengatakan pada ibu, bahwa aku tidak ingin ke warung mengantarkan kue, aku malu kalau ada pertanyaan, “sibuk apa sekarang,” “kerja di mana”, ibu-ibu warung entah kenapa tidak bosan bosan menanyakan itu.
            “Ya Allah, Ndii, kamu dengerin ibu ngapa!”
            “Aku denger Bu, kalau ibu aja yang nganterin kuenya kenapa sih, warungnya juga nggak jauh jauh amat kan,” kataku.
            “Ibu ingin kamu yang nganterin agar kamu nggak males-malesan aja Ndii, Jam segini kamu masih tidur tiduran aja, malu sama tetangga!” kata ibuku.
            Ah, ibu berlebihan, batinku, para tetangga juga tidak tahu kalau aku lagi tidur tiduran.
            Aku tidak menjawab, kalau ibu memperhatikan perkataanku tempo hari, dia pasti tahu alasanku tidak ingin mengantarkan kue ke warung warung.
            “Kamu udah sarjana Ndii, mengapa kamu masih sering males malesan,” kata ibuku.
            “Justru karena aku udah sarjana Bu, aku malu kalau masih ngantar kue ibu, semua orang akan tahu kalau aku masih nganggur,” Kataku, kali ini dengan suara sedikit keras. Entah mengapa, aku selalu merasa terusik jika ke-sarjanaan-ku disinggung singgung.
            Ada jeda beberapa saat setelah aku berkata demikian. Aku dapat merasakan, ibu ku tersinggung dengan perkataanku. Namun, ibu seharusnya mengerti, bahwa gelar kesarjanaan ini,  sudah lama tidak lagi membuatku bangga. Gelar itu hanya membebaniku, secara tidak langsung, menuntutku untuk melakukan, mendapatkan sesuatu yang di luar kesanggupanku.
            “Ndiii, kamu tahu, ayah dan ibu sudah bekerja keras agar kamu…..”
            “Aku tahu, jangan disinggung lagi… aku tahu, aku ngerti, jadi tolong, jangan diungkit lagi…” kataku, kali ini secara tidak sadar aku duduk dari tempat tidurku dan memandang langsung ke wajah ibu. Perkataan ibu yang menyinggung gelar kesarjanaanku memang membuatku terusik, tapi, ketika ibu  menyinggung mengenai kerja keras mereka untuk biaya kuliahku, aku benar-benar merasa… entahlah, aku tidak berani marah ke ibuku, tapi…..
            “Ibu ingin pendidikan itu mendewasakan kamu Ndii…,” kali ini suara ibu seolah tidak ingin  kalah keras dengan suaraku, nafasnya tersengal.
            “Ibu ingin kamu menjadi seseorang yang mampu berpikiran dewasa, seorang pekerja keras, ibu nggak malu jika kamu dicap oran lain sebagai seorang pengangguran, namun jangan sampai cap pengangguran itu membuat kamu seperti ini, tidur tiduran sampai siang, menghabiskan waktu dengan malas malasan, kamu kan bisa bantu ibu jualan!”
            Aku tidak bisa menjawab perkataan ibu, bahkan untuk memandang wajahnya lagi-pun, aku mendadak kecut.
            “Ndii, seharusnya kamu lebih malu menghabiskan waktu dengan bermalas malasan, dari pada bekerja dengan penghasilan kecil, dari pada bantuin ibu jualan kue. Kamu harus lebih malu kepada dirimu sendiri, dari pada malu kepada orang lain, Ndii.. Bagaimanapun, dan apapun yang kamu lakukan, orang lain tak akan pernah menganggap kamu sempurna... Kamu harus rendah diri Ndii, bersikap tinggi hati, sombong, ujung ujungnya hanya akan merendahkanmu”
            Ukh, kena semprot sebelum sarapan, tidak akan pernah diharapkan setiap orang. Tapi, itulah yang terjadi padaku pagi ini. Ketika ibu diam sambil mengurut dadanya, aku kembali berbaring di tempat tidurku. Merasakan lagi sejuknya hembusan angin dari kipas anginku.
            “Astaghfirullah al‘azhim,” Samar aku dengar suara lirih ibuku berbisik, kemudian dia keluar dari kamarku, dan menutup pintu.
            Kamarku kembali hening, hanya suara putaran kipas anginku yang terdengar. Aku melirik hp ku yang menunjukkan pukul 8.25 pagi, hampir setengah jam aku diceramahi.
            Aku mencoba menikmati keheningan kamarku ini dengan kembali menutup mata, seolah olah tidak terjadi apa apa. Namun, dalam keheningan itu, aku merasakan ada debaran tak biasa di dadaku. Aku tahu, satu bagian dari jiwaku mengakui kalau ibu benar. Aku seharusnya malu kepada diriku sendiri.
