• Vestibulum quis diam velit, vitae euismod ipsum

    Etiam tincidunt lobortis massa et tincidunt. Vivamus commodo feugiat turpis, in pulvinar felis elementum vel. Vivamus mollis tempus odio, ac imperdiet enim adipiscing non. Nunc iaculis sapien at felis posuere at posuere massa pellentesque. Suspendisse a viverra tellus. Nam ut arcu et leo rutrum porttitor. Integer ut nulla eu magna adipiscing ornare. Vestibulum quis diam velit, vitae euismod ipsum? Quisque ...

  • Aliquam vel dolor vitae dui tempor sollicitudin

    Proin ac leo eget nibh interdum egestas? Aliquam vel dolor vitae dui tempor sollicitudin! Integer sollicitudin, justo non posuere condimentum, mauris libero imperdiet urna, a porttitor metus lorem ac arcu. Curabitur sem nulla, rutrum ut elementum at, malesuada quis nisl. Suspendisse potenti. In rhoncus ipsum convallis mauris adipiscing aliquam. Etiam quis dolor sed orci vestibulum venenatis auctor non ligula. Nulla ...

  • Nam ullamcorper iaculis erat eget suscipit.

    Etiam ultrices felis sed ante tincidunt pharetra. Morbi sit amet orci at lorem tincidunt viverra. Donec varius posuere leo et iaculis. Pellentesque ultricies, ante at dignissim rutrum, nisi enim tempor leo, id iaculis sapien risus quis neque. Ut sed mauris sit amet eros tincidunt adipiscing eu vitae lectus. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos ...

Archive for Mei 2011

Penulis: Mariana Ulfah

Senja ini Niken sengaja tak buru-buru menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing dalam plastik kumal bekas permen.

Penulis: KIANINARA”KEI”

Ada sesuatu yang tidak biasa ketika Bu Baiti, wali kelas 8.2 SMPN 11 Palembang, masuk ke kelas pagi itu. Dia berhenti di depan kelas. Berdeham sejenak.
“Kalian kedatangan kawan baru,” ujarnya pada siswa-siswanya.
Dengan langkah yang amat pelan, masuklah seorang anak perempuan bertubuh gemuk dan mungil, bermata besar, dengan rambut keriwil dikucir dua tinggi-tinggi di kiri kanan disertai poni, memakai behel dan berbibir tebal alias dower. Sontak hampir seisi kelas tertawa melihat penampilannya, dan beberapa mencibir. Anak perempuan yang “unik” itu hanya tersenyam-senyum. Lugu sekali.

Penulis: Kartika Hidayati
Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.

Penulis: Adenia

 Kami berlima hanya berani mengandalkan sisa-sisa harapan yang kami sendiri tidak yakin. Sebab air mata penyesalan itu  sepertinya sudah kering di sumur hati kami. Ujian her ini mungkin satu-satunya harapan kami untuk mempersembahkan sedikit senyum pada ayah dan ibu kami setelah kemarin-kemarin kepedihan dan keprihatinan yang kami  beri pada ibu dan ayah kami.

Penulis: Istikumayati

Seharian di kampus mengerjakan research. Asam laktat sudah menumpuk di bahu, mata dan punggungku. Belum lagi diomelin sensei[1] karena data-data research-ku yang masih belum beres juga. Penat sekali. Kubuka laci meja belajarku, kuraih dompet biru kotak-kotak. Nafasku berat, uang lembaran 10ribu-an di dompetku semakin menipis. Bulan ini, aku sudah mentransfer uang 200 ribu yen ke Indonesia, untuk operasi kandungan ibuku. Kanker rahim itu baru diketahui empat bulan lalu. Sedangkan bapakku, yang hanya pesuruh di sebuah SD di kampung, tak kuat menanggung biaya yang dibutuhkan ibu. Beruntung aku mendapat beasiswa S2 di Nagoya University, sehingga aku bisa membantu, dengan mengirimkan separuh beasiswa. Walhasil, aku harus mengikat pinggang erat-erat dan mesti mencari penghasilan tambahan.

Penulis: Zakky Zulhazmi*

(Cerpen ini awalnya tidak ditujukan untuk Rubrik Cerpen Ngocol, namun Nida mengedit dan mengubah cerpen ini agar dapat bertahta di rubrik ini, karena materi cerpennya lumayan menghibur, semoga penulisnya tidak kaget melihat cerpennya di-vermak begini, amiin...)

Oleh: Naufal Rafi Rahmatullah
       “Apa buktinya? Apa!? Selama ini kamu hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang belum pasti bagi kamu. Seharusnya kamu sudah melangit dengan berbagai prestasi yang gemilang, tetapi kamu justru melewatkannya. Kamu terlalu sibuk dengan karya-karyamu yang tidak memberi manfaat sedikitpun!”
            Hampir setahun sudah aku tidak mendapat kabar apapun dari sebuah penerbit. Sudahlah, jangankan penerbit. Bahkan tulisanku belum ada satupun yang nongol di media masa. Yang ada malah kesimpulan bahwa, tulisanku tak layak muat.

