Bude Sumi

Posted by abyan muwaffaq - -

Penulis: Wahyuni Sitoresmi

Aku memanggilnya dengan sebutan Bude Sumi. Usianya hampir mencapai lima puluh tahun kurasa. Berperawakan sedikit gemuk dengan rambut yang selalu digelungnya. Tiap pagi ia selalu mengayuh sepeda ontel tuanya menyusuri jalan desa, sekedar untuk menjual sayur-mayur. Kami searah, bedanya aku naik motor sedangkan Bude Sumi menaiki sepeda ontelnya.

Awalnya memang semua tegur sapa itu normal, tapi belakangan mulai berubah. Sejatinya di kampung, rasa kekerabatan itu sangatlah kuat. Sekalipun aku baru dua tahun terakhir tinggal di desa trans ini, tapi kebiasaan saling menyapa tidaklah pupus dari keseharian penduduknya. Hanya saja belakangan ini aku sudah malas lagi menegur Bude Sumi ketika berpapasan di jalan. Aku tahu apa yang kulakukan itu salah, tapi mau bagaimana lagi, aku kapok karena berkali-kali kusapa ketika aku mendahuluinya…selalu saja ia diam, tak menyahut. Bertemu di jalan, kutegur, lagi-lagi tidak dijawabnya. Selalu seperti itu, aku sampai berpikir di mana letak salahku. Tapi giliran ia bertamu ke rumah Bulek Iyah di sebelah rumah, selalu saja dia yang menegurku lebih dulu.
Di waktu lain dengan seenaknya sendiri Bude Sumi menjodoh-jodohkan aku dengan anak lelaki sulungnya, seperti kali ini. “Piye, Mi? Anaknya Bude, Bayu, banyak yang ngantri lho.” Promosinya dengan manis.
“Nanti aja, Bude. Saya masih fokus kerja, belum mikir ke sana.” Jawabku setengah hati. Aku benar-benar jengkel dibuatnya, selalu saja seperti itu. Dan kata orang-orang kampung, memang begitu wataknya.
***
“Wahhh, iya bener itu. Si Maryati ki ta’ omongi tapi ndak didengerin lho, Bu. Katanya cukup gaji suaminya yang cuma buruh lepas itu. Sok kaya sih dia, coba kerja tempat suamiku…enak. Lima puluh ribu sehari, rokok dibelikan bos-nya, wes enak pokoke.”
Aku mendengar suara Bude Sumi dari rumah Mbah, maklum rumah Bulek Iyah dan rumah Mbah bersebelahan saja. Apalagi volume suara Bude Sumi termasuk over dosis ketika fokus membicarakan seseorang. Halagh, Bude…Bude, suaminya sampeyan kan juga buruh, cuma beda tempat kerja aja. Protesku dalam hati.
Biasanya saban sore Bude Sumi akan berkelana dari rumah ke rumah mencari teman ngerumpi yang cocok. Omongan dari satu rumah sampai ke rumah lain, tak jarang ada yang berkelahi akibat mendapat omongan yang mungkin saja sudah diberi bumbu oleh Bude Sumi.
Dan kali ini Bude Sumi mampir lagi di rumah Bulek Iyah, Bulek-ku. Lagi?? Iya, lagi. Karena ini adalah sore kelima ia mampir di rumah Bulek Iyah dan tiap kali mampir selalu membawa kabar yang up to date tentang penduduk kampung. Sampai-sampai oleh beberapa orang ia diberi julukan “Menteri Penerangan”.
“Lho, bukannya gitu, Bu. Masa suaminya pulang kerja tapi ndak ada makanan apa-apa di meja. Orang ya laper tho, Bu…pantas aja suaminya punya banyak utang di warung. Duit untuk mbayarin hutang gak ada tapi ngutang terus tiap hari.” Setelah lima belas menit berlalu, Bude Sumi kembali berceloteh tentang seseorang. Kali ini tentang Pak Suhir dan istrinya yang katanya doyan ngutang di warung.
Oalah, Bude…lha wong utangnya sampeyan aja juga banyak lho di mana-mana. Kok malah mengumbar utang orang lain. Protesku dalam hati, lagi. Walaupun aku sadar bahwa protesku juga tidak ada gunanya, aku hanya ingin protes.