Namun, menurutku, ibu juga salah, mengapa baru sekarang dia begitu keras kepadaku. Mengapa ketika aku baru lulus ibu tak pernah marah, dia tak pernah berkata seperti yang baru saja dia katakan. Mengapa? Mengapa dia tidak marah ketika aku pertama kali malas malasan di pagi hari? Mengapa dia tidak marah ketika aku menolak yang satu komaan itu, padahal dia mengetahuinya, mengapa dia tidak marah ketika aku pertama kali menolak mengantarkan kue ke warung warung.
            Mengapa baru sekarang?
            Ketika malas malasan seperti ini telah menjadi sebuah kebiasaan bagiku. Dan, seperti juga setiap orang tahu, kebiasaan buruk itu sulit hilang. Aku sendiri tidak paham apa yang bisa mengubah kebiasaanku ini. Ahh, sudahlah...
***
            “Tokk, tokk, tokk!” Ketukan itu kembali terdengar.
Aku masih terpekur di lantai kamarku, mencoba memejamkan mata, tidak tahu harus apa.
Ini cuma mimpi kan?
Ya, pasti mimpi! Dan seperti biasa, aku akan terbangun karena suara omelan ibu. Sebentar lagi ibu pasti masuk membuka pintu kamarku...
“Tokk, tokk!” Lagi.
“Andii... keluar kamu!” ketukan di pintu telah berubah menjadi suara gedoran. Tapi suara itu bukan suara ibu, melainkan suara ayah yang sudah bercampur amarah karena aku tidak juga membukakan pintu kamar yang kukunci sejak tadi.
“Keluar! Atau ayah akan dobrak pintu kamarmu,” ancam ayah dengan suara sangar. Memancing air mata benar-benar keluar dari sudut mataku. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Terisak-isak seperti anak kecil. Tak berdaya.
Apa yang harus kulakukan?! Ini terlalu tiba-tiba. Aku berharap ini mimpi!
“Andii! Tetangga sudah berkumpul untuk me-yaasin-kan ibu, sampai kapan kamu mau terus di kamar seperti ini?”
 Lunglai, aku berjalan membukakan pintu, menghadapi wajah ayah yang me-merah, matanya pun sembab karena tangis tertahan.
Tanpa berkata apapun, kuikuti langkah ayah menuju ruang tengah. Pak RT dan beberapa tetangga sudah mengelilingi jasad ibu yang berselimut kain batik.
Kutatap wajah ibu yang membeku, ada seulas senyum di sana. Satu-satu titik air masih tersisa di pelupuk mataku. Bahkan sampai akhir hayatnya pun aku belum dapat membuat ibu tersenyum bangga!
Shubuh tadi ayah membangunkanku, memaksaku untuk mengantar ibu ke rumah sakit, ibu mengeluh dadanya sakit, setahuku ini bukan keluhan pertama kalinya, sedangkan ayah harus pergi ke pabrik. Aku menolak karena baru saja tidur pukul tiga pagi, mataku terlalu berat untuk dibuka.
Ketika ayah kembali lagi ke kamarku, ia memberitahu bahwa ibu sudah tidak ada. Kata-katanya seperti mimpi bagiku. Mimpi buruk yang tidak mungkin terjadi. Tapi rupanya itu nyata!
Aku kembali menatap wajah ibu yang terbujur kaku di hadapanku kini. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang memenuhi ruang tengah telah memulai bacaan Yaasin.
Aku ingin berteriak, “Ibu, maafin Andi!” Tapi apakah ibu mendengar?
            Hanya tersisa setumpuk penyesalan dalam dadaku yang terasa sesak. Teringat kembali ibu yang harus menjajakan kue ke warung setiap hari karena aku selalu menolak membantunya, bagaimana perasaannya, bagaimana lelahnya ia. Bahkan ibu tak punya cukup uang dan waktu untuk memeriksakan nyeri di dadanya ke rumah sakit. Anak apa aku ini!?
            Yang terburuk adalah... aku pernah menuding ibu-lah penyebab kemalasanku yang menjadi-jadi tiap hari, kuanggap ia bersalah karena telah memupuk rasa malas yang kutanam sendiri. Bagaimana aku bisa salah mengartikan kelemahlembutan dan kebaikan ibu membiarkanku menganggur selama ini?
            Apa yang harus kulakukan sekarang?
Hanya bacaan Yaasin yang beriring air mata untuknya, penyesalan yang sungguh-sungguh tak berguna... tak bisa lagi mengukir senyum di wajahnya.***

Leave a Reply