Penulis:  Bintu said

Menginjak kembali di sebuah Desa paling pedalaman di kota Banda Aceh, setelah 2 tahun meninggalkan desa ini menuju ranah Minang demi seonggok Ilmu. Tak ada yang berubah dari sisi dan sudut rumah ku. Masih seperti dulu, sebuah TV 14 Inci dan 4 buah kursi rotan di ruang tamu yang lebarnya Cuma 3X2 itu, struktur letaknyapun masih sama.

Oleh:Farinka Nurra

Tok…tok..tok

Pak Hakim mengetuk palu tanda persidangan dimulai, keadaan sedemikian tegang. Bangku pengunjung penuh sesak oleh penonton, baik dari pihak keluarga, kerabat atau yang hanya iseng-iseng ingin mengikuti persidangan. Beberapa orang melonggokkan lehernya panjang-panjang, penasaran dengan sosok bocah cilik yang tertegun di atas kursi pesakitan. Mimiknya ketakutan, namun tak bisa dielakkan. Bocah cilik itu terlihat bahagia, entah mengapa.

SAM

Penulis: Muhammad Saleh

   
Seperti pagi kemarin, sebelum dia pergi ke kelas untuk mengajar, Sam menatap tiga kursi kosong di sampingnya dalam ruang kantor guru. Ia menghembuskan napas pelan dengan raut muka sedih, seperti ada yang bergumul dalam hatinya. Sudah tiga hari yang empu-nya kursi itu belum juga datang, untuk kembali mengajar anak-anak Pegunungan Meratus. Pegunungan yang masih lebat dengan pohon-pohon raksasa, hewan-hewan liar, dan bermacam tumbuhan lainnya, di Propinsi Kalimantan Selatan.

Penulis: Eka Retnosari

"Berdoalah, Nak. Mintalah apa pun. Apa pun!"
"Apa pun?"
"Ya, apa pun."
"Termasuk sepeda?"
"Ya, termasuk sepeda."
Maka anak itu pun menengadahkan tangannya ke langit, ke langit biru, ke awan putih, ke tempat segala pinta berpulang.
"Tuhan, aku hanya ingin sepeda. Tak ingin apa pun lagi. Hanya sepeda," bisiknya. Kemudian sore tiba dan segalanya berakhir sendu.

Penulis : DNA
            Rindu duduk di sebuah restoran terkenal penyaji makanan junk food di sebuah Mall di kawasan selatan ibukota. Di depannya duduk Cita. Mereka berdua masih memakai seragam sekolah. Selepas pulang sekolah tadi, tanpa mengganti baju, mereka langsung menuju Mall. Tujuan mereka membeli buku. Tepatnya segala jenis buku yang bisa mereka beli, mulai dari buku pelajaran sampai buku cerita.

Penulis: Nur Aisyah Siregar
Sobat, memperingati Hari Pendidikan Nasional, cerpen ini kayaknya layak banget untuk kita apresiasi.
Pertama, tema yang diangkat cocok. Kedua, penulisnya pun seorang guru. Klop banget deh! Selamat membaca...
            Matahari sudah condong ke barat. Sedikit tersembunyi oleh semburat jingga yang terpapar di kaki langit. Sekolahku sudah sepi dari satu jam yang lalu. Aku masih menunggu Bu Indah. Asap berjelaga membuat mataku pedih. Pak Zain yang sedang membakar sampah tak jauh dari tempatku duduk tertawa.

Oleh: Khoiriyyah Azzahro
Kupunguti alat tulis yang berserakan di lantai sambil melirik sosok kecil di sudut ruang. Kelopak matanya mengerjap dan bola matanya berputar-putar. Terik mentari yang masuk melalui jendela nako menerpa sebagian wajahnya. Membiaskan warna merah di pipi dan tengkuknya. Warna merah kebiruan seperti lebam.

Penulis : Mayang Ayu Lestari

 “Mah, aku bilang aku ga mau!”

 “Kenapa ga mau, sayang?”

 “Aku bukan anak kecil lagi, Mah. Yang segala sesuatunya harus disamakan!”

Perempuan di sampingku hanya tersenyum mendengar percakapanku dengan mamah. Apa dia menganggap semua ini hal yang lucu? Aku benci terjebak dalam keadaan seperti ini. Ini bukanlah hal yang pertama kalinya mamah lakukan padaku. Sudah 20 tahun aku terus terjebak dalam hal yang sebenarnya jika aku bisa memilih, aku lebih memilih dilahirkan di tempat yang berbeda bahkan di dunia yang berbeda sekali pun.

Hadi jarang sekali pulang kampung, maklum sejumlah kesibukannya sebagai PNS dan pimpinan beberapa organisasi kepemudaan di sebuah kota kecil yang cukup jauh dari desa kelahirannya harus dilakoninya. Sehingga, bukan saja membuat ia jarang pulang kampung, tetapi pulang ke rumah pun tidak jarang lebih duluan itik ke kandangnya, kerbau ke kalang-nya dan elang ke sarangnya.