Sejenak aku berdiri, memasang jilbab dan duduk di beranda rumah. Aku ingin menikmati sore walaupun suara Bude Sumi di sebelah rumah cukup mengganggu. Sekedar menikmati angin sore di beranda rumah sambil membaca majalah, aku rasa itu kegiatan yang cukup menyenangkan. Tapi tiba-tiba…
“Eee…cah ayu keluar rumah. Sini, Nduk…” Bude Sumi melambaikan tangannya ke arahku. Baru saja ujung jilbabku yang keluar dari pintu rumah, aku sudah disambut laksana seorang putri yang baru terbangun dari tidur panjangnya oleh Bude Sumi.
Ni orang manggil beneran apa nyindir sih, rutukku dalam hati. “Nggak, Bude. Ami disini aja sambil baca ini,” aku mengangkat sebuah majalah dan memperlihatkannya pada Bude Sumi. Aku pun menekuri halaman demi halaman majalah, menikmati tulisan-tulisan yang tersaji dengan apik di sana.
“Piye, Nduk…mau ndak Bude jodohin sama si Bayu, anak sulung Bude itu lho?” Tanyanya setengah berteriak.
Aku yang baru saja menikmati beberapa halaman majalah yang terbuka di kedua tanganku mendadak hilang mood. Entah kenapa kali ini rasanya ia seperti setengah memaksa agar aku mau dijodohkan dengan anaknya itu, padahal sudah berkali-kali pula aku menolaknya dengan sopan. “Maaf, Bude…Ami masih konsentrasi ke pekerjaan.”
“Kamu itu gimana tho, Nduk? Wong mau dikasih enak kok malah ndak mau. Kurang apa coba Bayu, kerjaan punya, tampang juga ndak jelek kan? Nanti lama-lama malah jadi perawan tua kamu, lha ini kan Bude yang nawarin tho.” Masih setengah berteriak Bude Sumi menanyaiku, membuat beberapa orang yang lewat di depan rumah mampir ke rumah Bulek Iyah. Ketika ditanya ada apa, eh…malah Bude Sumi bilang kalau aku ini pemilih lah, ntar jadi perawan tua lah, dan entah apa lagi.
Setengah menahan emosi kuhampiri Bude Sumi yang tengah membicarakan aku pada Mbok Nah dan Bulek Ratmi. Sementara Bulek Iyah sudah sejak tadi sibuk di dapur, sejak Bude Sumi mengata-ngataiku.
“Maaf Bude, ya. Ami kan sudah jawab berkali-kali kalau Ami belum mikir ke arah pernikahan, masih menikmati kerjaan tapi kok malah Bude bilang yang macam-macam, udah gitu gak benar lagi? Kalau saya ndak mau ya tolong jangan dipaksa, wong keluarga Ami sendiri aja ndak pernah maksa.” Tanpa menunggu jawaban balik dari Bude Sumi, aku langsung balik kanan meninggalkan mereka daripada aku kelepasan emosi. Hatiku benar-benar dongkol kali ini, hampir saja dari mulutku keluar kata-kata kasar yang tidak pantas diucapkan.
***
Aku baru saja selesai memasukkan sepeda motor ke dalam rumah. Rasa penat menjalari tubuhku karena pekerjaan di kantor hari ini menuntutku lebih banyak duduk di depan komputer, hampir tak ada waktu untuk berjalan-jalan sekedar melemaskan otot, kecuali saat waktu sholat tiba. Tapi belum lagi sempat aku melepas sepatu, Mbah sudah tergesa-gesa memberi sebuah kabar yang membuatku cukup terkejut.
“Mi, Si Sumi masuk rumah sakit,” Mbah menyambutku dengan laporan terkini.
“Haahh?!! Bude Sumi?!! Yang bener, Mbah?! Kok bisa? Kenapa?” Tanyaku penasaran.
“Lha ya bisa tho, wong namanya penyakit. Pas dia lagi naik sepeda, jatuh. Pingsan. Trus dibilang sama dokter kalau dia lumpuh sebelah gitu badannya.” Si Mbah menjawab dengan santai sambil tangannya terus menyapu lantai yang kotor karena ban motorku yang kemerahan terkena tanah becek. “Sulit ngomong katanya,” sambung Mbah lagi.
Tiba-tiba aku langsung teringat dengan kebiasaan Bude Sumi yang senang ngerumpi, bergosip, menggunjing. Ya Allah…semoga kami tidak seperti itu, semoga Bude Sumi cepat sembuh dan sadar, bisikku dalam hati. “Kasian ya, Mbah. Trus udah pulang dari rumah sakit, Mbah?”
“Belum. Ndak boleh sama dokter katanya,” jawab Mbah.
***
Seminggu berlalu dan kulihat pagi tadi Bude Sumi sudah mengayuh sepeda ontelnya, menjajakan sayur dari rumah ke rumah. Dan seperti biasa lagi, ia masih tetap tidak mau menjawab ketika kusapa bahkan mungkin sekarang lebih parah lagi. Tapi ya sudahlah, toh aku sudah berusaha untuk tetap menyapa.
Rumah Bulek Iyah pun sepi, tidak ada lagi suara Bude Sumi yang nyaring ketika menceritakan seseorang. Aku pun berpikir kalau Bude Sumi sudah insyaf dan sadar pasca terkena stroke ringan tempo hari.
“Naaahhh!! Naaaahh!! Kamu yang bilang kan kalau aku ini jual diri, wong aku ndak pernah begitu?!! Dasar ndak tahu diri!!”
Setelah memakai jilbab aku segera berlari keluar untuk mencari asal suara teriakan penuh umpatan tadi, bersamaan dengan Mbah yang tergopoh-gopoh pula dari dapur turut mencari asal teriakan tadi. Saat itulah kami melihat Bulek Marni dengan telunjuk yang lurus penuh menunjuk-nunjuk seseorang dari jauh, sambil berjalan penuh emosi menghampiri perempuan yang ditunjuknya, Mbok Nah.
“Aku ndak bakalan ngomong apa-apa kalau bukan kamu yang duluan bilang ke orang-orang kalau aku sulit bayar utang, ndak mau bayar utang!!” Mbok Nah, wanita yang berumur lebih dari setengah abad itu ganti menuding Bulek Marni dengan kalimat yang tak kalah sengit.
“Aku ndak pernah ngomong gitu!! Kok sampeyan jadi ngomong gitu?!” Tanya Bulek Marni.
“Aku tahu, Si Sumi yang ngomong kalau kamu yang bilang ke orang-orang masalah utang-utangku!! Iya tho?! Ngaku aja!!” Sentak Mbok Nah.
“Aku ndak pernah ngomong gitu. Yang ada juga sampeyan yang ngomong ke orang-orang kalau aku jual diri, suamiku marah sama aku gara-gara sampeyan!! Aku dikasih tahu Si Sumi,” balas Bulek Marni.
Aku dan Mbah masih terbengong-bengong melihat pertengkaran kedua orang wanita berbeda usia itu. Beberapa orang mencoba melerai mereka, termasuk Pak Rasyid, ketua RT di desa ini. “Jadi sampeyan ini sama-sama dengar dari Si Sumi, tho??” Tanya Pak Rasyid bingung.
Kedua wanita itu mendadak terdiam. Aku pun ikut diam, mencoba mencerna pertanyaan tak sengaja dari Pak Rasyid. Berarti…
“Sumiiiiiii…!!” Teriak kedua wanita itu berbarengan. Dan dengan langkah memburu mereka berjalan ke arah rumah Bude Sumi.
***
“Mi, Si Sumi kena stroke lagi.” Mbah menyela makan malamku dengan cerita yang sama dengan cerita dua minggu yang lalu.
“Stroke lagi, Mbah?” Tanyaku setengah tak percaya. Mbah mengangguk mengiyakan sambil tetap asyik menyuap nasi dengan tangan keriputnya. “Kasihan ya, Mbah.” Lagi-lagi hanya anggukan kepala yang kudapat sebagai jawaban.
“Katanya sih sekarang ndak ada yang nengok, orang-orang males nengok kayaknya.” Lanjut Mbah.
“Yaa…semoga aja cepet sembuh. Apa jangan-jangan ini karena dia sering ngomongin orang ya, Mbah? Gara-gara sering mengadu orang?” Tanyaku lagi.
“Mungkin saja, Mi. Manusia kan mendapat apa yang ditanamnya, Gusti Allah kan ndak tidur tho, Nduk. Jadi bisa saja Tuhan mengingatkan Si Sumi lewat penyakit seperti ini,” jawab Mbah sambil membereskan piring makannya. “Kalau Si Sumi sadar, nanti sifatnya akan berubah. Kalau ndak ya masih begitu-begitu saja sifatnya itu, menggunjing sambil mengadu.”
Aku terdiam mendengar jawaban Mbah. Apa yang dikatakan Mbah memang benar bahwa manusia mendapatkan apa yang ditanamnya. Jika yang ditanamnya baik maka buahnya pun akan baik, begitu juga sebaliknya. Semoga Bude Sumi sadar, ya Allah…bisikku dalam hati.
***